Tuntutan Minahasa Merdeka Merespons Menangnya Intoleransi Di Kasus Ahok
Prajurit Minahasa era Kolonial Belanda. Foto oleh TROPENMUSEUM/ Wikimedia Commons

FYI.

This story is over 5 years old.

Wacana Separatis

Tuntutan Minahasa Merdeka Merespons Menangnya Intoleransi Di Kasus Ahok

Protes lewat medsos itu mengingatkan publik pada Permesta, tapi alasannya kini agak berbeda. "Negara tunduk kepada ormas radikal, maka Kami Bangsa Minahasa berhak referendum!"

Warga Minahasa, Sulawesi Utara menyuarakan referendum dengan agenda memisahkan diri dari Indonesia. Tuntutan ini disampaikan Gerakan Minahasa Merdeka yang mendadak viral sesudah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama divonis bersalah dalam kasus penistaan agama Islam.

Penduduk Sulawesi Utara, kebanyakan beragama Kristen, diklaim oleh pimpinan kelompok ini semakin tidak nyaman menyaksikan perkembangan Indonesia yang dikuasai ormas agama mayoritas. Vonis penjara bagi Ahok, politikus minoritas sekaligus beragama Kristen, bagi pendukung Minahasa Merdeka menjadi dalih untuk meluapkankekesalan karena merasa negara kalah pada tuntutan segelintir entitas politik mengatasnamakan mayoritas.

Iklan

Gerakan Mihanasa Merdeka memiliki laman Facebook, beranggotakan lebih dari 17 ribu orang. Grup Facebook lain yang menyerukan agenda Minahasa bernama Ancient of Minahasa, admin grup tersebut mengunggah surat izin dari kepolisian setempat untuk menggelar referendum awal pekan ini. Tidak jelas apakah surat itu resmi serta tak ada kabar sama sekali berlangsungnya referendum. Dalam beberapa foto yang diunggah di laman tersebut terlihat seseorang mengibarkan bendera Minahasa bergambar salib dan bintang.

"Masalah Ahok hanya 1 persen dari ribuan kasus Intoleran dan sosial. Jika hanya masalah Ahok terus Minahasa minta pisah dari NKRI itu sesuatu yang mengada-ada," tulis aktivis Minahasa Merdeka Tuama Rocky Oroh di laman Facebook-nya. "Kasus Ahok dan Fahri Hamzah hanya sebagian kecil dari derita minoritas se-Indonesia."

Penduduk Minahasa, yang menjadi mayoritas di Sulawesi Utara, 63 persennya memeluk Kristen Protestan. Sementara 4,4 persen Katolik, dan sisanya baru agama-agama lain. Kawasan Sulawesi Utara karenanya menjadi salah satu kantong utama Kristianitas di Indonesia, yang disimbolkan dengan salah satu Patung Yesus Raja tertinggi di Asia, dibangun di pinggir Ibu Kota Manado oleh Konglomerat Ciputra senilai Rp5 miliar.

Kuatnya tradisi Kristen di wilayah ini membuat warga tidak nyaman melihat perkembanga pengaruh kelompok Islamis dalam percaturan politik nasional. Pertengahan bulan ini, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah ditolak kedatangannya di Manado oleh ribuan massa karena dinilai sebagai tokoh yang intoleran. Fahri memang sempat mendukung gerakan Islam di Jakarta menuntut Gubernur Ahok dilengserkan.

Iklan

"Kami tidak ingin orang seperti [Fahri] hadir di Sulut. Kami mencintai bangsa ini dan jangan dipecah belah," ujar Olden Kansil, salah seorang orator massa yang menggeruduk Bandara Manado, seperti dikutip Kompas.com.

Agenda utama gerakan Minahasa, pada akhirnya, agak berbeda dibanding separatisme lain yang pernah muncul di negara ini. Tuntutan mereka terutama berkaitan dengan dominasi kelompok intoleran. Selama negara mempertahankan sekularisme, maka mereka masih akan tetap mendukung Republik Indonesia.

"Negara TUNDUK kepada Ormas RADIKAL dan Khilafah maka Kami Bangsa Minahasa BERHAK REFERENDUM!!! NKRI harga PAS MINAHASALAND HARGA MATI," tulis admin grup Minahasa Merdeka.

Pemandangan Kota Manado. Foto oleh Midori/ Creative Commons License

Minahasa punya sejarah panjang loyal mendukung republik sekaligus berusaha menggulingkannya. Pada 1945, selama momen perumusan Pancasila, salah satu tokoh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) paling menolak keras Piagam Jakarta adalah tokoh Minahasa Alexander Andries Maramis. Dia menjadi motor penolakan masuknya kalimat "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", karena khawatir di masa mendatang akan mengganggu kebhinekaan negara kepulauan ini.

Tentu saja, tak ada aksi separatis dari Tanah Minahasa yang lebih serius daripada deklarasi 2 Maret 1957, yakni munculnya gerakan militer Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta) dipimpin Letnan kolonel Ventje Sumual yang keluar dari TNI Angkatan Darat.

Iklan

Permesta lahir atas ketidakpuasan militer daerah terhadap kebijakan Jakarta dalam hal pemerataan pembangunan. Meski sempat terjadi kontak senjata, pemberontakan Permesta dapat dipadamkan melalui perundingan antara utusan Presiden Soekarno dan pasukan pemberontak.

Berselang lebih dari setengah abad, baru muncul kembali Gerakan Kemerdekaan Minahasa pada 2006 menyusul eksekusi mati Febianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva yang didakwa melakukan pembantaian warga saat pecahnya kerusuhan Poso, Sulawesi Tengah.

Para pengamat dan peneliti mendesak pemerintah untuk segera menekan gerakan Minahasa Merdeka. Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro mengatakan gerakan Minahasa Merdeka dapat menginspirasi daerah lain untuk menggelar referendum. Menurut Siti, daerah seperti Aceh dan Papua telah lebih dulu bercita-cita menggelar referendum.

"Gerakan ini jangan sampai diberikan peluang. (Pemerintah) jangan sampai keliru dan lamban melangkah, harus cepat," ujar Siti.

"Saya menduga isu ini memang sengaja dihembuskan oleh pihak separatis Minahasa Merdeka dengan memanfaatkan sentimen masyarakat yang tidak puas dengan vonis pengadilan terhadap kasus Ahok," ujar ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari.

Tommy Lasut, jurnalis sekaligus tokoh masyarakat di Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa, merasa gerakan Minahasa Merdeka tak perlu ditanggapi berlebihan. Menurutnya gerakan tersebut muncul karena segelintir orang atau kelompok tertentu yang tidak puas dengan meningkatnya intoleransi di Indonesia.

"Mayoritas masyarakat Minahasa nasionalis banget. Kalau ditengok lagi tokoh-tokoh nasional sejak zaman kemerdekaan banyak yang berasal dari Minahasa," ujar Tommy saat dihubungi VICE Indonesia. Salah satu yang dicontohkan adalah Dr. Sam Ratulangi, akademisi sains yang belajar di Zurich pada masa kolonial Belanda, tapi memilih berjuang mendukung kemerdekaan Indonesia.

Terkait tuntutan merdeka akibat isu Ahok, Tommy mengakui beberapa warga Minahasa kecewa karena pemerintah terkesan membiarkan intervensi kelompok konservatif dalam kasus penistaan agama itu. Mereka menilai vonis dua tahun penjara yang dijatuhkan kepada Ahok amat dipaksakan. "Banyak warga yang melihat Ahok ini sebagai pemimpin yang baik. Ketika kasus tersebut dipolitisasi karena kepentingan kelompok tertentu, itu yang menjadi permasalahan," ujar Tommy.

Kendati begitu, Tommy mewanti-wanti pemerintah agar membuka dialog dengan warga yang pro Minahasa Merdeka. Dikhawatirkan jika dibiarkan, rasa tidak puas terhadap pemerintah dapat bergulir menjadi bola salju yang bisa berbahaya.

"Harus ada keterbukaan dan dialog antara pemerintah dan warga Minahasa. Secara umum tidak itu yang namanya ketidakpuasan warga. Kalaupun warga tidak puas itu dalam koridor politik pemerintahan saja," tutur Tommy.