The VICE Guide to Right Now

Vonis Mati Aulia Kesuma Teruskan Tren Hukum Berat Pembunuh Berencana Meski Tak Efektif

Pembunuhan duduki peringkat kedua paling sering berujung vonis mati di Indonesia, yang terbaru kasus istri bunuh suami di Sukabumi. Data menunjukkan, hukuman mati tak berpengaruh menekan kriminalitas.
Vonis Mati Aulia Kesuma istri bunuh suami di Sukabumi teruskan tren hukuman mati di Indonesia
Eksekusi regu tembak adalah satu-satunya metode hukuman mati di Indonesia. Foto ilustrasi dari momen eksekusi diktator Kuba Fulgencio Batista pada 1956; koleksi Museo de la Revolución/Wikimedia Commons/Domain publik

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis hukuman mati kepada terdakwa Aulia Kesuma dan putra kandungnya, Geovanni Kelvin, Senin (15/6) lalu. Keduanya terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana kepada suami Aulia sendiri, Edi Chandra Purnama alias Pupung (54), dan M. Adi Pradana alias Dana (23), anak tiri Aulia.

Pembunuhan sadis itu terjadi setahun lalu, dengan cara menginjak leher korban yang sebelumnya tak sadarkan diri karena diberi obat tidur dan dibekap alkohol. Aksi itu dilakukan dengan bantuan Agus dan Sugeng, dua pria yang sengaja disewa untuk membantu eksekusi.

Iklan

Setelah kedua korban tewas, Aulia dan Geovanni masih membakar jenazah Pupung dan Dana dalam sebuah mobil agar tampak seperti korban kecelakaan. Korban yang telah hangus dalam mobil kemudian ditemukan di jalan perlintasan Cidahu-Parakansalak, Kabupaten Sukabumi, 25 Agustus 2019 silam.

Dari penyidikan polisi, motif pembunuhan adalah sebagai berikut. Aulia yang sedang terlilit utang kepada bank meminta Edi Chandra, suaminya, menjual rumah miliknya di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, untuk dipakai melunasi utang. Edi menolak permintaan istrinya itu, membuat Aulia menyusun rencana pembunuhan.

Tuntutan hukuman mati oleh jaksa penuntut umum (JPU) Sigit Hendradi dipenuhi oleh hakim pengadilan karena pelaku dianggap terbukti melakukan tindakan tercela, meresahkan masyarakat, sadis, dan membuat kesedihan mendalam pada keluarga korban. Sedangkan Agus dan Sugeng dihukum penjara seumur hidup. Kini, proses sidang tinggal menunggu sikap terdakwa apakah akan banding atau menerima keputusan.

"Menyatakan terdakwa satu Aulia Kesuma dan terdakwa dua Geovanni Kelvin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana. Menjatuhkan terdakwa atas nama Aulia Kesuma dan terdakwa dua atas nama Geovanni Kelvin masing-masing dengan pidana mati. Tiga, terdakwa tetap berada dalam tahanan. Empat, penyitaan barang bukti struk dilampirkan berkas perkara. Demikian putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," demikian bunyi vonis hakim, dikutip Kompas.

Iklan

Selain perdagangan narkoba, pembunuhan berencana adalah jenis perbuatan kriminal yang paling sering divonis hukuman mati di Indonesia. Beberapa kasus yang pernah menggegerkan publik adalah vonis mati Pengadilan Negeri Depok kepada Ryan “Jombang”, pembunuh berdarah dingin terdakwa pembunuhan berantai yang memakan 11 korban. Lebih ke belakang, ada Sumiarsih dan Sugeng, terpidana mati kasus pembunuhan keluarga Letkol Purwanto pada 1988 yang akhirnya dieksekusi pada 19 Juli 2008.

Hukuman mati sudah lama menjadi agenda reformasi hukum yang didesakkan pembela HAM karena sejumlah alasan, seperti tidak terbukti memberi efek jera, preseden salah tangkap, dan dugaan pelaku mengidap gangguan jiwa di sejumlah kasus.

Menurut studi Amnesty International, angka pembunuhan justru turun di negara yang telah menghapus hukuman mati setidaknya selama sedekade. Dari kesimpulan Death Penalty Information Center yang membandingkan angka pembunuhan dari 1987-2015, pembunuhan di negara berhukuman mati malah 1,37 kali lebih tinggi dibanding negara yang. Hukuman mati juga tidak berhasil menekan kasus narkoba yang tetap saja meningkat dari tahun ke tahun.

Namun, sebagaimana yang kami tulis April lalu, tren hukuman mati di Indonesia terus saja naik. Di tahun 2019, ada 80 vonis hukuman mati dijatuhkan, naik dua kali lipat dari 48 vonis pada 2018. Jumlah terbesar terhukum mati adalah terpidana narkoba, disusul dengan terpidana kasus pembunuhan.

"Argumentasi efek jera itu sudah tidak relevan, itu sudah tidak kontekstual dan sebagai negara demokratis yang sudah 20 tahun reformasi," kata Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani kepada BBC Indonesia. "Seharusnya semangat kita adalah pembinaan pemasyarakat dan bagaimana memberi ruang bagi mereka yang bermasalah untuk menjadi lebih baik. Itu kan semangat pemidanaan yang sebetulnya."