Sejarah konflik perguruan silat setia hati terate vs tunas muda winongo madiun
Sesi latihan warga Setia Hati Terate di markas pusat Madiun. Semua foto oleh Arief Priyono.
Budaya

Melacak Akar Konflik Abadi Dua Perguruan Silat Kenamaan Indonesia

Anggota Setia Hati Terate dan Tunas Muda Winongo berulangkali bentrok di berbagai kota Jatim. VICE mengulik sejarah konflik ini dari para pelaku di dekade 80'an hingga era provokasi WhatsApp.

Selepas azan zuhur, Iwan* berboncengan bersama seorang kawannya dari sekolah menuju kediamannya di Madiun Selatan. Iwan memacu motor pemberian bapaknya, melintasi jalur perbatasan antarkota dengan kecepatan maksimal. Tawa Iwan berderai sepanjang perjalanan. Lalu, keriaannya berubah menjadi perasaan curiga tatkala ia menyadari ada dua pengendara motor berpakaian serba hitam melaju sama kencangnya dari arah berlawanan. 

Iklan

Saat jarak keduanya tinggal sedepa, tiba-tiba penunggang kuda besi di depannya mengeluarkan sebuah palu dan memopor Iwan. Dia refleks menghindar. Motor yang dikendarainya oleng masuk sawah. Iwan tersungkur. Teman yang tadi ia bonceng, terpental sekitar seratus meter dengan kepala bersimbah darah.

“Yang saya ingat tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Waktu itu rasanya hampir pingsan. Tapi meskipun pincang, saya berusaha untuk menolong. Kalau mengejar pelaku udah enggak mungkin. Ngebut banget!” kenang Iwan. 

Kejadian itu membuat Iwan terkapar beberapa pekan. Dia bertekad, kelak jika ia sudah sepenuhnya pulih bakal menuntaskan kesumatnya. Sebetulnya Iwan tak pernah tahu siapa pelaku pemukulan itu hingga hari ini. Tetapi, pakaian serba hitam adalah modal Iwan untuk melacak siapa otak dibalik penyerangan itu. Ia menuding pelakunya adalah anggota Persaudaran Setia Hati Terate. 

Saat insiden itu terjadi, pada medio akhir 1980’an, perseteruan antara perguruan silat yang diikuti iwan—Persaudaran Setia Hati Tunas Muda Winongo dan Persaudaraan Setia Hati Terate—tengah memanas. Beberapa pekan berselang, ia bersama saudara-saudara seperguruannya menyusuri lokasi sekitaran kejadian, menggempur basis-basis Terate.

“Sebab saya punya prinsip, tego patine ora tego larane, atau lebih baik kita mempertaruhkan nyawa daripada melihat saudara seperguruan menderita sebab disakiti orang lain,” kata Iwan.  

Iklan

Peristiwa itu tak hanya menyisahkan luka bagi Iwan saja. Tetapi, rumah-rumah warga sekitar lokasi kejadian yang ikut dirusak meski tak tahu menahu duduk perkaranya. Pihak Terate tak terima wilayah basis massa mereka dirusak. Alhasil, terjadi akvititas saling balas antara dua perguruan tersebut hingga puluhan tahun lamanya. Di setiap pertempuran, setidaknya ribuan orang dikerahkan. Tak terhitung lagi korban jiwa yang tumbang di palagan.  

“Pokoknya suasana mencekam seperti itu sudah menjadi sego jangan [akrab] bagi kami. Dari tahun 1980’an hingga 2000 awal, bentrok di Madiun itu sudah jadi hal yang biasa. Di jalan-jalan tertentu, toko-toko itu enggak berani buka sampai malam. Takut jadi imbas perusakan,” tukas Iwan. 

Salah satu perang terbesar dua perguruan itu pada dekade 1990-an terjadi di pinggiran Madiun, lebih dari 20 ribu orang terlibat, termasuk dari kota-kota lain kawasan selatan Jawa Timur. Anto, anggota Terate yang kini menjadi pelatih, terpaksa harus mendekam di penjara selama tujuh bulan akibat bentrokan tersebut. Dia menghajar kepala lawan—yang sebenarnya dia kenal—dengan pipa hingga gegar otak.

“Kalau udah tempur gitu pilihannya cuma dua. Kita yang terbunuh, atau membunuh,” akunya.

Persaudaraan Setia Hati Tunas Muda Winongo dan Persaudaran Setia Hati Terate sebetulnya menginduk pada guru yang sama. Kedua perguruan silat tersebut sama-sama murid Ki Ngabehi Soerodiwijo, akrab dijuluki Eyang Suro, pendiri Persaudaran Setia Hati yang didirikan pada tahun 1903 di desa Winongo, Madiun. 

Iklan

Tetapi, pada sebuah persimpangan takdir, murid perguruan itu berpisah. Ki Hardjar Hardjo Oetomo, salah satu murid Eyang Suro, mendirikan padepokan silatnya sendiri yang kelak diberi nama dengan Setia Hati Terate. Sementara ketua Tunas Muda Winongo tetap mengamalkan ajaran Ki Ngabehi Soerodiwijo, dan baru berdiri sebagai kelompok mandiri pada sekitaran 1960’an.  

“Menurut kisah Bapak, yang dulu menjabat ketua umum, yang pertama kali membentuk padepokan itu ya Terate. Tujuannya membuat silat lebih inklusif. Bisa diikuti oleh siapa saja, dari masyarakat golongan manapun. Makanya dari dulu tidak pernah berbayar. Dari dulu tujuannya agar semua [masyarakat] bisa bela diri. Konteksnya waktu itu untuk perbekalan melawan penjajah,” ujar Bagus Rizky, wakil ketua antarlembaga Persaudaraan Setia Hati Terate.  

Pada 1922, Terate resmi mendirikan padepokan sendiri di luar desa Winongo, dan mereka bertekad mengembangkan jurus-jurus silat warisan sang leluhur, Ki Ngabehi, disesuaikan kondisi zaman. Bagus tak begitu tahu sejak kapan konflik horizontal di Madiun mulai terjadi. Yang ia pahami, sejak ia berusia belia, pertempuran antar padepokan adalah hal lumrah. Kendati begitu, Bagus mengaku sama sekali tak pernah turun di medan laga.  

“Namanya juga perguruan silat. Pasti ada oknum-oknum yang menjajal kekuatanya dan ingin bertarung. Tetapi biasanya itu dilakukan oleh ‘warga’ yang baru saja dilantik. Euforia anak muda. Ada waktunya hal-hal seperti itu akan mereda,” tutur Bagus saat ditemui oleh VICE di kediamannya. 

Iklan

Pernyataan dari Bagus diamini R. Agus Wijono Santosa, Ketua Umum Persaudaraan Setia Hati Tunas Muda Winongo. Sebetulnya di tataran pemimpin, kedua perguruan tersebut sama sekali tak memiliki masalah. Bentrok yang kerap terjadi sejak dekade 80’an hingga awal 2000-an, mayoritas gesekan murid di akar rumput. Celakanya, beberapa kali bentrokan yang melibatkan ribuan massa kerap dipicu oleh kesalahpahaman personal.

“Di Madiun ini ada sekitar 14 perguruan, dan sebetulnya kami para ketua juga tidak pernah bermasalah. Kami sering duduk bersama, ngopi, pokoknya tidak ada masalah. Memang sekarang sedang ditekan agar tidak sering terjadi konflik. Bagaimanapun kan kita belajar dari guru yang sama. Terate itu adalah saudara seperguruan,” ungkap Wijono.  

Namun, memang ada perbedaan kedua perguruan dalam urusan mendaulat muridnya. Terate menyebut anggotanya sebagai ‘warga’, sementara Tunas Muda Winongo menjuluki para pembelajar silat sebagai ‘saudara’. Untuk bisa disebut sebagai warga, atau anggota resmi dari organisasi Terate, mula-mula para murid harus melakoni serangkaian pelatihan selama satu hingga tiga tahun. Jika mereka tak lolos uji kompetensi, pilihannya adalah dua, menyerah atau mengulang dari awal. Sementara, di Tunas Muda Winongo, seseorang yang telah mengikuti prosesi latihan awal, alias keceran, otomatis dianggap sebagai ‘saudara’. 

Salah satu pemicu yang paling kerap menyulut amarah anggota dua padepokan silat ini adalah perusakan tugu. Hampir di setiap desa di sekitaran Madiun, Ponorogo, Ngawi, Nganjuk dan sekitarnya, banyak berdiri tugu-tugu padepokan silat yang dibangun owarga secara kolektif. Anggota dari salah satu perguruan, biasanya memprovokasi lewat vandalisme semacam melempar cat, atau bahkan merobohkan tugu rivalnya. Dari situlah titik api sering bermula. Selain itu, pesan hoaks berantai yang disebarkan dari grup-grup Facebook dan Whatsapp, juga disinyalir menjadi salah satu pemicu terjadinya bentrokan.  

Iklan

“Bisa juga dipicu dengan konvoi dari salah satu peguruan yang melewati wilayah yang memiliki basis massa padepokan lain. Itu juga berbahaya. Maka dari itu, untuk tugu sekarang di satu desa biasanya dibangun berjejer. Agar tidak ada saling klaim wilayah kekuasaan. Alhamdulilah, itu lumayan berhasil. Meskipun tidak bisa sepenuhnya bisa meredam potensi bentrok,” ujar Bagus Rizky.  

Gunawan adalah saksi hidup masa-masa mencekam saat Madiun yang sunyi seketika riuh jadi bentrok para pesilat. Baginya, pertempuran antarpadepokan beberapa tahun terakhir hanya riak-riak kecil. Skalanya tak semengerikan medio 80an hingga tahun 2000 awal. Gunawan adalah warga yang hidup di daerah yang biasa dikenal masyarakat Madiun sebagai ‘Jalur Gaza’. Sebuah jalur panjang penghubung Madiun Kabupaten dan Kota, di bilangan Krandegan, Madiun Selatan. 

“Dulu setiap hari di bawah jok sepeda motor, minimal selalu bawa palu atau penghabisan [pedang]. Pilihannya adalah dua, diserang atau menyerang. Enggak berani dulu memakai baju ‘sakral’ yang ada label perguruan. Saya pernah dikeroyok karena pakai kaos perguruan saya. Babak belur dikeroyok sekitar 50-an orang,” kenang Gunawan. 

Di masa-masa yang disebut sebagai Gunawan sebagai tahun jahiliyah itu, rumah di sekitaran desa Krandegan tak pernah memiliki bentuk yang utuh. Minimal, kaca selalu pecah, atau genteng-genteng selalu menyisahkan lubang menganga akibat lemparan bom rakitan. Pernah suatu ketika, seorang kawannya harus meregang nyawa akibat invasi mendadak. 

Iklan

Kejadian itu bermula saat pihak pada tengah malam, warga Terate menyerang kampung Gunawan tinggal. Saat perang gerilya itu terjadi, teman Gunawan tengah tertidur pulas. Ia tak tahu kalau rumahnya disatroni anggota perguruan. Sebuah bom rakitan berisi pupuk urea, paku, dan baut, disulut di samping bantal kawan Gunawan. Bom rakitan memang kerap salah satu senjata andalan dalam mengawali, atau mengakhiri, pertempuran antar dua perguruan silat ini.

Saat bom itu meledak, separuh tengkorak kawan Gunawan hancur lebur. Satu kampung menjadi geger. Momen itu begitu traumatis bagi Gunawan. Sebab, setelah peristiwa itu, ia tak bisa tidur nyaris satu bulan penuh, dan harus berjaga karena khawatir akan ada serangan lanjutan.  

“Dulu sampai jalan aspal satu kampung itu dihancurkan oleh massa pakai linggis. Polisi tidak bisa bertindak apa-apa waktu itu. Dulu memang tidak ada lapor-laporan. Nyawa dibayar nyawa. Pokoknya kalau ingat masa-masa itu, betul-betul bersyukur bisa ngopi sampai hari ini. Seremlah pokoknya!” ujar Gunawan.

Sentimen antar kelompok yang sama-sama memiliki basis massa besar itu tak hanya terjadi di medan laga saja. Bahkan, jika salah satu warga wilayah padepokan Tunas Muda Winongo ataupun Terate menikah, biasanya pengantar pengantin akan melakukan aksi protes dengan membengkokan semua sendok dan garpu pada acara resepsi. Hal itu dilakukan sebagai sinyal bahwa matrimoni tidak akan mengakhiri rivalitas antara kedua kelompok itu.  

Iklan

Pipit, seorang anggota Terate, kurang yakin rivalitas antar padepokan silat di Madiun dapat berakhir. Bagi anak muda seperti dia, palagan tak ubahnya ruang bersenang-senang. Sebab, di kota kecil seperti Madiun, hiburan adalah hal yang mahal. Tawuran antarpadepokan, merupakan salah satu cara Pipit dan kawan-kawannya mengusir bosan.

“Kalau walikota [Madiun] berorasi soal perdamaian gitu saya selalu teriak ‘gak mungkin! gak seru!’. Itu nyata lho, karena kalau enggak ada pertempuran kan enggak ada hiburan kita anak muda. Udah jadi budaya, lah. Namanya aja kota pendekar. Kalau mau damai ya diubah aja slogannya jadi kota santri aman berseri,” tandas pria yang kini bekerja sebagai pengawal wakil ketua setia hati Terate. 

Pipit pertama kali terjun ke palagan saat ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dia adalah anggota Tunas Muda Winongo selama 15 tahun. Baru pada tahun 2017, ia hengkang dari perguruan yang telah melatihnya sejak usia belia, ke Terate.



Setelah masuk dan resmi menjadi warga Terate, Pipit kembali turun ke medan laga. Ia pun sekitar tiga kali ikut dalam bentrok melawan mantan perguruannya, Tunas Muda Winongo. Dia kerap berhadapan dengan lawan yang ia kenal, atau bahkan kawan satu desanya. 

“Setelah tempur, besoknya kita bisa nongkrong bareng. Minum bareng. Kalau ada tempur lagi, ya sendiri-sendiri. Tetap jadi lawan kalau udah di jalan,” ujar Pipit. Tak jarang dalam duel satu lawan satu, ada sebuah pertaruhan kelak seseorang yang kalah wajib untuk pindah ke perguruan rivalnya. 

Iklan

Berbeda dari ormas paramiliter, kesetiaan para anggota perguruan silat ini jarang sekali melibatkan keuntungan materi. Anto, yang rutin melatih juniornya di Terate sejak 1997, tidak mematok biaya latihan sama sekali. Untuk mencukupi kesehariannya, Anto bekerja sebagai tukang bangunan dan kuli batu. “Ini seperti panggilan hati bagi saya. Mengabdi di Terate adalah sebuah kehormatan,” tuturnya. 

Merawat kolektif pendekar beranggotakan lebih dari dua juta orang bukan perkara gampang. Karena memiliki massa yang besar, Terate kerap dijadikan incaran partai politik untuk mendulang suara. Itu sebabnya friksi dua perguruan itu terjaga. Menurut pengakuan Bagus, ada memang pihak luar yang berupaya untuk memecah bela perguruan. 

Tak hanya di Indonesia, bendera Terate pernah muncul di negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, hingga Timor Leste. Menariknya, saat Xanana Gusmao berkuasa, Terate dianggap sebagai gerombolan pengacau oleh pemerintah Timor Leste.

Sebab, para pesilat beberapa kali terlibat kericuhan yang menelan korban jiwa. Kendati mengaku independen dan tak berafiliasi dengan Terate di Madiun, para pesilat di Timor Leste tetap membawa bendera Terate sebagai payung organisasinya. Pada Agustus 2018, polisi Timor Leste menahan ratusan anggota Terate yang tengah akan mengikuti upacara baiat menjadi warga. Mereka dicegat saat hendak melintas dari Atambua menuju Timor Leste.  

Iklan

Terate sendiri sedang mengalami perpecahan internal, akibat intik politik praktis. Awal 2020 sempat terjadi penyerangan terhadap salah satu padepokan di Madiun, oleh massa dari Ponorogo, Ngawi, dan Nganjuk untuk mengobrak-abrik padepokan pada suatu malam, atas alasan sumir. Bagus menduga otak serangan adalah salah satu elit pengurus yang ingin menguasai Terate sebagai tunggangan untuk menguasai politik lokal.

“Saya tidak mau nama Persaudaraan Setia Hati Terate dicatut dan dijadikan alat kampanye politik. Kalau mau ikut politik praktis, silahkan. Tetapi itu [urusan] personal. Jangan bawa atau bahkan mencantumkan logo Terate,” ujarnya. 

Menurut Ian Wilson, akademisi dari Murdoch University, sekaligus penulis buku Politik Tenaga Dalam dan Politik Jatah Preman, perguruan silat cukup diminati politisi karena basis massanya yang besar. Sejak Orde Baru, posisi Terate dan Tunas Muda Winongo sudah seperti ormas paramiliter yang senantiasa coba dikendalikan.

“[Karena] punya massa, itu diincar oleh parpol untuk kepentingan elektoral. Untuk turun ke jalan, dan hadir waktu pemilihan [pencoblosan]. Apalagi kalau di konteks parpol, kadang basis di grass root tidak begitu kuat, jadi perlu organisasi massa untuk menjembatani,” kata Wilson dalam saat dihubungi oleh VICE. “Lalu, organisasi massa yang berlatarbelakang pencak silat, punya modal fisik. Lalu dianggap dapat punya kemampuan mengatur massa saat konflik terjadi. Biasanya dijadikan satuan petugas [satgas] atau milisi dari partai politik.  Temuan itu saya dapat semasa saya riset di tahun ’99 waktu bergabung dengan perguruan silat di Jawa Barat.”

Bagus berusaha mengarahkan organisasinya untuk menjauh dari hiruk pikuk politik, sekaligus mengupayakan perdamaian abadi dengan Tunas Winongo. Dia tak ingin Terate terus dicap negatif oleh masyarakat. Cita-cita Bagus disambut Wijono Santosa. Keduanya sepakat, kendati dilabeli sebagai Kota Pendekar, bukan berarti Madiun adalah palagan abadi, yang hari-harinya tak pernah jauh dari pertumpahan darah.  

Namun, bagi massa akar rumput, perdamaian kedua perguruan silat ini hanya akan terjadi di hadapan polisi. Ian Wilson sendiri tidak yakin upaya komunikasi elit perguruan bisa mengakhiri rivalitas Terate vs Winongo.

“Saya rasa sulit untuk konflik semacam ini bisa selesai. Karena ada dendam warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi lainnya. Seolah dendam sudah membudaya, dan ini urusannya adalah harga diri. Kasus seperti ini adalah konflik historis. Jadi enggak bisa dinalar dengan pikiran yang rasional,” tutup Wilson.

*Sebagian nama panggilan narasumber diubah untuk melindungi privasinya


Reno Surya adalah jurnalis sekaligus pegiat kancah musik di Kota Surabaya. Follow dia di Instagram