Perubahan Iklim

Penelitian: Hewan Terpantau Mulai Berubah Bentuk akibat Perubahan Iklim

Beberapa satwa liar tampak memiliki anggota tubuh yang lebih besar dari spesies sebelumnya. Perubahan iklim diduga kupenyebabnya.
Burung beo Mulga
Burung beo Mulga di kawasan Waikerie, Riverland, Australia Selatan. Foto: Auscape/Universal Images Group via Getty Images

Hewan sampai harus berubah bentuk demi bertahan hidup di Bumi yang terus memanas akibat ulah manusia.

Para ilmuwan telah lama meneliti dampak perubahan iklim pada satwa liar. Mereka menemukan suhu yang lebih panas dapat menyusutkan ukuran spesies tertentu, menyebabkan infertilitas dan bahkan kematian. Penelitian sebelumnya juga telah menunjukkan, binatang yang tinggal di iklim lebih hangat cenderung mengembangkan embelan (pelengkap pada tubuh hewan) lebih besar yang terkait dengan pembuangan panas tubuh. Fenomena ini lebih dikenal dengan sebutan Allen’s rule.

Iklan

Tim peneliti yang dipimpin Sara Ryding, mahasiswi Ph.D. ornitologi Universitas Deakin di Australia, memperlihatkan perubahan iklim dapat memperbesar ukuran embelan tertentu pada burung dan mamalia, misalnya seperti paruh dan telinga.

Ryding dan rekan-rekan menyajikan “bukti luas ‘shape-shifting’” pada hewan berdarah panas sebagai “akibat dari perubahan iklim dan pemanasan suhu yang terkait” dalam karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal Trends in Ecology and Evolution pada Selasa waktu setempat.

“Allen’s rule menjelaskan pola hewan yang memiliki embelan lebih besar di lingkungan bersuhu panas,” terang Ryding melalui email. “Idenya Allen’s rule juga bisa diaplikasikan pada efek perubahan iklim yang ekstrapolasi logis dan telah diusulkan peneliti sebelumnya,” imbuhnya, mengutip penelitian dalam jurnal Current Biology pada 2020 dan penelitian tahun 2015 dalam Journal of Biogeography.

Iklan

“Mengetahui Allen’s rule berlaku untuk banyak hewan di skala spasial, ini kemudian memunculkan gagasan fenomenanya juga ada di skala temporal: ukuran embelan bertambah besar seiring memanasnya suhu akibat perubahan iklim,” Ryding melanjutkan.

Untuk melihat bisa tidaknya pemanasan antropogenik memperkuat Allen’s rule, tim Ryding memeriksa riwayat proporsi tubuh binatang yang menjadi koleksi museum dan meninjau studi lapangan jangka panjang terhadap satwa liar. Hasilnya mengungkapkan beberapa contoh pertumbuhan cepat embelan pada spesies tertentu dalam waktu singkat, menunjukkan adaptasi terkait suhu ini terjadi lebih cepat daripada perkiraan tanpa perubahan iklim.

Contohnya, paruh burung beo Australia (parrotbill) telah bertambah ukurannya sekitar 4-10 persen sejak 1871. Sementara itu, beberapa populasi tikus dan kelelawar memiliki telinga, ekor, kaki dan sayap yang relatif lebih besar dibandingkan dengan leluhurnya yang hidup pada 1950-an dan seterusnya.

“Jenis penelitian ini mengandalkan koleksi museum yang bagus, yang mungkin tak selalu berasal dari era 1800-an tapi biasanya memiliki cakupan yang memadai untuk menunjukkan perubahan sebelum dan sesudah paruh abad ke-20, ketika tanda perubahan iklim mulai terlihat,” ujar Ryding.

“Saya rasa aspek yang paling mengejutkan adalah buktinya sangat luas, terjadi pada berbagai jenis hewan dan di seluruh skala geografis (contoh yang kami temukan berkisar dari tikus di Alaska hingga burung beo di Australia),” ungkapnya. “Meskipun sudah memperkirakan ini, kami sangat terkejut melihatnya terjadi dengan berbagai cara.”

Iklan

Peneliti menekankan peran suhu dalam perubahan morfologi sulit ditentukan, karena tekanan lain seperti hilangnya habitat dan ketersediaan makanan juga bisa memengaruhi ukuran dari waktu ke waktu. Juga belum diketahui secara pasti mekanisme seleksi alam yang mendorong perubahan bentuk ini. Misalnya, pembesaran paruh atau telinga mungkin terjadi secara bertahap, atau sebagai akibat kematian mendadak suatu populasi yang disebabkan oleh peristiwa cuaca ekstrem seperti gelombang panas.

“Walaupun perubahan evolusioner bisa berlangsung lambat dan memakan waktu ribuan tahun atau lebih, kami memahami seleksi yang kuat dapat mendorong perubahan evolusioner yang lebih cepat,” tutur Ryding. “Yang menjadi pertanyaan adalah apakah perubahannya cukup cepat untuk mengikuti perubahan iklim yang sedang terjadi.”

“Banyak yang mengaitkan perubahan morfologi ini dengan perubahan habitat, pola makan dan faktor ekologi lain. Namun, berhubung efeknya tampak tersebar luas di berbagai jenis hewan dengan pola makan dan habitat berbeda, perubahan iklim adalah satu-satunya variabel pemersatu yang menjelaskan semua perubahan ini (dari yang telah kami lihat, itu bisa terjadi dengan kekuatan statistik paling besar),” dia menambahkan.

Meskipun Ryding mengatakan “penelitian saat ini menyiratkan perubahan bentuk disebabkan oleh perubahan iklim,” timnya menekankan korelasi ini perlu didukung lebih banyak bukti lapangan, koleksi museum dan sumber-sumber lain. Karena itu tim peneliti berencana membangun temuan mereka dengan mempelajari burung yang rentan mengalami perubahan bentuk.

“Penelitian kami selanjutnya akan fokus pada burung dan perubahan bentuk yang ditunjukkan,” katanya. “Ini akan mencakup analisis catatan sejarah burung laut, dan memindai spesimen museum secara 3D untuk mengumpulkan dataset besar, untuk melihat seberapa luas perubahan bentuk di berbagai kelompok dan menjawab beberapa pertanyaan mengenai faktor ekologi lain yang telah saya uraikan di atas.”

“Kami juga berharap bisa mempelajari dengan cermat bagaimana penggunaan paruh sebagai organ penukar panas mengubah ukurannya, baik sekarang maupun di masa depan akibat memburuknya krisis iklim,” simpulnya. 

Upaya ini bisa membantu memprediksi hewan mana saja yang kemungkinan besar cepat berubah bentuk di masa depan, serta konsekuensinya dari adaptasi dadakan ini bagi ekosistem yang lebih luas.