Pekan ini jutaan orang keluar dari kota-kota besar Indonesia, kembali ke kampung halaman. Mudik sebuah ziarah dalam skala nasional yang hanya sedikit punya bandingan di seluruh dunia. Tak peduli kalian naik mobil, kereta, kapal, atau pesawat, mudik tetap saja hectic. Setelah opor ayam dan salaman serta semua basa-basi bersama keluarga besar, pilihan kalian cuma dua: main atau ngendon di kamar saja.
Bagi yang punya banyak waktu luang di kampung halaman, buku rasanya bisa menjadi teman yang baik. Buku-buku juga bisa menjadi sahabat bagi kalian membunuh waktu selama perjalanan darat. Buku tidak perlu diisi baterai, tak membutuhkan sinyal atau wifi, serta bisa dinikmati kapanpun kalian mau. Kenikmatan hqq! Tentu saja kenikmatan ini hanya bisa dirasakan penumpang. Maaf ya para sopir se-Indonesia, kalian masih bisa baca kalau sudah sampai tujuan kok. :P
Iklan
Karenanya, VICE Indonesia menyediakan daftar buku-buku yang bisa jadi teman asyik saat mudik. Kami meminta rekomendasi ini berdasarkan tiga komunitas literasi dan satu toko buku—dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya—yang sudah tidak diragukan lagi reputasinya dalam hal perbukuan.
Nah, bagaimana dengan yang tahun ini sedang tidak mudik? Percayalah, buku-buku di daftar ini juga bisa menemani kalian selama momen liburan panjang. Tanpa berpanjang-panjang lagi, berikut daftarnya:Buku-buku ini kami pilih dengan pertimbangan sebagai berikut: (1) relatif mudah/asyik/ringan dibaca, cocok dibaca saat perjalanan mudik yang mungkin banyak distraksi; (2) relevan dengan hal-hal yang dilakukan menjelang mudik, seperti bertemu keluarga, menghadapi pertanyaan-pertanyaan "standar" dan juga pertanyaan introspeksi terhadap diri sendiri; (3) mencakup pilihan yang sebisa mungkin beragam, untuk lebih lengkapnya sila baca penjabaran kami yang lebih lengkap di tautan ini. Mengingat sangat tidak meratanya distribusi buku di Indonesia, kami masukkan juga dua judul yang dapat dibaca online. Rekomendasi judul ini kami lemparkan ke beberapa anggota, sukarelawan, dan pengurus C20. Selamat membaca!Pertama terbit dalam bahasa Prancis pada 1747. Versi bahasa Indonesia diterbitkan Penerbit Oak, 2015
Alkisah Zadig adalah seorang laki-laki bijak, kaya, dan baik hati. Seberapa pandainya atau baik hatinya, tetap ia tak bisa menghindar dari kondisi sekitarnya, yang mengombang-ambingkannya dalam nasib untung maupun buntung. Mulai dari jatuh cinta pada istri raja yang melindunginya; menikahi perempuan yang ingin memotong hidungnya — cerita-cerita dalam Zadig dengan latar belakang Babilonia Kuno mengingatkan kita pada cerita-cerita 1001 malam, atau Cerita-cerita Timur Marguerite Yourcenar. Sarat satir, penuh harapan dan cerita jenaka, juga sindiran yang mungkin sama menohoknya di zaman Voltaire maupun di zaman sekarang, Zadig sangat cocok dibacakan ketika kita berkumpul bersama keluarga, seperti kita menikmati stand-up comedy atau pantun. Terjemahan dan penyuntingan bahasa Indonesianya sangat bagus (jempol untuk penerjemah Widya M. Putra dan Dewi Kharisma Michellia selaku editor), dilengkapi catatan-catatan konteks zamannya. Oh iya, versi bahasa Inggris buku ini juga bisa diunduh gratis online dari Gutenberg, karena sudah masuk domain publik.
C2O, Surabaya
Zadig - Voltaire
Iklan
Musik Indonesia 1997-2001: Kebisingan & Keragaman Aliran Musik - Jeremy Wallach
Raden Mandasia: Si Pencuri Daging Sapi - Yusi Avianto Pareanom
Record of a Night Too Brief – Hiromi Kawakami
24 Jam Bersama Gaspar – Sabda Armandio
My Documents – Alejandro Zambra
We are Nowhere and It's Wow - Mikael Johani*
Iklan
Kineruku, Bandung
Kaas (Keju) - Willem Elsschot
Merantau ke Deli - Hamka
Iklan
Innocent When You Dream, Tom Waits: The Collected Interviews - Mac Montandon (editor)
Iklan
Radiobuku, Yogyakarta
Aki - Idrus
Sekarang Aki jadi Tuhan
Tapi Aki juga akan mati
Jadi semua tidak kekal
Tuhan tidak, Aki tidak, Aku tidak!" Mohon jangan terburu-buru memaknai kalimat "Tuhan sudah mati"— Idrus bukan tipikal orang yang mudah berterus terang—berkontemplasilah. Sesudah Ramadan berakhir, di tengah suasana mudik, alangkah baiknya kita kembali merefleksikan diri. Benarkah selama ini ibadah kita murni atau hanya rutinitas tanpa arti? Kalau perlu pemaknaan kembali silakan lakukan. Di momen Lebaran ini, sudahkah kita mengkoreksi diri?