‘ISS’ dan ‘Pro Evo” adalah Game Sepakbola Yang Mewarnai Masa Mudaku
ISS 98 tatkala Inggris merayakan kemenangan. Dicuplik dari YouTube.

FYI.

This story is over 5 years old.

Game dan sepakbola

‘ISS’ dan ‘Pro Evo” adalah Game Sepakbola Yang Mewarnai Masa Mudaku

Sebelum FIFA mendominasi, ada game dengan animasi seadanya yang super seru bernama International Superstar Soccer dan Pro Evo. Begitu cepat waktu berlalu.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.

FIFA, seri game simulasi sepakbola buatan EA Sports, adalah rajanya game sepakbola. Sampai saat ini, game tersebut tercatat sebagai game paling populer se-Inggris Raya. semua orang tahu game ini—dari gamer yang kemana-kemana pakai headseat dan sering mengurung diri di kamar cuma buat ngupload cuplikan gol-gol keren buatannya ke sebuah kanal YouTube hingga om-om yang masih suka jalan-jalan ke toko video game di pinggir jalan buat beli cd game bajakan. FIFA adalah raksasa dan juara tanpa lawan di genre simulasi sepakbola. Setiap detailnya digarap dengan presisi sehingga siapapun yang memainkan game ini akan terpaku ke layar dan baru ngobrol tentang apapun setelah game berakhir. FIFA memang punya kemampuan itu: menyedot sebagian hidup kita tanpa terasa. Pendeknya, FiFA adalah game keren.

Iklan

Hanya saja, pernah ada masanya—belum lama-lama banget—ketika FIFA belum diidentikan dengan genre simulasi sepakbola. sebelum Electronic Arts berjaya, genre ini dikuasai dinasti lainnya. Ada yang menyebut sebagai dinasti Pro Evo.

Perkenalan pertamaku dengan seri simulasi sepakbola Konami terjadi sudah lama terjadi. Aku mengenal penguasa terdahulu genre game ini bahkan sebelum dinamai Pro Evo.

Umurku baru sembilan tahun. Aku masih ingat duduk di kamar temanku di North London dan, seperti anak sebayaku waktu itu, potongan rambut jelek abis. Waktu sedang puncak-puncaknya musim panas dan sepakbola kembali “rumah-rumah” di Inggris. Di dalam kamar temanku itu, aku nonton kakak temanku memberi kursus singkat main International Super Star Soccer Deluxe di Super Nintendo. Aku sendiri mencoba barang satu atau dua game dan tentu saja kalah. Setelah main, aku kembali duduk di pinggir jendela. Awan panas seperti lengket menempel di langit kawasan suburban tahun itu.

Kalau ngomongin segi artistik game itu, aku tak puas sama sekali dengan tampilan visualnya. Habisnya, grafik game waktu itu paling pol ya cuma 16bit. Apapun yang tampak di layar kelihatan kayak sepakbola kartun—apalagi bagi bocah yang baru jadi saksi tim Inggris menggayang Belanda di ITV. Udah gitu, rasanya nyaris tak seperti malam sepakbola. Malah, kalau boleh jujur, sensasinya lebih mirip main game beat ‘em up di lapangan sepakbola.

Iklan

Dua tahun kemudian, lagi-lagi di musim panas, alih-alih memendangi awan-awan yang menutupi London, aku tengah memandangi langit Irlandia yang cerah. Piala Dunia 1998 sedang berlangsung dan aku tak berhenti minum hari itu.

Sebenarnya, turnamen sepakbola internasional pertama aku tonton adalah Euro’ 98, namun, aku baru dibikin tergila-gila sepakbola oleh Piala Dunia 98. Apa yang dulu aku pernah lihat seakan-akan jadi kuno. Piala Dunia 1998 seakan-akan menyadarkanku bahwa sepakbola adalah cabang olahraga yang global, digital dan kekinian—sudah barang tentu, aku langsung terobsesi. Piala Dunia ‘98 dalam pikiranku waktu itu sekeren yang aku harapan.

Dan nyaris semua harapan itu terbangun lantaran aku rajin main ISS Pro '98.

Setelah melewati ratusan kilometer jalan tol, satu perjalanan feri Stena, mabuk laut, aku sampai di Irlandia—negara baru, mata uang baru, sekoleh baru, teman baru dan kehidupan yang sama sekali baru. Orang tuaku ingin memberikan kehidupan yang lebih baik bagi aku dan saudari perempuanku. Sebuah kehidupan yang bisa dihabiskan dengan bersepeda di luar ruang seharian dan sirnanya aturan jam malam di rumah kami. Makanya, ayahku mencak-mencak begitu tahu aku malah lebih sering, duduk di kamar dan main FIFA ‘97. Ayah lebih senang kalau aku main di luar, bergelantungan di pohon-pohon atau melempar batu ke kotoran sapi. Sayangnya, aku juga harus membangun hidup yang baru dan, maaf ya Yah, hidup baru itu, aku bangun di seputar konsol Playstation.

Iklan

FIFA '97 menjanjikan banyak hal–ratusan pemain, roster yang akurat dan grafis berdasrkan poligon modern. Ironisnya, hanya dalam beberapa bulan, aku sudah bosan memainkannya. Gamenya jauh berbeda dari permainan sepakbola yang dulu aku sering lihat di London. Cara mainnya juga berbeda dari permainan sepakbola biasa. Setiap gamer bisa menang dengan mudah dan detail gamenya jelek saja enggak. Okaylah FIFA ‘97 punya banyak pemain tapi bentuknya tak mirip dengan aslinya. Penggambaran beberapa pemain terkenal malah bisa bikin nangis. Bayangkan Gianlucca Vialli yang di kehidupan nyata berkulit pucat digambarkan oleh karakter yang tubuhnya dijemur tanpa henti.

Untungnya, kekecewaanku ini tak berumur panjang. Pada suatu sore Sabtu, selagi menunggu ibu selesai dengan urusannya, aku berjalan melewati sebuah toko rental independen yang sekarang sudah bubar. Di sanalah, tepatya di barisan ketiga, terjepit antara Abe's Oddysee dan Destruction Derby, aku menemukan International Superstar Soccer Pro '98. Sampulnya menampilan Fabrizio "the silver fox" Ravanelli dan Paul Ince yang saling berhadapan. Tak ada detail lainnya. Sebuah cover yang kelewat sederhana dan tak menggambarkan keajaiban di dalamnya.

Berbeda dari game EA Sport yang beredar sekitar waktu yang sama, FIFA: Road to World Cup 98, ISS tak punya intro yang wah—cuma logo sederhana dan tulisan "press start to continue". Pilihannya gamenya jugaspartan banget—Exhibition, League and Cup options, dan All-Star Mode. Dibandingkan dengan FIFA, ISS lebih mirip sebuah game sepakbola di mesin dingdong.

Iklan

Namun, game sederhana ini bikin jatuh hati dalam waktu singkat. Aku sendiri langsung jatuh hati begitu aku memainkan game exhibitionku yang pertama. Sekali lagi, tak ada yang wah dari tampilannya. Stadionnya saja—kalau diukur dengan standar visual game masa kini—sepintas mirip hasil rancangan gamer yang baru main Minecraft; penontonya cuma wajah-wajah tak jelas yang diselingi bendera besar.

Segala prasangka yang muncul lantaran detail-detail kelewat sederhana ini langsung hilang begitu saja begitu tim-tim yang bertanding masuk lapangan. Aku masih ingat game pertamaku: Brazil lawan Perancis, sebuah game yang versi livenya aku saksikan tak lama setelahnya (aku kaget Perancis keluar jadi juara dunia tahun itu). Konami tak memiliki lisensi untuk menggunakan nama asli tiap pemain. Sebagai solusinya, ada sedikit peruban pada nama-nama bintang sepakbola tenar pada masa—Cafu berubah jadi “Kafu”, Desailly terpaksa ganti nama jadi “Desarie”. Bahkan Ronaldo, pesepakbola paling kesohor waktu itu, terpaksa bernama “Ronarid.” Tak masalah, toh semua pemain itu mudah dikenali di lapangan.

France's Zidane ("Zedene") punya bagian kepala yang botak seperti Friar Tuck, Ronaldo mengenakan sepatu birunya dan, yang paling penting, Roberto Carlos menendang seperti Ronaldo Carlos betulan. FIFA boleh saja punya semua tim di kancah sepakbola global, tapi ISS Pro 98 adalah replika paripurna dari sepakbola di dunia nyata—seperti di lapangan asli Taribo West punya dreadlock berwarna hijau, laju lari Michael Owen nyaris sama dengan aslinya dan seragam ikonik tim Kroatia ditiru dengan sempurna.

Iklan

Tentu saja, semua keistimewaan ini tak akan berarti apa-apa jika gameplaynya kacrut. Lagi-lagi, gameplay yang keren menutup semua dosa ISS—penonton yang dibuat sekenannya, presentasi visual yang jauh dari kenyataan serta komentator Tony Gubba yang terdengar mirip sandera yang dipaksa membaca tuntutan di bawah todongan senjata. Untungnya, semua itu bukanlah masalah berarti karena gameplaynya luar biasa menarik. Pihak lawan selalu bisa menyesuaikan dengan strategi yang kita pilih. Apapun siasat yang kita ambil, lawan akan menyuguhkan strategi yang setimpal. Tak jarang, pemain belakang lawan merangsek ke depan dan kiper mereka berani keluar dari sarangnya. Maka jika dibandingkan dengan FIFA , bermain ISS terasa seperti main catur dengan AI.

Jauh sebelum Piala Dunia berakhir, kamarku sudah terlebih dahulu diterangi layak TV Beko 20 inci, sebuah mesin yang berhasil menghidupkan mimpi-mimpi sepakbolaku. Tak lama pesaing ISSb bermunculan. ISS harus menghadapi gempuran edisis baru game FIFA dengan rupa-rupa feature mulai dari penambahan suara bel dan peluit wasit, World League Soccer yang diiklankan oleh Michael Owen hingga fitur David Beckham Soccer yang kacrut abis. Bagiku, tak ada yang menyaingin magis ISS.

Syahdan, mulai musim 1997, tumbuhlah sebuah obsesi yang kelak membentuk hiduky. Bila yang lain ingin cepat pulang sekolah buat nonton Hollyoaks or Neighbours, aku malah asik berjuang membawa Jepang masuk Piala Dunia. PR adalah barang langka. Aku hanya memikirkannya sembari mengunyah makan malam. Beres makan malam, aku sudah barang tentu kembali ke kamar mengejar kejayaan sepakbola di dunia virtual.

Iklan

Begitu, aku sampai di bangku kuliah, aku sadar kalau obsesi yang sama juga dimiliki “pemuda” seusiaku. Ketimbang jalan ke luar tiap selasa malam ke klub-klub dekat kampus biar bisa ngobrol sama cewek, aku dan beberapa temanku—hampir selusin jumlah—duduk bergerombol di ruang tamu. Asap rokok mengepul. Sisa pizza bergeletakan di dekat kami. Tubuh kami membungkuk, mendekati controller. Telapak tangan kami basah seiring kami memainkan game “winner stays on” di Pro Evo.

Pro Evo pun lantas jadi alasan kami membolos kuliah dan menenggak berkaleng-kaleng bir. Kerap kali, curhatan mengalir sambil kami main barang satu atau dua pertandingan. Satu-satunya hal yang aku ingat dari tahun kedua kuliahku adalah rekor tak terkalahkan dalam 24 orang dengan memainkan kesebelasan Meksiko dengan formasi negative six-man-middield.

Pro Evo pertama kali muncul di PlayStation 3 pada akhir 2007, nyaris sedekade setelah aku jatuh cinta dengan ISS Pro '98. Pro Evo memang ditakdirkan sebagai mahakarya konami. Modalnya mentereng: perpaduan antara gameplay intuitif nan adiktif dan kekuatan grafis konsol game terkini. Ini yang dari dulu aku tunggu-tunggu.

Penantian itu berbuah kekecewaan.

Gara-gara terburu-buru meraup untuk di musim belanja Natal, Konami merilis game penuh catat. Engine game tersebut tak klop sama hardware PS. Alhasil, pertandingan yang kita pilih sering macet atau ngelag. Memang sih, belum separah game-game awal FIFA, tapi tetap saja, ini jauh dari harapanku. Aku terus main denga harapan gameplaynya bakal membaik dengan sendirinya. Dalam hatiku, aku tahu semuanya sudah berakhir. Sekonyong-konyong, aku pun berusia 21 tahun.

Aku tak pernah lagi bermain seri Pro Evo. Aku menghargai gamenya. Malah, hormatku terlalu tinggi untuk berpura-pura menyukainya. Ada sebauh fans hardcore yang terus menerus mendukung seri-seri Pro Evo yang muncul saban tahun guna melawan dominasi FIFA. Konami pun tak tinghal diam. Mesin Pro Evo terus dipercanggih dan mencoba merambah pasar fan sepakbola yang lebih nyentrik dengan membayar lisensi Europa League dan Copa Libertadores . Malang, grafis wah dan gameplay paripurna FIFA generasi terbaru sepertinya memastikan kalau Pro Evo tak akan lagi jadi juara di kamar-kamar para gamer.

Kadang, aku iseng browsing website yang menjua konsol PS nekas atau emulator PS yang bisa dimainkan di laptop sembari berkhayal untuk mengembalikan masa indah dulu dengan main barang satu atau dua game. cuma, aku selalu mengerem pikiran macam itu dan terus akan melakukan hal serupa. Aku sadar kalau kesenangan sesaat karena nostalgia tak sebanding sensasi asli saat bermain ISS puluhan tahun lalu.

Makanya, aku bertahan dengan kenanganku bersama ISS yang mewarnai masa mudaku. aku menyimpan kenangan indah menunggu operan mau, melobi penjaga gawang yang kadung terlalu maju dan jadi yang paling jumawa di ruang tamu lantaran menang dengan skor 3-2 atas lawanmu.

Bagiku, itu semua sudah cukup.