Diskriminasi

TNI Akhirnya Bakal Hentikan 'Tes Keperawanan' dalam Seleksi Masuk Prajurit

KSAD mengatakan tes kesehatan yang tidak relevan dihapus dari rangkaian seleksi. Pegiat HAM menyebut cara 'tes keperawanan' tidak ilmiah dan seharusnya sejak lama berhenti dipakai militer.
KSAD Andika Perkasa Umumkan rencana stop 'tes keperawanan' dalam seleksi calon prajurit
Prajurit TNI perempuan berbaris bersama prajurit lelaki dalam perayaan 70 tahun TNI. Foto oleh Jefta Images / Barcroft Media / via Getty Images

TNI bersiap membuat perubahan dalam proses seleksi calon prajuritnya. Pertengahan Juli 2021, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Andika Perkasa mengumumkan pembaruan aturan terhadap calon prajurit Korps Wanita Angkatan Darat, atau KOWAD.

Perwira tinggi tersebut berujar tes kesehatan bagi perempuan tidak akan berbeda dengan tes kesehatan pria. Andika spesifik menginstruksikan penghapusan bagian-bagian tes kesehatan yang dianggap “tidak relevan”. Pernyataan ini kemudian diterjemahkan sebagai arah kebijakan TNI AD yang akan menghapus "tes keperawanan" dalam mekanisme perekrutan.

Iklan

“Tujuan rekrutmen adalah agar yang diterima bisa mengikuti pendidikan pertama, yang berarti hubungannya sama fisik. Oleh karena itu, ada hal-hal yang memang peserta ini harus memenuhi. Tetapi, ada juga hal-hal yang tidak relevan hubungannya, dan itu tidak lagi dilakukan pemeriksaan. Ini yang kemudian menonjol dalam perubahan kali ini,” kata Andika, seperti dilansir kanal YouTube TNI AD. “Kita lakukan seleksi terhadap pria harus sama dengan apa yang kita lakukan kepada wanita dalam hal kemampuan mereka untuk mengikuti pendidikan pertama atau dasar militer.”

Selain kepada calon prajurit perempuan, "tes keperawanan" juga menyasar calon istri prajurit saat akan menikah. Terkait ini, Andika pun mengatakan setiap calon istri prajurit hanya perlu melakukan pemeriksaan administrasi saja. 

Meski KSAD tidak spesifik menyebut "tes keperawanan", Peneliti Human Right Watch (HRW) Andreas Harsono meyakini frasa “tes yang tak relevan” dari Andika sebagai penanda bahwa "tes keperawanan" akan dihentikan. Andreas adalah salah satu peneliti yang konsisten mengadvokasi pemberhentian praktek tersebut di institusi TNI-Polri yang disebutnya terekam sudah dilakukan sejak 1965. Kepada VICE, ia memaparkan perubahan cara pandang TNI AD ini tidak lepas dari peran internal institusi.

Iklan

“Jenderal Andika Perkasa tak bekerja sendirian. Saya tahu ada perwira lain, termasuk panglima daerah, berbagai dokter militer, dan banyak aktor lain dalam TNI AD yang juga ingin perubahan dijalankan. Saya tahu banyak keluarga besar TNI AD, termasuk dari kalangan istri dan anak perempuan, juga keberatan dengan praktik yang merendahkan perempuan ini. Mereka bekerja di balik layar guna mendorong suami, ayah atau kakek mereka untuk lakukan perubahan,” kata Andreas kepada VICE. 

Peran eksternal juga hadir kala Komnas Perempuan secara rutin bertemu dengan Panglima TNI, KSAD, KSAL, dan KSAU untuk membahas berbagai hak perempuan.

Kabar baik lain juga muncul pada Selasa (10/8) ketika TNI Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) menyatakan jajarannya sudah tak lagi melakukan "tes keperawanan" bagi calon prajurit perempuan. Kepala Dinas Penerangan TNI AU Indan Gilang Buldansyah menyebutkan tes kesehatan calon prajurit tertuang pada Keputusan KSAU No. Kep 329/XI/2019 dan No. Kep 330/XXI/2019.

“Di dalam aturan Keputusan KSAU, tidak ada disebutkan ‘tes keperawanan’,” kata Indan kepada CNN Indonesia, yang ada hanya pemeriksaan alat reproduksi calon prajurit perempuan untuk mengantisipasi keberadaan penyakit seperti kista.

Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan TNI AU Julius Widjojono menyebutkan pihaknya hanya memeriksa alat reproduksi calon prajurit perempuan untuk alasan yang kurang lebih sama dengan TNI AL.

Iklan

Sebagai informasi, "tes keperawanan" juga biasa disebut tes dua jari, mengacu pada teknik memasukkan dua jari ke dalam vagina calon prajurit untuk memeriksa apakah ada kerusakan pada selaput dara sebagai syarat lolos. Pada 2018, Wakil Kepala Pusat Kesehatan TNI Adriani mengklaim pihaknya memiliki pemahaman kerusakan selaput dara mana yang disebabkan olahraga atau ketidaksengajaan lain, mana yang karena berhubungan seks.

Saat itu, Andreas menuding pemahaman tersebut berasal dari ensiklopedia kedokteran lama yang sudah usang, “Kalau sobek antara jam 11 sampai jam 1 atau jam 2, itu karena kegiatan olahraga. Tapi kalau robek jam 6, itu karena kegiatan seksualnya aktif. Itu [teori] sampah,” kata Andreas saat diwawancarai Kumparan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun sudah rutin meminta berbagai lembaga menghentian pemeriksaan vagina yang pseudo-ilmiah tersebut.

Manajer Media dan Kampanye Amnesty International Indonesia (AII) Nurina Savitri mengatakan “"tes keperawanan" harusnya dihapus sejak puluhan tahun lalu oleh petinggi militer.

Iklan

“Di bawah CEDAW (Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) yang diratifikasi 37 tahun lalu, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi perempuan dari segala bentuk praktik diskriminasi. Pasal 2 CEDAW misalnya, tertulis jelas bahwa negara harus menjamin prinsip kesetaraan dan menghindari segala bentuk praktek diskriminasi,” kata Nurina saat dihubungi VICE. 

Namun, Nurina menganggap lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, “Rencana saja jelas tidak cukup, kami juga mendesak agar niat ini segera diresmikan secara jelas dalam dokumen tertulis dan pihak TNI juga perlu memastikan penerapannya di seluruh Indonesia,” tambah Nurina. “Yang paling penting, sebagai alat negara, TNI juga harus menjamin bahwa semua prajurit tidak mengalami diskriminasi dalam bentuk apapun hanya karena pilihan gender mereka.”

Permintaan hadirnya hitam di atas putih dari pimpinan tiga matra TNI soal tes yang mendiskreditkan perempuan ini turut disampaikan Kepala Komnas Perempuan Andy Yentriyani.

“Kebijakan ini akan memberi sumbangan besar berakhirnya sikap diskriminatif terhadap perempuan. Namun, pandangan itu harus diresmikan dalam dokumen tertulis dan diharapkan akan juga diikuti oleh angkatan lain dalam TNI,” kata Andy kepada ABC.