Indonesia Butuh Lebih Banyak Saksi Pelecehan Seksual Yang Berani Bersikap
Ilustrasi oleh Dini Lestari.

FYI.

This story is over 5 years old.

Pelecehan Seksual

Indonesia Butuh Lebih Banyak Saksi Pelecehan Seksual Yang Berani Bersikap

Bystander di KRL atau Transjakarta mengalami tekanan nyaris seperti korban. Mereka turut diintimidasi, bahkan mengalami trauma. Itu alasannya makin banyak lembaga swadaya memberi pelatihan agar saksi pelecehan bisa merespons situasi darurat.

Virginia Raap, tidak pernah menyangka dirinya akan jadi salah satu orang paling sial malam itu. Ia mesti menyaksikan adegan paling menjijikan dalam hidupnya. Seorang perempuan dilecehkan di depan mata kepalanya dalam perjalanan kereta listrik penuh sesak.

Saat Kereta jurusan Jakarta Kota – Cikarang yang dia naiki mengangkut penumpang di Stasiun Cikini, kejanggalan mulai terasa. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar dengan bekas luka menyeramkan berdiri di samping kirinya dengan gerak-gerik mencurigakan. Di depannya seorang perempuan sibuk mendengarkan lagu dan memainkan ponsel.

Iklan

Kereta tiba di Stasiun Manggarai. Gerbong makin penuh. Di hadapannya, predator seksual tersebut melecehkan perempuan di depannya. Ia seketika bergeser menjauh menghubungi ayahnya lewat video call. Virginia berupaya menunjukkan wajah predator seksual tersebut lewat video call pada ayahnya. Tanpa Ia sadari, predator tersebut sadar akan tindakannya. Viginia pun diserang.

“Dia megang tangan gue kenceng banget dan dicakar, di situ gue langsung ngelawan dan ngelepasin genggaman dia,” tulis Virginia dalam unggahan instagram story-nya yang viral. “Gue memberanikan diri ngeliatin mas-mas ini secara sinis walau sebenarnya gue takut,”

Saat itu Virginia berupaya memberikan pesan pada penumpang lain di sampingnya. Namun penumpang sebelah tersebut terlampau takut membantunya. Saat Virginia tiba di Stasiun tujuannya, Bekasi, Ia bergegas menyelinap keluar. Sialnya, predator seksual tersebut berlari mengikuti Virginia. Ia paham betul kelakuan biadabnya akan dilaporkan ke petugas. Virginia tiba di pos keamanan Stasiun. Predator tersebut pun seketika menghilang. Hingga kini pelaku masih dalam proses pencarian. Kisah tersebut pun Virginia tulis dan dokumentasikan lewat akun instagramnya. Virginia mendapatkan respons positif publik atas keberaniannya menjadi saksi yang aktif menghentikan tindak pelecehan atau biasa disebut active bystander oleh kalangan pegiat perempuan.

“Soalnya pelaku udah kontak fisik sama aku, jadi aku harus ngelawan walaupun sebenarnya enggak berani sih,” kata Virginia saat dihubungi VICE Indonesia. “Sampai sekarang aku trauma. Bahkan takut. Takut naik transportasi umum dan keramaian orang.”

Iklan

Isu soal saksi mata dalam kasus pelecehan seksual atau yang disebut active bystander belum banyak dibahas di Indonesia. Tak perlu jauh-jauh membicarakan perlindungan saksi mata deh, perlindungan korban saja masih jauh dari harapan. Korban pelecehan seksual di Indonesia yang kebanyakan perempuan dan anak-anak masih kerap disalahkan. Entah disebut pakaian mereka terlalu terbuka, wajah terlalu cantik, atau dianggap menggoda. Sementara pelakunya? Kebanyakan tak tersentuh.

"Kalau kita yang berbicara, kita dikira bohong. Jadi banyak orang yang takut membantu orang, nanti yang ada kita yang disalahin atau korbannya yang disalahin.”

Data Komisi Nasional Perempuan menyebutkan hanya ada 268 pelecehan seksual di ruang publik yang dilaporkan ke polisi, lembaga swadaya masyarakat, atau ke Komnas Perempuan sendiri. Padahal surat kabar New York Times melaporkan ada lebih dari 200 perempuan, di kawasan Jakarta saja, yang mengunggah pelecehan seksual yang dialaminya lewat sosial media selama 2016-2017 ke situs pendampingan perempuan seperti Hollaback Jakarta.

Dea Safira Basori, aktivis perempuan sekaligus penggerak Indonesia Feminis mengatakan tidak mudah menjadi seorang active bystander di negara ini. Dea ingat betul pelecehan seksual yang Ia terima di angkutan kota lebih dari sepuluh tahun lalu saat dirinya berusia 14 tahun. Alih-alih menolong, penumpang lainnya sibuk menyalahkan penampilan fisik Dea yang mengenakan seragam sekolah.

Iklan

“Biasanya kan kalau kita yang berbicara, kita dikira bohong. Jadi banyak orang yang takut membantu orang, nanti yang ada kita yang disalahin atau korbannya yang disalahin,” kata Dea ketika dihubungi VICE Indonesia. “Kalau di indonesia kita harus menumbuhkan budaya untuk speak up.”

Baru-baru ini, United Nation Women merilis sebuah video yang menayangkan trik-trik jitu yang bisa dilakukan seorang saksi mata pelecehan seksual di fasilitas publik. Video berdurasi 2 menit 14 detik ini mendapatkan penghargaan 2017 Communications X-Change Award dari The Global Women’s Institute.

***

Organisasi swadaya di Indonesia makin sadar perlunya dukungan bagi para saksi mata pelecehan seksual. Pelatihan active bystander mulai rutin digelar, termasuk oleh Hollaback sebagai gerakan sosial yang diinisiasi aktivis lokal demi mengakhiri pelecehan seksual di ruang publik. Anindya Restuviani, biasa dipanggil Vivi, merupakan salah satu aktivis penggerak Hollaback Jakarta yang dihubungi VICE. Dia membeberkan trik-trik jitu menjadi seorang active bystander di ruang publik. Vivi menyebutnya bystander intervention.

“Banyak faktor yang menyebabkan orang jadi inactive bystander,” ungkap Vivi ketika dihubungi VICE Indonesia. “Ada rasa di mana seseorang tidak tahu harus berbuat apa, ada beberapa harassment yang terkesan ‘tidak parah’ dinormalisasi, atau bisa juga mereka takut karena memang mementingkan keselamatan masing-masing.”

Iklan

Ada lima langkah (5D) yang bisa dilakukan sebagai active bystander seperti yang dijelaskan Vivi. Di antaranya Direct, artinya saksi secara langsung mengkonfrontasi pelaku dan menyatakan bahwa yang dilakukannya adalah salah. Langkah kedua ialah Distract yakni cara menginterupsi korban maupun pelaku dalam upaya memisahkan keduanya kemudian berupaya memastikan bahwa korban dalam kondisi aman. Langkah ketiga adalah Delegate dilakukan dengan cara melaporkan pada pihak yang memiliki otoritas tinggi seperti petugas atau penegak hukum. Delay menjadi langkah keempat, memastikan kondisi korban pelecehan dan menawarkan bantuan. Langkah terakhir Document, alias mendokumentasikan kejadian terutama jika sudah ada pihak yang menolong korban.

Perlu diingat bahwa hasil dokumentasi bukan untuk disebarkan di internet tanpa sepengetahuan korban. Pelecehan yang dialami telah melemahkan posisi korban, menyebarkan konten tanpa persetujuan tentu akan semakin memperlemahnya.

Vivi merasa pemberian ruang aman bagi perempuan di dalam fasilitas umum tidaklah cukup mengakhiri pelecehan perempuan di ruang publik. Tanpa adanya pendidikan anti-kekerasan perempuan, khususnya bagi laki-laki, mustahil cita-cita ruang publik aman untuk semua dapat tercapai. Semua pihak tidak boleh diam atau menganggap persoalan publik selesai hanya dengan menghadirkan ruang steril—semisal gerbong KA atau bus khusus perempuan.

“Aku melihat saat ini kita masih butuh ruang aman dari kekerasan seksual bagi perempuan. Tapi kita enggak bisa bergantung sama itu saja, karena masalahnya kan bukan di perempuan,” ujar Vivi. “Idealnya kita enggak punya ruang publik khusus perempuan lagi karena ruang publik seharusnya bisa untuk siapa saja.”