William Wongso jelaskan sejarah dan alasan tradisi menggoreng berbagai jenis makanan di Indonesia
Foto ilustrasi penjual aneka gorengan di Kediri mempersiapkan dagangannya. Foto oleh Arief Priyono/LightRocket via Getty Image
Kuliner Indonesia

Mencari Penyebab Orang Indonesia Doyan Menggoreng Nyaris Semua Jenis Makanan

Dipandu pakar kuliner William Wongso, VICE mengulik alasan yang bikin orang Indonesia tega menggoreng kol, brokoli, nanas, sampai es krim.

Wajan penggorengan adalah peranti riset terbaik bangsa Indonesia. Ke minyak panas di dalamnya, kita telah menenggelamkan berbagai jenis bahan pangan demi menjawab pertanyaan penelitian terpenting dalam menikmati hidup: apakah makanan tersebut akan menjadi lebih enak untuk dimakan?

Teknik memasak goreng genre deep-fry, saat semua bagian bahan terendam dalam minyak panas, jadi salah satu cara memasak terpopuler. Mudah, murah, dan memuaskan untuk dilakukan. Hampir semua rumah punya dapur, hampir semua dapur punya minyak. Fakta bahwa negara ini berdiri kokoh sebagai penghasil produk kelapa sawit terbesar di dunia membuat teknik ini makin lestari. 

Iklan

Penjual gorengan bertebaran, menu makanan dengan nama belakang “goreng” bisa dijumpai di hampir semua restoran dan warung makan. Pasar mendukung, memudahkan inovasi dilakukan, berujung sesuatu yang baru ditemukan. Siapa sih yang pernah menyangka, sayur penyendiri macam brokoli dan kobis niscaya bertransformasi jadi mahakarya favorit mahasiswa setelah dicelupkan ke minyak panas? 

Asumsi saya tegas, bangsa Indonesia dengan wajan penggorengan adalah kombinasi berkapasitas tanpa batas. Kami saling membutuhkan untuk terus berkembang. Kami dilahirkan percaya bahwa semua makanan bisa digoreng sebelum terbukti sebaliknya. Beri kami sepuluh jenis makanan terbaru, maka pertanyaan yang kami lontarkan pertama kali adalah: apakah ini bisa digoreng? 

Sejujurnya sih, saya sendiri enggak begitu mengerti jawaban dari obsesi goreng-menggoreng bangsa ini. Ancaman penyakit akibat gorengan yang sudah bisa saya jumpai di internet bahkan tidak memudarkan rasa cinta saya kepada aci goreng, yang basically cuma tepung digoreng.

Namun, saya juga sadar kalau cinta buta itu tidak baik. Maka, saya putuskan untuk mencoba mengulik asal-muasal obsesi saya dan banyak masyarakat Indonesia terhadap gorengan. Kebingungan akan pangan ini harus dijawab. Kepada siapa lagi saya harus bertanya seputar kuliner kalau bukan kepada chef senior garis miring culinary guru William Wongso?

Iklan

“Goreng-gorengan udah jadi bagian dari makanan jalanan. Garing, crispy, lalu gurih, tapi dalamnya bisa lembut. [Profil rasa] ini memang digemari oleh masyarakat Asia Tenggara dan Tiongkok. Membuatnya juga mudah, tinggal nyalain api dan manasin minyak,” kata William memulai penjelasan.

GettyImages-1316405113.jpg

Ilustrasi menggoreng via Getty Images

Bahan pokok teknik menggoreng, yang tentu saja minyak goreng, tumpah ruah di Indonesia dan jadi bagian budaya. Sebelum ada industrialisasi minyak sawit, masyarakat sudah lebih dulu aktif memproduksi minyak kelapa secara rumahan. “Kelapa diperas, santan kentalnya dimasak hingga minyaknya terpisah. Hanya saja, sekarang penggunaan minyak kelapa lebih langka karena prosesnya lebih ribet. Kalau beli, harganya juga lebih mahal daripada minyak sawit,” tambah William.

Maka, ketika pedagang Tiongkok pertama kali datang dan memperkenalkan teknik menggoreng makanan, masyarakat tidak perlu beradaptasi lama sebelum mengakuisisinya. “Sudah langsung diterima. [Bedanya teknik menggoreng] Tiongkok menggunakan minyak babi, kita [menggunakan] minyak kelapa,” jelas pria 73 tahun tersebut. Wok, atau wajan, langsung jadi alat memasak asal Tiongkok yang banyak digunakan masyarakat.

Pendapat senada diutarakan Kevindra Soemantri, penulis dan editor boga. Menurutnya, Indonesia pada masa lalu adalah bangsa kosmopolitan yang sangat terbuka pada hal-hal baru. “Enggak ada pantangan ini-itu. Makanya saat itu, budaya-budaya baru sangat mudah melebur dengan masyarakat sebab secara fundamental, masyarakat Indonesia itu memang sangat terbuka dengan segala macam hal baru,” jelas pria 28 tahun itu.

Iklan

Terkait apa kapan pastinya teknik menggoreng masuk di Indonesia, ada beberapa perkiraan. Kevindra mengindikasikan setidaknya teknik menggoreng sampai ke Indonesia sesudah masa Kerajaan Mataram Kuno di abad ke-8, mengingat di masa itu belum ada bukti masyarakat memproses makanan kering selain dengan cara dijemur. Menurut situs sejarah Historia, makanan gorengan dilaporkan sudah dihidangkan di Indonesia dalam sajian upacara pernikahan di Keraton Surakarta menurut Serat Centhini (1814). Gorengan berbahan daging dihidangkan bersama sayuran yang ditumis (stir fry), sebuah teknik memasak menggunakan sedikit minyak, yang juga berasal dari Tiongkok.

Dari obrolan dengan Kevindra, tampaknya ada korelasi antara kelimpahan bahan baku minyak di suatu wilayah dengan gaya hidup suka goreng-menggoreng. Kalau tadi udah disebut Indonesia dengan minyak kelapanya dan Tiongkok dengan minyak babinya, kali ini Kevindra menyebut Amerika Serikat. Negara ini populer dengan gorengannya, dan secara bersamaan punya ladang jagung luas, sampai kerap disebut “benua jagung”. Makanya gorengan di Amrik kebanyakan pakai minyak jagung.

Terkait tekstur garing yang disinggung William, Kevindra menyebut faktor biologis manusia emang berperan dalam popularitas gorengan. Kata doi sih, makanan yang bisa dibilang enak adalah makanan yang memainkan sebanyak mungkin pancaindra. Memakai indikator ini, gorengan menang banyak karena minimal memainkan tiga indra lewat suara (bunyi “kriuk”), rasa (gurih), dan tekstur (garing).

Iklan
prananta-haroun-kDg6Gs1op9U-unsplash.jpg

Metode menghangatkan makanan dengan cara menggoreng, populer di Indonesia. Foto oleh Prananta Haroun via Unsplash

“Ada tiga komponen good food [di gorengan]. Makanan renyah memberikan kita kebahagiaan. Ini menjelaskan mengapa ketika gorengan sudah dingin, kita off. Karena yang dicari kita itu kompleksitas dalam mulut seperti kerenyahan dan suara yang ditimbulkan,” jelas narator serial Netflix Street Food: Asia episode Indonesia tersebut. Meski rasa masih sama, namun komponen renyah yang hilang dari gorengan dingin membuat seolah-olah rasa telah berubah, padahal tidak. “Itulah hebatnya otak kita, bisa menipu kita sendiri,” Kevindra terkekeh.

Kevindra menilai karakter orang Indonesia yang gemar bereksplorasi membantu munculnya penemuan-penemuan baru terkait makanan yang digoreng. “Segala macam dicoba, kebanyakan ide. Sampai kol digoreng. Proses memasak itu kan terus berevolusi ya, terus berkembang dan berubah tergantung manusianya. Menurutku, teknik masak menggoreng ini yang paling gampang [dikembangkan] karena paling sering dilakukan di semua rumah.”

Kabar baiknya, Kevindra menyatakan bahwa dampak buruk makan makanan berminyak tidak akan terlalu ekstrem apabila cara memasak dilakukan dengan benar. Mantan peserta MasterChef Indonesia tersebut lantas memberikan tips memasak deep fry kepada khalayak pencinta gorengan. Pertama, jangan gunakan minyak yang sama berulang-ulang. Kedua, goreng makanan setelah memastikan minyak benar-benar panas agar menekan peluang minyak masuk ke makanan. Dua aja udah, silakan dicoba.

Oh ya, just in case kalian penasaran: belum, Om William Wongso belum pernah cobain kol goreng. Makanya, mari ketik “amin” di kolom komentar agar beliau segera bikin serial kuliner jalanan versi jajanan mahasiswa akhir bulan.