Kerusakan Lingkungan

Indonesia Kirim Balik Lima Kontainer Sampah ke Negara Maju

Negara-negara di Asia Tenggara disinyalir menjadi ‘area buangan’ sampah plastik negara-negara maju. Mereka mengambil sikap: kirim balik!
Indonesia Kirim Balik Lima Kontainer Sampah ke Negara Maju
Foto via Shutterstock

Sejak Tiongkok berhenti menerima pasokan sampah plastik dunia, Asia Tenggara menjadi sasaran baru limbah plastik dari negara maju. Setelah Malaysia dan Filipina mengirim balik berton-ton sampah kembali negara asal sampah tersebut, kini giliran Indonesia melakukan hal serupa dengan mengirim balik lima kontainer sampah ke Amerika Serikat.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun KLHK Sayid Muhadhar mengatakan pemerintah menemukan sepatu bekas, plastik, dan popok yang dikirim bersamaan dengan kertas bekas di lima buah kontainer yang diimpor dari Seattle Maret lalu.

Iklan

Kargo tersebut diimpor dari sebuah perusahaan di Kanada yang menyediakan kertas bekas. Namun pihak kementerian tidak menjelaskan apakah sampah tersebut berasal dari Kanada atau Amerika Serikat.

“Kertas bekas berasal dari Kanada, tetapi pelabuhan muatnya ada di Seattle. Jadi kita kembalikan dulu ke Seattle, ke pelabuhan muatnya," kata Sayid dikutip BBC Indonesia.

Kertas bekas adalah salah satu bahan baku dalam industri pembuatan kertas. Dan Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami ketergantungan dengan impor kertas bekas. Dari catatan Kementerian Perindustrian, Indonesia perlu 6,2 juta ton kertas bekas untuk industri. Sementara kertas bekas lokal baru bisa dipenuhi 2,5 juta. Artinya sisa kekurangan tersebut akhirnya dipenuhi dengan cara impor.

Selain impor kertas, Indonesia juga ketergantungan dengan impor sampah plastik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menunjukkan peningkatan impor sampah plastik Indonesia sebesar 141 persen atau sekira 283.152 ton, dan meningkat lebih dari 100 persen jika dibandingkan impor sampah plastik pada 2013 yang ‘cuma’ 124.433 ton.

Menurut catatan Kementerian Perindustrian nilai impor plastik Indonesia mencapai US$6 miliar per tahun. Kemenperin mengatakan dengan kebutuhan bahan baku industri plastik nasional sebesar 5,6 juta ton per tahun. Indonesia masih kekurangan hampir 2 juta ton plastik, yang bisa dipenuhi dari pasokan impor.

Indonesia sebetulnya masih kalah dari Tiongkok dalam hal impor sampah plastik. Sebelum 2019, Tiongkok adalah negara pengimpor sampah plastik terbesar di dunia. Sempat dilaporkan bahwa Tiongkok sempat mengolah separuh dari total sampah plastik dunia. Namun, pada 2018, Tiongkok berkomitmen menghentikan impor sampah plastik dari negara lain dengan alasan lingkungan. India pun mengikuti langkah Tiongkok dalam melarang impor sampah plastik. Hal ini membuat negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada yang selama ini ketergantungan mengekspor sampah ke negara lain karena tidak punya kemampuan mendaur ulang, kewalahan mencari pengganti Tiongkok.

Iklan

Sebagai hasilnya jutaan ton sampah plastik dari Eropa, Australia, dan Amerika Serikat menumpuk di Asia Tenggara. Vietnam baru-baru ini sedang memberlakukan moratorium untuk memberikan izin impor baru, Thailand tengah mengkaji larangan impor sampah, sementara Malaysia dan Filipina juga telah mengirim kembali tumpukan sampah ke negara pengirimnya.

April lalu LSM lingkungan Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) dalam investigasinya mengungkap praktik kotor yang dilakukan Australia yang diam-diam menyelundupkan sampah ke dalam kontainer berisi kertas bekas ke Jawa Timur. Hasilnya, sampah plastik dan rumah tangga tersebut sulit didaur ulang dan akhirnya mencemari Sungai Brantas.

Direktur Eksekutif organisasi lingkungan Ecoton, Prigi Arisandi mengatakan peraturan pemerintah terkait impor limbah tak dilaksanakan dengan tegas. Pemerintah sudah menetapkan bahwa bobot sampah plastik tak boleh lebih dari 2 persen dari bobot kertas bekas. Berdasarkan temuan Prigi dan timnya, sepanjang 2018 bobot sampah plastik yang masuk ke Indonesia mencapai 30 persen. Jika hal ini terus berlangsung bukan mustahil negara-negara berkembang hanya akan menjadi tempat pembuangan sampah plastik ilegal dari negara maju.

"Mereka tidak mau lingkungannya terganggu karena sampah, karenanya menaruh risiko itu ke negara-negara miskin atau berkembang karena kita tidak memiliki regulasi terlalu kuat," kata Prigi.