Bukti-Bukti Lagu Menyelamatkan Hidup, Bikin Orang Batal Bunuh Diri

FYI.

This story is over 5 years old.

Musik dan Kehidupan

Bukti-Bukti Lagu Menyelamatkan Hidup, Bikin Orang Batal Bunuh Diri

Kami ngobrol bareng mereka-mereka yang bangkit dari keterpurukan setelah mendengarkan musik idolanya.

Tentunya kita sering sekali mendengar ungkapan "band atau musisi ini nyelametin hidup gue." Kadang ini bersifat klise, tapi sering juga tidak. Tapi jujur, memang sulit kadang menentukan seberapa luas cakupan ungkapan "menyelamatkan hidup" ini. Berhubung kami sudah sering banget bikin artikel yang iseng dan tidak terlalu serius, kali ini kami ngobrol dengan beberapa penggemar musik obsesif dan mencari tahu bagaimana musisi idola telah menyelamatkan hidup mereka. Siapkan tisyu ya.

Iklan

Garbage - Rosalie, 25 tahun, London

Saya hanya butuh waktu beberapa detik menonton seorang perempuan yang sedang marah-marah bernyanyi "Why Do You Love Me" di MTV2 sebelum menjadikan Garbage band favorit. Saya berumur 13 tahun waktu itu. Album mereka Bleed Like Me membantu saya melalui masa-masa sulit dalam hidup. Ya memang sih, ketika kamu remaja labil berumur 14 tahun, semua masalah terasa besar. Tapi kombinasi memiliki sedikit teman, sadar bahwa kamu seorang homoseksual, tidak tahu harus bagaimana, dan didiagnosis mengidap depresi membuat hidup terasa sangat berat. Bahkan hingga sekarang, saya kesulitan mendeskripsikannya dengan kata-kata.

Saya menemukan tempat berteduh dalam musik Garbage. Lirik mereka menggambarkan seseorang yang mengubah depresi dan gangguan kecemasan, dan mengubahnya jadi sesuatu yang indah. Saya ingat dengan jelas memutar title track dari Bleed Like Me suatu hari dan merasa seakan-akan mendengarkannya untuk pertama kali. Tiba-tiba saya mendapat pencerahan. Ketika saya mendengarkan lagu tersebut, mendengarkan suara vokal Shirley, saya menyadari bahwa lagu tersebut datang dari pengalaman seseorang yang berhasil melalui masa-masa berat.

Di momen itu, saya menyadari bahwa lagu itu bercerita tentang melihat rasa sakit dari luar, sesuatu yang saat itu masih belum bisa saya lakukan, tapi paling tidak memberi saya harapan. Hingga sekarang saya masih sering mendengarkan Garbage. Mereka adalah band favorit saya dan semenjak mereka kembali aktif, saya sudah menonton mereka manggung berkali-kali. Hingga sekarang, saya masih kesulitan mendengarkan lagu Bleed Like Me. Tidak peduli betapa indahnya lagu itu, setiap kali mendengarkan, saya selalu menangis.

Iklan

Titus Andronicus - Will, 29, London

Di penghujung 2010, saya berhasil mewujudkan mimpi: mendapatkan "pekerjaan yang layak" di London. Namun selama 18 bulan ke depannya, perlahan-lahan saya menyadari bahwa saya membenci pekerjaan itu dan juga tidak becus melakukannya. Hidup saya kacau balau, setiap hari saya mengalami gangguan kecemasan, bekerja 65 jam seminggu, berusaha hidup di London dengan gaji standar, dan sering minum-minum sebagai pelipur lara. Di satu titik, saya muntah basian di platform stasiun Marble Arch ketika sedang menuju kantor. Ini adalah peringatan bagi saya.

Saya ingat selama bulan Mei 2012, saya hanya mendengarkan The Monitor oleh Titus Andronicus. Saya meneriakkan lirik lagu tersebut secara internal untuk bisa melalui hari, menikmati elemen nihilisme album tersebut dan bersemangat melawan semua hal yang menganggu diri. Vokalis Patrick Stickles bernyanyi di lagu "Four Score And Seven," bahwa kita dilahirkan untuk mati seperti manusia, bukan seekor anjing. Saya langsung sadar kalau saya memang akan hidup miskin dan menderita, ya paling tidak saya tidak mau menderita stres, menangis-nangis di toilet, terkena serangan panik. Saya langsung berusaha mengambil alih nasib saya lagi. Saya meninggalkan pekerjaan tersebut.

Saya masih sering mendengarkan Titus. Saya pernah menonton mereka manggung enam kali, di Inggris dan Spanyol. Setiap kali saya menonton, saya selalu jatuh menangis. Sekarang, saya bisa mendengarkan lagu-lagu tersebut dan mengingat kekuatan yang mereka berikan ke saya selama beberapa bulan tersebut.

Iklan

The Streets - Dylan*, 26 tahun, London

Saya masih ingat mendengar "Has It Come To This?" di radio ketika pulang sekolah suatu hari. Saya berumur 11 atau 12 tahun waktu itu. Dentingan piano, beat dan vokal reff "woah oh oh oh"nya adalah sesuatu yang baru bagi saya. Belum lagi cara menyanyi vokalis Skinner dan aksennya yang ramah di kuping. Barulah beberapa tahun kemudian, ketika saya mulai sering bepergian keluar rumah, saya mulai lebih sering mendengarkan musiknya dan lagu-lagu tersebut menjadi sangat relevan bagi saya dan teman-teman.

Di awal dan pertengahan 20-an, saya memiliki masalah dengan kesehatan mental. Tapi sama seperti banyak lelaki yang bertarung melawan gangguan kecemasan dan depresi, saya tidak bercerita ke siapa-siapa. Saya tidak tahu harus melakukan apa, dan terus mabuk-mabukan, berusaha mencari jawaban. Kemudian saya membaca autobiografi Skinner, di mana dia terang-terangan membahas masalah yang dia hadapi setelah album ketiganya, dan bagaimana menjalani terapi perilaku kognitif sangat membantunya. Saking jujurnya buku tersebut, stigma yang menyelimuti rasa takut saya dalam mencari bantuan akhirnya pecah. 'Bodo ah,' pikir saya, 'kenapa enggak?' Akhirnya saya menemui dokter dan menjalani terapi yang sama untuk beberapa waktu. Akibatnya, hidup saya benar-benar berubah, bukan hanya di saat itu, tapi juga beberapa tahun setelahnya.

Skinner menulis lagu untuk setiap jenis emosi. Lagu ceria, lagu galau, lagu pesta, lagu reflektif, selalu ada lagu untuk setiap mood yang kamu alami. Saya ingin mengucapkan terima kasih untuknya. Semua lagu dan buku yang dia tulis telah memberikan saya banyak memori dan menjadi bagian penting dari hidup saya. I love you, Mike. Buruan dong tur album Darker the Shadow.

Iklan

My Chemical Romance - Kinga, 22 tahun, London

Lirik My Chemical Romance bisa mengungkapkan apa yang saya rasakan tanpa saya harus membuka mulut. Bahkan di saat-saat yang berat, lagu-lagu mereka memberikan saya harapan. MCR membuat perasaan terisolasi yang saya rasakan jadi lebih enteng, karena di headphone, di iPod, dan di kuping saya, mereka menyajikan musik dan emosi yang sangat familiar.

Bagi seseorang yang dirundung selama SMA gara-gara mendengarkan musik rock dan metal, melihat musisi-musisi idola di dunia nyata—sebagai makhluk yang hidup dan bernafas, dan bukan sekedar imej di layar atau di poster kamar—membuat gairahnya terasa lebih nyata. Jadi ketika sedang tidak berada di gig, setiap kali saya merasa patah semangat dan bete (biarpun ini klise banget), saya memasang headphone, menaikkan volume, dan menikmati musik MCR. Band dan musik tidak bisa menyembuhkan apapun, tapi bisa membantu membuat hidup lebih mudah dijalani.

Converge - Ollie, 29 tahun, Kingston/Thames

2008 adalah tahun yang menyebalkan. Saya mengalami putus cinta yang menyakitkan dan drop-out dari universitas. Prospek hidup saya lumayan suram, dan saya mengambil pekerjaan apapun yang bisa saya dapat. Saat itu, orang-orang belum segitu "sadarnya" tentang depresi dan karena saya tidak menyadari apa yang sebetulnya saya rasakan, saya sering marah-marah ke teman-teman dan mengalienasi semua orang terdekat.

Saya merasa tidak memiliki masa depan, dan berusaha mengakhiri hidup. Tanpa harus bercerita secara detil, saya ingin mendengarkan album Jane Doe ketika hidup saya berakhir. Namun selagi musik Converge menemani dan saya tengah menulis pesan perpisahan, musiknya merasuk ke dalam kalbu. Ketika akhirnya title track akhir album—mahakarya emosional berdurasi 12 menit—berputar, saya jadi mikir apabila Jacob Bannon bisa mengatasi kekacauan emosional yang dia alami ketika menulis album tersebut, seharusnya saya bisa melakukan hal yang sama. Saya memutuskan bahwa musik, dan kekuatan yang musik bisa ciptakan, membuat hidup layak untuk diteruskan.

Iklan

Kalau saya bisa bertemu Jacob Bannon suatu hari nanti, saya sudah pasti akan menangis tanpa henti. Saya ingin paling tidak bisa mengatakan "Terima kasih karena sudah menjadi yang terbaik dan berbagi pengalaman dengan dunia."

Foals - Georgia, 17 tahun, Aylesbury

Saya mulai mengikuti Foals ketika Holy Fire dirilis. Setelah itu saya juga mendengarkan album Antidotes dan Total Life Forever. Saya juga mulai mengoleksi vinyl di saat ini, jadi tiga rilisan pertama Foals adalah vinyl pertama dalam koleksi saya. Saya sudah bertemu Foals dua kali semenjak itu tapi tidak pernah berani mengatakan ke mereka seberapa penting mereka buat saya.

Kesehatan mental saya memang buruk semenjak saya berumur 11 tahun, dan bahkan hingga sekarang. Barulah setelah empat tahun menderita, saya mulai mencari bantuan yang layak, dan di September 2015, hidup rasanya terlalu berat untuk dijalani. Saya memainkan album favorit saya, Holy Fire, di kamar dan mendengarkannya dari kamar mandi di mana saya berencana mengakhiri hidup. Ketika lagu "Bad Habit" berputar, baris terakhir lagu itu "I feel quite okay" membuat saya memikirkan ulang keputusan saya. Untuk mengenang momen ini, saya ingin membuat tato potongan lirik tersebut ketika berumur 18 tahun nanti.

Hingga kini, "Bad Habit" merupakan lagu terpenting dalam kehidupan saya, dan Foals akan selalu menjadi band favorit saya. Saya sangat bersyukur mengalami momen tersebut karena memberikan saya kesempatan untuk bertarung melawan masa-masa sulit dan terus menjalani hidup yang memberikan saya banyak pengalaman luar biasa. Akan sangat berarti buat saya apabila Foals tahu seberapa banyak mereka telah membantu saya. Saya ingin mereka tahu bagaimana mereka secara positif mempengaruhi saya beberapa tahun ini dan saya ingin mengucapkan terima kasih untuk segalanya. Saya juga ingin mereka kembali memasukkan "Bad Habit" ke dalam setlist manggung. Foals, kalian adalah yang terbaik.

Iklan

Beach House - Danielle, 20 tahun, London

Saya mulai mendengarkan Beach House ketika memulai kuliah September lalu. Ini masa yang aneh buat saya. Saya pindah ke London sendirian dan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang-orang yang berbeda. Seorang teman memainkan album Depression Cherry oleh Beach House di sebuah Minggu siang ketika hujan turun dan mendeskripsikannya sebagai "musik nyantai yang sempurna." Semenjak itu, saya ketagihan.

Beberapa bulan kemudian, saya mengalami masa berat: gagal dalam tugas universitas dan baru putus dengan pacar dengan cara yang enggak enak. Hidup saya mencapai titik terendah, dan selama berminggu-minggu, pemikiran yang intrusif, pesimis, dan nihilistik memenuhi kepala. Saya sempat berencana melakukan bunuh diri. Untungnya, musik Beach House menenangkan pikiran saya karena sifat musiknya yang mengawang-awang.

Mendengarkan "Elegy to the Void" dari album Thank Your Lucky Stars, saya ulang track itu berulang kali karena sebelumnya tidak pernah benar-benar memperhatikan liriknya. Bait keempat dibuka dengan "black clock looming distant" dan setelah membaca liriknya, saya menyimpulkan bahwa kita semua hidup dan akan mati suatu hari nanti; kita semua adalah segalanya dan juga bukan apa-apa. Konsep kematian itu normal, dan kita seharusnya tidak menjalani hidup sambil memproyeksikan masa depan. Saya sudah didiagnosis dengan bipolar, jadi sudah pasti masih akan terus berjuang melawan depresi ke depannya, tapi nyaman rasanya mengingatkan diri akan hal-hal ini di tengah semua kekacauan.

Membicarakan perasaan adalah hal yang asing buat saya: saya tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Tapi entah bagaimana "Elegy to the Void" secara musik, lirik, dan vokal berhasil menangkap monolog internal yang terjadi di titik terendah hidup saya dan seolah mengatakan: "Gpp, sekali-sekali galau. Normal kadang kita tidak bisa merasakan apapun: normal juga untuk merasakan semuanya. Kamu adalah kamu, dan saya adalah saya, kita semua hidup bersama di tengah dunia yang kejam ini."

*Nama telah diganti untuk menghormati privasi narasumber.