FYI.

This story is over 5 years old.

Kesehatan Mental

Terlalu Sering Berbagi Kehidupan Pribadi di Facebook Berdampak Pada Kesehatan Mentalmu

Masih pengin posting semua detail kehidupan sehari-harimu di medsos?
Ilustrasi oleh Anna DeFlorian.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

Media sosial bikin ngeshare segala hal jadi gampang, mulai dari perihal diare sampai berita perceraian, tapi seberapa sehat sih kebiasaan kayak gitu? Sembilan tahun yang lalu, ketika saya baru saja bercerai dan butuh dukungan emosional, saya mengklik tombol post untuk cerita ke teman lama tentang pernikahan saya yang gagal. Celakanya, pada saat itu saya masih belum jago main Facebook. Jadi ketika teman saya itu menelepon, saya kira dia bakal memberi dukungan, ternyata dia memberitahu saya kalau personal message dan public wall post itu dua hal yang berbeda. Ketika sadar bahwa saya barusan ngepost semua detail tentang perceraian saya di profil yang bisa diakses semua orang, saya langsung merasa makin stres. Mencari teman curhat di masa-masa sulit memang sehat, dan media sosial mempermudah kita dalam mencari bantuan. Menurut Pew Research, pengguna Facebook mendapatkan dukungan sosial, emosional, dan teman bicara dari yang bukan pengguna. Bahkan, laporan tahun 2011 oleh Pew Research menyatakan, “Seseorang yang menggunakan Facebook beberapa kali dalam sehari mendapatkan sekitar setengah banyaknya dukungan yang diterima seseorang yang sudah menikah atau tinggal bersama pasangannya.” (Bedanya, Facebook nggak sembarangan naro kaos kaki bekas di kamar.) Media sosial merupakan sumber dukungan yang baik, tapi media sosial juga bisa jadi sumber stres yang cukup besar. Masalahnya, di saat-saat yang sulit, apa yang kita share di media sosial--dan respon orang lain--sangat mungkin mempengaruhi tingkat stres kita. Kasus yang saya ceritakan tadi memang berawal dari kesalahan sendiri, tapi kadang-kadang orang-orang memang sering nggak bisa jaga perkataan di media sosial. “Ketika kita ngepost tentang pengalaman-pengalaman buruk di dunia maya (baik di media sosial seperti Facebook dan Instagram, maupun di komunitas anonim), respon yang kita terima bisa menyebabkan peningkatan dan penurunan tingkat stres,” kata Pamara Chang, asisten profesor Department of Communication di University of Cincinnati. Chang menjelaskan bahwa jika komentar para pengguna membantu “memposisikan atau menilai ulang suatu pengalaman buruk, interaksi ini dapat membantu orang yang mengalaminya untuk mengatasi, beradaptasi, dan pulih secara emosional.” Walaupun demikian, hal yang sebaliknya juga mungkin terjadi. Chang menuturkan komentar-komentar tersebut juga “mendorong mereka untuk memikirkan peristiwa tidak enak tersebut lebih jauh, sehingga emosi negatif yang dialami mereka bisa menjadi semakin kuat, dan memperlambat proses pemulihan.” Dengan kata lain, kita bisa jadi malah terdorong untuk memikirkannya secara berlebihan, hingga mengganggu proses pemulihan. Respons orang lain di media sosial susah ditebak--terutama kalo kamu termasuk segelintir orang-orang yang suka minta folbek (bukannya menghakimi kok)--jadi lumayan penting untuk mengingat bahwa ngepost hal-hal pribadi di ruang online bisa menyebabkan stres yang sebenernya nggak perlu. Kita ambil teman saya, Fred (bukan nama asli) sebagai contoh. Fred mengidap Crohn’s disease, sebuah kondisi yang menyebabkannya melewati periode eksarsebasi dan remisi. Ketika Fred mengalami eksarsebasi, ia memulai support group online untuk sesama penderita Crohn’s disease. Dia mengagih pengalaman pribadinya sembari memberikan dukungan untuk ratusan orang yang sama sepertinya. Selang beberapa bulan, Fred menerima banyak dukungan di dunia maya. Namun, ketika Fred akhirnya ada di periode remisi dan kembali bekerja di kantornya, ia tidak jadi diberikan promosi oleh atasannya karena penyakitnya. “Saya bertanya bagaimana atasan saya bisa tahu tentang penyakit saya, karena kita berdua belum pernah membicarakannya secara langsung, dan sebetulnya dia tidak boleh bertanya kepada saya tentang hal itu,” kata Fred. Atasannya ternyata melihat post Facebooknya. Meskipun Fred menerima banyak dukungan dan teman curhat di dunia maya, cerita-cerita personal yang ditulisnya di Facebook menyebabkan banyak masalah di kehidupan profesionalnya. Dia mengaku sedih karena apa yang dilakukannya di dunia maya diambil tanpa konteks dan dipergunakan orang lain untuk merugikannya. “Saya harus mengkhawatirkan bagaimana ini akan mempengaruhi keluarga saya, dan itu membuat saya frustrasi.” Walaupun begitu, Fred mengaku bahwa curhatannya di dunia maya memberikan dukungan emosi yang menguntungkan bagi sebagian orang. Ketika ditanya apakah dia ingin melakukannya lagi jika diberi kesempatan, dia menjawab iya, karena komunitas yang dia bangun merupakan langkah yang positif. Tapi seperti yang Chang bilang, ketika media sosial tidak memberikan dukungan yang kita butuhkan, itu bisa menjadi merugikan, seperti yang dialami Jose Torres, 36, dari New Jersey. Di tengah-tengah perjuangannya melawan kecanduan, Torres menggunakan Facebooknya untuk meminta pertolongan dan dukungan. Tetapi Torres tidak mendapatkan dukungan yang dia harapkan. Bahkan, dia bilang, “reaksi negatifnya sangat buruk sehingga saya memutuskan untuk menghapus banyak konten yang menceritakan tentang kondisi saya.” Akhirnya, postingannya di media sosial tentang pengalamannya malah merusak hubungannya dengan teman dan keluarga terdekat. Satu lagi: Ketika melihat-lihat news feed seseorang, wajar kalau kita bereaksi negatif terhadap post yang tidak kita setujui. Pikirkan deh, seberapa banyak tenaga yang dibutuhkan untuk memroses--dan mengabaikan dengan sengaja--post-post tersebut. Survei membuktikankesadaran kita terhadap kesulitan yang dialami orang lain saja bisa meningkatkan tingkat stres kita sendiri. Sayangnya, reaksi negatif bahkan tidak harus nyata untuk menyebabkan stres. Merujuk kesimpulan penelitian yang diterbitkan Journal of Computer-Mediated Communication, pengguna media sosial bisa mengalami “anticipated responses” dan “imagined reactions” yang dapat meningkatkan tingkat stres. Coba pikirkan orang-orang yang kamu add di Facebook dan seberapa banyak dari mereka yang diam-diam mendukung Trump. Saya sedang membayangkan respon mereka terhadap post-post saya tentang temennya Putin itu. Sepanjang dekade 60'an, Albert Mehrabian--profesor emeritus UCLA dan ahli bahasa tubuh--menyatakan komunikasi nonverbal adalah 93 persen dari interaksi interpersonal. Iya, 93 persen mungkin berlebihan, tapi kita semua tahu bahwa komunikasi non-verbal penting untuk menyampaikan pesan secara efektif. Komunikasi tertulis adalah metode utama untuk berbagi pesan di dunia maya, tapi tidak semua orang pandai berkomunikasi tertulis. Tidak ada yang memberi isyarat di sana. Kamu juga tidak bisa mendengar nada bicara mereka. Dan jujur saja, tidak semua orang cukup puitis untuk mengartikulasikan pikirannya dengan cermat. Semua ini berarti bahwa pesan-pesan dapat berubah arti ketika seorang pengguna mengubah emosi dan ide-idenya menjadi bentuk teks. Tetapi, media sosial tetap bisa jadi tempat yang bagus untuk mencari dukungan. “Salah satu keuntungan dari menggunakan internet adalah kita bisa mengakses dan berkomunikasi dengan orang lain yang mengalami hal yang sama sepertimu,” tambah Chang. Tapi sebelum kita mengagih tentang situasi sulit yang kita alami, dia menyarankan kita untuk memikirkan dengan siapa informasi yang kita bagi dan apa yang ingin kita dapatkan sebagai balasannya. Kan nggak enak kalau kita malah dicap sebagai orang caper yang bikin males ketimbang bikin simpati. Hal terakhir yang harus dipikirkan baik-baik sebelum posting, mencari bantuan berbeda dari sekedar curhat, jadi pilihlah kata-katamu baik-baik. Chang memperingatkan, “Semakin implisit permintaan tolongmu dan semakin sering frekuensi postingan sedihmu, semakin jarang jejaring sosialmu akan merespon, baik dalam kuantitas maupun kualitas.” Kalau kamu tidak mendapatkan respon yang kamuj harapkan di dunia maya, katanya, “Menggunakan permintaan tolong yang lebih spesifik dan menggunakan jalur pribadi dengan teman dan keluarga bisa jadi lebih efektif.”