Netizen Thailand Hong Kong dan Taiwan twitwar lawan warganet Tiongkok
Meme twitwar koalisi netizen Thailand-Hong Kong-Taiwan melawan akun Tiongkok.
Politik Internasional

Pada Sadar Ga, di Medsos Terjadi Perang Akbar Netizen Thailand Versus Tiongkok Lho

Netizen Thailand dalam twitwar ini berkoalisi sama pengguna Twitter Hong Kong dan Taiwan, mengeroyok akun troll nasionalis pro-Cina. Semua ini dipicu twit fotografer yang ga politis sama sekali.

Sejak generasi muda Thailand sukses menyuarakan perlawanan mereka terhadap junta militer lewat berbagai cara, banyak pihak membandingkan gerakan ini dengan kiprah muda-mudi Hong Kong yang masih berjuang menentang dominasi Tiongkok. Akhir Februari 2020, ketika ribuan mahasiswa Thailand menggelar demo di berbagai kampus menolak pembubaran partai oposisi yang populer, yakni Partai Derap Masa Depan (Phak Anakhot Mai), banyak pengamat politik berspekulasi mungkinkah "metode protes ala Hong Kong" bakal diterapkan di negeri gajah putih.

Iklan

Pemerintah Thailand nampaknya menyadari kecenderungan radikalisasi anak muda di negaranya. Pada Oktober tahun lalu, Kepala Angkatan Bersenjata Thailand, Apirat Kongsompong, dalam pidatonya menyatakan kecurigaan telah terjalin konspirasi antara elit Partai Derap Masa Depan dan tokoh aktivis muda berpengaruh Hong Kong, Joshua Wong.

Jenderal Apirat khawatir generasi muda Thailand terdorong menggelar demo jalanan meniru Hong Kong. Sebagai "bukti" adanya konspirasi itu, dia menyebut kabar rencana pertemuan antara Joshua Wong dan ketua Partai Derap Masa Depan yang karismatik, Thanathorn Juangroongruangkit, pada acara Diskusi Open Future yang digelar Majalah The Economist di Hong Kong.

Kedutaan Besar Tiongkok di Bangkok ikut terusik info pertemuan tersebut. Pihak Kedubes merilis pernyataan yang memperingatkan semua politikus Thailand agar tidak terlibat dengan tokoh-tokoh kelompok "separatis", karena tindakan semacam itu akan "menyakiti persahabatan antara Tiongkok dan Thailand."

Realitasnya, junta militer Thailand maupun Kedutaan Besar Tiongkok tidak perlu khawatir. Thanathorn, yang dikenal lumayan idealis, ternyata mengutamakan stabilitas hubungan diplomatik kedua negara. Di forum diskusi itu, dia sama sekali tidak menyempatkan bertemu Joshua Wong, mengukuhkan posisi netralnya soal politik dalam negeri Tiongkok.

Selain itu, patut digarisbawahi, biarpun generasi muda Thailand semakin frustrasi melihat situasi politik di negara mereka yang terus dikuasai elit militer sejak 2014, tak banyak mahasiswa atau pelajar di kota-kota besar menunjukkan ketertarikan meniru taktik radikal Hong Kong. Sehingga muncul kesan minimnya solidaritas antara gerakan pro-demokrasi kedua negara.

Iklan

Sampai kemudian, pada 10 April 2020, situasi berubah drastis gara-gara satu twit berikut:

Seorang fotografer lepas asal Thailand (dengan akun Twitter @yamastdio) mengunggah empat foto lanskap urban, secara tidak sengaja menyebut Hong Kong sebagai sebuah "negara", alih-alih provinsi istimewa bagian dari Tiongkok. Foto-foto tersebut langsung viral, salah satunya akibat di-retweet Vachirawit "bright" Chiva-aree, aktor muda Thailand yang memiliki banyak penggemar di Cina.

Ribuan follower Bright asal Tiongkok tersinggung melihat twit tersebut. Mereka beramai-ramai nge-RAS akun @yamastdio, serta menuntut cuitan tersebut segera dihapus. Sang fotografer minta maaf dan menuruti permintaan netizen Tiongkok. Siapa sangka, tekanan dari Cina gantian membuat banyak netizen Thailand murka. Mereka merasa reaksi nasionalistik warganet Tiongkok terhadap satu twit yang naif itu berlebihan.

Tak lama kemudian, perdebatan panas antara netizen Thailand dan Tiongkok meramaikan jagat Twitter ketika mayoritas netizen sedunia dipusingkan swakarantina akibat Pandemi Corona. 'Twitwar' skala massif ini tak kunjung mereda hingga 14 April 2020. Perdebatan ini semakin ramai akibat postingan media sosial pacar Bright, NNevvy Weeraya, yang dianggap makin provokatif oleh netizen Tiongkok. Tidak lama kemudian nama NNevvy dijadikan tagar dan dicuitkan lebih dari 2 juta kali.



Cekcok digital selama empat hari berturut-turut itu menampilkan tingkat simpati yang sebelumnya tidak pernah ditunjukkan generasi muda Thailand terhadap aspirasi kemerdekaan warga Hong Kong dan Taiwan. Netizen Thailand juga mendadak terbuka menunjukkan ketidaksukaan terhadap sikap nasionalistik pengguna medsos asal Tiongkok yang sangat agresif.

Iklan

Banyak cuitan warga Thailand, selama momen twitwar akbar tempo hari, menampilkan bermacam meme serta simbol solidaritas terhadap Taiwan, bahkan ada beberapa twit eksplisit mendukung kemerdekaan Hong Kong—tindakan yang bahkan lazimnya tak berani dilakukan politikus maupun aktivis pro-demokrasi Negeri Gajah Putih secara terbuka di ruang publik.

Keributan ini belakangan terendus netizen Hong Kong maupun Taiwan, yang segera mengirim bala bantuan guna mendukung warga Twitter Thailand melawan ribuan akun troll asal Negeri Tirai Bambu.

Komentar warganet Thailand dianggap beberapa netizen Cina sudah kelewatan, karena mencampuri "Kebijakan Satu Tiongkok" yang diyakini sebagai harga mati bagi Beijing. Kendati marah, banyak akun asal Cina kesulitan menemukan cara efektif untuk membalas meme dan twit lawan. Ada beberapa akun akhirnya mengejek Raja Thailand yang eksentrik dan kontroversial, Vajiralongkorn, yang diharap bakal membuat telinga kelompok konservatif Thailand panas.

Rupanya warganet Thailand di Twitter berasal dari kelas menengah terdidik. Mereka cenderung lebih liberal, tak terlalu hormat sama keluarga kerajaan sekalipun ada hukum yang melarang rakyat mengejek raja lewat medium apapun, dan menunjukkan sentimen anti-kemapanan dibumbui humor kreatif maupun vulgar. Alih-alih tersinggung, cuitan netizen Tiongkok yang mengejek raja Thailand diterima warga Thailand dengan humor dan sarkasme.

Iklan

Berbagai serangan-serangan netizen Tiongkok selanjutnya ditangkis secara santai. Berikut tiga contohnya:

Negaramu miskin dan jelek infrastrukturnya, enggak kayak di Tiongkok. | Iya, kami juga udah sering komplain soal itu sama pemerintah Thailand kok.

Kalian mempermasalahkan Pembantaian Lapangan Tiananmen, tapi kenapa diam saja sama pembantaian aktivis mahasiswa di Thailand pada 6 Oktober 1976? | Wah bener, kejadian itu parah banget memang, terima kasih ya sudah diingatkan.

Kalau kami bilang tiga provinsi di selatan Thailand yang terus bermasalah itu harus merdeka gimana? | Mungkin memang minoritas muslim di sana harusnya merdeka, kami ga keberatan mendukung kok.

Faktanya, "ejekan" dari pihak Tiongkok sebenarnya sudah jadi makanan sehari-hari pembahasan kaum muda Thailand yang progresif.

Pada hari pertama twitwar akbar, serangan pihak Tiongkok via Twitter terjadi secara organik, dimotori "penggemar" aktor Bright yang sewot. Twitter sebetulnya diblokir di Tiongkok, tapi hal itu biasa diakali para penggemar Kpop dan warga Tiongkok lainnya yang ingin mengikuti tren terkini.

Seiring debat semakin memanas, barisan akun "penggemar" tadi mulai ditumpangi bot yang dikerahkan pemerintah Tiongkok, biasa dijuluki wu mao. Mereka ini troll-troll agresif yang kemungkinan besar dikelola tim medsos Liga Pemuda Komunis Tiongkok, khusus buat tubir online.

Di hari kedua twitwar, perdebatan mulai menarik perhatian pihak-pihak di luar Thailand, terutama warganet Taiwan dan Hong Kong. Mereka mendukung generasi muda Thailand yang berani menghadapi gempuran wu mao secara elegan dan penuh humor.

Iklan

Walikota Cheng Weng-San, orang nomor satu di Kota Taoyuan, Taiwan, melalui akun pribadinya sampai mengucapkan terima kasih untuk warga Thailand. Joshua Wong ikut urun suara lewat sebuah thread. Twitwar tersebut, membuat Wong menaruh harapan baru pada aktivisme digital generasi muda. Dia lantas mengemukakan keinginannya "membangun solidaritas pan-Asia baru menolak semua bentuk otoritarianisme".

Maka demikianlah ceritanya, yang berakhir dengan plot twist. Hal paling ditakuti pemerintah Tiongkok dan Thailand akhirnya menjadi kenyataan justru akibat tubir online. Gerakan pro-demokrasi generasi muda lintas negara Asia kini semakin akrab, dipersatukan semangat gara-gara "perang #nnevvy".

Rezim Thailand kini punya alasan untuk khawatir bakal terjadi lebih banyak demonstrasi "gaya Hong Kong" di masa depan, terutama kelak setelah pandemi corona berlalu. Partai Komunis Tiongkok juga pasti murka, karena kehilangan muka serta dukungan netizen negara sahabat atas supremasi politik mereka dalam pertarungan wacana di medsos.

Semua perubahan kondisi politik ini disebabkan foto-foto gedung pencakar langit yang secara tidak sengaja diberi caption yang "keliru". Sikap ultranasionalis warganet Tiongkok yang kelewat agresif terbukti merugikan mereka, alih-alih menguntungkan.


James Buchanan adalah peneliti senior dan kandidat Ph.D di Department of Asian and International Studies, City University of Hong Kong.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Asia