Budaya Internet

‘Chronically Online’: Ketika Main Internet Bikin Lupa Dunia Nyata

Kebanyakan online dapat mengubah pandangan seseorang tentang dunia. Mereka akhirnya suka meributkan hal-hal sepele yang kerap tidak masuk akal.
Orang main hape di kegelapan
FOTO VIA ARTUR DEBAT

Pemain lama di platform media sosial mana pun pasti menyadari ekosistemnya sudah banyak berubah belakangan ini. Sayangnya, alih-alih bertambah bagus, konten yang kita konsumsi di aplikasi pilihan semakin tak berbobot. Ingat gak kapan terakhir kali kamu buka Twitter tanpa tersulut emosi oleh twit goblok?

Medsos yang dulunya surga meme, sudah bertransformasi menjadi medan perang. Rasanya semua serba diributkan sekarang. Unggahan sweet macam istri menyiapkan bekal untuk suaminya saja bisa disalahartikan sebagai sikap anti-feminis.

Iklan

Kalau dipikir-pikir, netizen suka mengurusi hal yang sebetulnya enggak penting-penting amat. Malah bisa dibilang gaje abis. Contoh gampangnya begini, memangnya ada orang di dunia nyata yang langsung menolak dibonceng cowok gara-gara motornya sejuta umat? Enggak ada. Dengan kata lain, terkadang orang sengaja memantik amarah karena haus perhatian, atau mereka kurang pengalaman di dunia nyata sehingga tak mampu membedakan mana yang beneran problematik dan bukan.

Golongan terakhir kini lebih dikenal sebagai “chronically online”, alias orang-orang yang pola pikirnya terdistorsi lantaran tak pernah lepas dari layar ponsel. Tak jarang mereka memulai debat ketika muncul postingan yang dianggap bermasalah, padahal orang lain melihatnya sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.

Kenapa hal kayak begini bisa terjadi?

Istilah untuk orang yang terpaku pada kehidupan dunia maya sudah muncul sejak 2010-an, tapi julukannya kala itu masih “extremely online”. Menurut artikel The Daily Dot empat tahun lalu, istilah tersebut diduga populer berkat sebuah twit random pada 2014. “[Extremely online] menggambarkan orang-orang yang tahu, atau bahkan terobsesi untuk mengetahui, semua hal yang ramai dibicarakan [di internet],” tulis jurnalis Jay Hathaway yang mengulik tren baru ini.

Istilahnya berkembang menjadi “terminally online” pada pertengahan 2010-an, sejalan dengan mengganasnya perilaku pengguna internet di dunia Barat. Mereka jadi gampang marah, pendendam dan postingannya tidak dapat dipercaya.

Iklan

Pada saat skandal Cambridge Analytica terkuak, kasus kebocoran data ini bukan cuma menumbuhkan rasa tidak aman berselancar di internet, tetapi juga memengaruhi cara kita berinteraksi di media online. Semua orang mengangkat isu ini, dan terobsesi dengan penggunaan internet pribadi. Mark Zuckerberg menjadi musuh seluruh umat manusia.

Jejaring sosial tambah kacau pasca terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat pada 2016. Kebetulan, pria tua itu cukup aktif di Twitter. Trump merupakan sosok berpengaruh pertama yang berkicau tanpa filter. Ia ngetwit sesuka hatinya, tak peduli dirinya mesti menjaga profesionalitas. Bagi para pendukungnya yang mayoritas menganut ideologi sayap kanan, Trump adalah simbol transparansi dan kejujuran, yang kemudian memicu sikap masa bodoh di internet. Semakin banyak orang blak-blakan mengutarakan isi kepala mereka. Dari sinilah, opini sekecil apa pun berpotensi menjadi sumber keributan.

Tingkah netizen kian menjadi-jadi kala munculnya berbagai platform baru yang memungkinkan orang untuk online setiap saat. Sekarang, istilah “Chronically Online” memenuhi feed kita, dari Instagram hingga TikTok. Sebagai generasi yang melek internet, Gen Z mengadopsi istilahnya untuk menggambarkan hubungan kita yang berubah di dunia maya. Internet bukan lagi tempat mencari hiburan, tapi kita telanjur terjebak di dalamnya. Kita perlu berhati-hati memposting sesuatu jika tidak ingin dijadikan lalapan mereka yang kebanyakan online.

Iklan

Paparan budaya internet yang berlebihan diyakini telah mengacaukan cara seseorang memandang dunia. Maka tidak heran bila ada orang yang panas melihat perempuan menunjukkan kasih sayangnya pada sang suami, lalu menuduhnya melanggengkan patriarki.

Setiap orang tentu berhak menyampaikan pendapat, apalagi di zaman sekarang kita terpapar segala jenis informasi di internet. Namun, jika tidak dibarengi pemahaman dan kemampuan literasi mendalam, paparan itu akan membuat kita bingung dan terpisah dari realitas yang ada. Dengan dirancangnya algoritma yang memprioritaskan kontroversi, cara kita memandang dunia ikut terbalik.

Sebagian besar pertikaian yang melintas di linimasa cenderung bukanlah permasalahan nyata. Tapi kini, debat gaje telah meramaikan obrolan kita sehari-hari.

Saya penasaran apa yang akan terjadi jika kehidupan kita kian melekat di dunia maya. Barangkali di masa depan, istilah “chronically online” bakal berubah menjadi “defunct online” atau malah “permanently online”. Biarlah waktu yang menjawab.

 Follow Julie Fenwick di Twitter dan Instagram.