FYI.

This story is over 5 years old.

Imlek

Tonton Video Kami Mengikuti Perjalanan Mudik 30 Jam Suami-Istri Demi Rayakan Imlek

Imlek di Tiongkok adalah ritual mudik dalam skala paling massif sedunia. Sebanyak 61 juta anak ditinggal di kampung, hanya bisa menjumpai orang tuanya sekali setahun saat tahun baru Cina.
Anak dari pasangan yang mudik saat Imlek di Tiongkok
Screenshot Imlek di Tiongkok dari dokumenter VICE News Tonight

Imlek alias Tahun Baru Cina bukanlah hari libur biasa. Imlek juga tercatat sebagai migrasi tahunan manusia terbesar di muka bumi. Dan Bagi Yang Jianguo serta Liu Mingchun, Imlek adalah satu-satunya dalih bagi mereka untuk mudik sejauh lebih dari 1.600 km, menemui anak-anak mereka.

Selama beberapa dekade, pekerja migran seperti Yang menjadi tulang punggung ledakan ekonomi Cina—yang imbasnya baru kita rasakan akhir-akhir ini. Sayangnya, kendati sudah banting tulang menjadi pekerja di kawasan perkotaan, Yang tak pernah bisa membawa serta anak-anaknya. Tingginya biaya hidup dan ketatnya aturan jalan di wilayah perkotaan menyebabkan kebutuhan dasar susah diakses Yang dan keluarganya.

Iklan

Satu-satunya pilihan yang bisa ia ambil adalah meninggalkan anak-anaknya di kampung. Saat ini, diperkirakan terdapat 61 juta anak-anak Tiongkok yang hanya menjumpai orang tuanya sekali setahun, saat Imlek tiba.

"Perjalanannya sendiri makan waktu empat hari," ujar Liu. "Satu-satunya waktu saat kami bisa libur dua minggu adalah ketika liburan imlek. Jadi, saat itulah kami bisa pulang ke rumah."

Yang meninggalkan kampung halamannya di provinsi Sichuan, Cina saat pada 1997. Umurnya saat itu baru genap 20 tahun. Yang adalah satu dari 287 juta pekerja migran yang merantau demi mendapatkan penghidupan yang lebih layak. Setelah gagal menyelesaikan sekolahnya, Yang menjajal profesi sebagai petani, seperti kedua orang tuanya hingga sampai suatu hari pamannya menawarinya bekerja sebagai buruh pabrik pakaian urban di Shenzhen.


Tonton dokumenter kami merekam monumentalnya mudik saat Imlek di Tiongkok berikut:


"Di kampung, kalau saya hanya berternak babi, saya harus menunggu dulu selama enam bulan. Baru saya dapat uang. Pokoknya, enggak ada gaji bulanan," kata Yang. "Sementara di Shenzhen, kami digaji tiap bulan."

Saat ini, Ying dan istrinya Liu termasuk dalam 8 juta buruh migran yang tinggal di Kota Shenzhen, pusat finansial yang menghubungkan Hong Kong dan Cina Daratan. Dua pertiga populasi Shenzhen tinggal di kota itu tanpa surat-surat resmi. Imbasnya, mereka tak bisa mengakses layanan kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial seperti penduduk lainnya.

Saat anak-anak mereka lahir, Yan dan Liu tinggal di asrama yang disediakan pabrik tempat mereka bekerja. Luas kamar yang ditempati pasangan ini tak cukup untuk menampung dua anak mereka. Belum lagi, biaya hidup di Shenzhen tak mengizinkan keluarga kecil itu untuk tinggal di bawah satu atap. Tak punya pilihan, Yang dan Liu terpaksa menitipkan kedua anaknya pada kakek dan nenek mereka, terpaut ribuan kilometer dari tempat keduanya mencari nafkah. Kini, kedua anak Yang dan Liu sudah berumur 9 dan 15 tahun.

VICE News mengikuti perjalanan kereta sepanjang 30 jam menuju Sichuan yang ditempuh Yang dan Liu guna berkumpul dan merayakan imlek dengan keluarga mereka—kebahagiaan setahun sekali sebagai harga dari pesatnya perekonomian Tiongkok.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News Tonight