FYI.

This story is over 5 years old.

Budaya tabu

Kekuatan Ekonomi dan Sosial Tersembunyi Para Wanita Simpanan di Cina

Perempuan simpanan dari Cina menempati posisi unik dalam sejarah dan kultur Tiongkok. Bagi sebagian perempuan, menjadi perempuan simpanan tak ubahnya pekerjaan penuh waktu

Wei Wujun adalah versi Cina dari Sherlock Holmes, tapi alih-alih mengenakan topi deerstalker, mengemut pipa dan membawa kaca pembesar, dia dikenal suka mengisap Zhongnanhais (rokok klasik Cina) dan lihai menaruh alat pelacak GPS di mobil para suami yang berselingkuh. Sering disebut sebagai “pembantai kekasih simpanan,” detektif berumur 60 tahun ini melejit namanya akibat kepiawaiannya memburu para peselingkuh. Baru-baru ini dia harus mengumumkan lewat Shanghai TV bahwa dia pensiun agar ponselnya berhenti berdering.

Iklan

“Kebanyakan detektif swasta di Cina menangani isu perselingkuhan,” ujarnya. “Ini adalah nafkah saya selama dua puluh satu tahun. Saya menghasilkan banyak sekali uang, saya bahkan akhirnya membeli mobil yang lebih mewah dibanding klien saya.”

Wujun menceritakan salah satu kasusnya yang paling sulit dilupakan—seorang pengusaha Taiwan yang tinggal di Guangdong memiliki delapan perempuan simpanan. “Ini kejadiannya di 1995,” ujarnya. “Bagi orang Taiwan, memiliki simpanan di Cina daratan sangatlah umum. Biaya hidup di Cina sangat rendah, kamu bisa punya simpanan seharga 3.000 RMB (Rp6.6 juta) per bulan.”

Saya takjub mendengar seorang lelaki yang memiliki istri dan dua putri masih merasa perlu menambah delapan perempuan lagi ke dalam hidupnya, tapi menurut Wujun, ini adalah hal yang biasa. Faktanya, sang lelaki tersebut (mari kita panggil Wild Oats) memiliki sebuah perjanjian dengan istrinya, yang bukan hanya mengizinkan aktivitas luar nikah ini, tapi juga kadang bermain mahjong—semacam catur Cina yang membutuhkan jumlah pemain genap—dengan perempuan simpanan suaminya.

Situasi bertambah kisruh ketika Wild Oats memutuskan untuk mencarikan adik lelakinya—yang juga menjabat sebagai partner dalam bisnis keluarga—seorang perempuan simpanan. BIarpun istri sang adik tidak menolak perjanjian ini, dia gagal melahirkan seorang anak laki-laki dan khawatir bahwa suaminya (mari kita panggil Little Oats) akan mencoba mendapat keturunan dari sang perempuan simpanan.

Iklan

Maka dari itulah dia lantas menghubungi Detektif Wujun.

“Biaya melahirkan anak itu sangat besar,” ujar Wujun, menjelaskan bahwa istri Little Oats bukan khawatir akan adanya kehadiran anak baru, tapi bagaimana itu akan menyulitkan keadaan keuangan keluarga. Ternyata, sudah umum bahwa seorang perempuan simpanan berusaha memiliki putra dengan sang lelaki mereka—dan kemungkinan mengaborsinya apabila ternyata dia hamil dengan anak perempuan—karena dengan memberikan keturunan lelaki, sang perempuan berhak mendapatkan bantuan keuangan untuk jangka waktu yang lebih panjang, ketika mereka sudah terlalu tua untuk memanfaatkan penampilan untuk mencari uang.

Ada “biaya kompensasi sosial” yang besar apabila kamu memiliki anak di luar pernikahan di Cina. Di negara ini, anak dari orang tua yang tidak menikah sangat dianggap rendah dan tidak diberikan hukou, atau izin tinggal. Tanpa hukou, seorang anak tidak bisa belajar di sekolah, mengakses sokongan sosial sederhana, atau bahkan mendaftar untuk mendapatkan kartu identitas. Batas-batasan ini mendorong terciptanya pasar gelap untuk hukou palsu—satu-satunya cara bagaimana anak perempuan simpanan diakui negara—kecuali Wujun bisa mencegah proses ini tentunya. Sepanjang karirnya, dia mengaku pernah terlibat dalam aksi pengejaran kecepatan tinggi menuju bangsal bersalin, demi menggagalkan seorang lelaki dan perempuan selingkuhannya yang hendak melahirkan.

Iklan

Para perempuan simpanan yang tidak mendapat sokongan keuangan lewat cara melahirkan anak kerap membuka bisnis mereka sendiri, jelas Wujun. “Mereka membuka salon kecantikan, butik mewah—area-area yang sudah akrab dengan mereka,” ujarnya. Namun, apabila mereka tidak berinvestasi dengan baik atau tidak memiliki kemampuan berbisnis, seiring umur dan turunnya nilai pasar, banyak yang akhirnya bernasih kurang beruntung. “Mereka menjadi kesepian dan hanya bertahan hidup dari hari ke hari,” ujarnya, sebelum menambahkan, “Dari pengamatan saya, biasanya yang bahagia adalah yang akhirnya menikah.”

Tidak jelas apakah pernikahan adalah bagian dari rencana besar Ivy, tapi dia tidak terlihat buru-buru. Biarpun baru berumur dua puluh tujuh tahun, dia terlihat jauh lebih bijaksana dibanding umurnya. Pertama kali saya menemui dia, dia mengenakan jam tangan Cartier, menggendong tas Dior, mengenakan anting Chanel dan mantel kasmir Burberry, dan sepatu hak tinggi LV. Dia terlihat seperti peserta kontes kecantikan brand mewah.

“Di mata banyak lelaki Cina, kecantikan seorang perempuan tidak akan bertahan selamanya karena dia dianggap tidak berguna dan tersesat tanpa dukungan seorang lelaki,” ujarnya ketika kami duduk di sebuah kafe kecil bergaya makanan penutup Hong Kong di dekat apartemennya. Kami dikelilingi furnitur beludru berwarna ungu, ribuan kaca, dan lampu chandelier yang berputar-putar—tema dekorasi yang nampaknya telah menjadi lambang orang kaya baru di Cina. “Dan kecerdasan seorang perempuan tidak akan berarti apabila dia tidak cantik untuk dianggap serius atau sebagai sebuah ancaman,” tambahnya.

Iklan

Lalu siapa perempuan cantik yang juga pintar? Ivy mengatakan dengan bangga, itu adalah perempuan simpanan.

Sebelum bertemu dengan Ivy, saya membaca sebuah laporan di media Cina tentang “lingkaran perempuan simpanan” yang dijalankan oleh seorang murid Universitas Keuangan Shanghai bernama Ding. Dia kabarnya merekrut mahasiswi dari empat belas universitas Cina daratan terbaik, termasuk Universitas Peking, Universitas Tsinghua, dan Universitas Renmin dan membebankan biaya premium (antara Rp827 juta - Rp1,2 miliar setahun) untuk jasa mereka. Sebagai bagian dari perjanjian, dia bahkan menjanjikan calon klien salinan dari sertifikat pencapaian akademis dan tes bahasa Inggris mahasiswi. Ini mengejutkan saya—saya mengira lelaki Cina justru menghindari perempuan cerdas.

Ternyata saya tidak sebetulnya salah—kalau kita membicarakan istri. Tapi dalam perihal perempuan simpanan, nampaknya kombinasi otak dan kecantikan masih diminati banyak lelaki.

Ada penjelasan di balik fenomena ini. Di awal 1900an di Cina, terdapat banyak rumah bordil, rumah perempuan penghibur, dan lokasi-lokasi lain yang menyediakan jasa perempuan simpanan bagi lelaki. Dan tempat-tempat ini dianggap memiliki nilai sosial yang sangat penting. Di sini, maskulinitas seorang klien divalidasi atau direndahkan oleh perempuan yang dia pilih. Penilaian perempuan penghibur inilah yang menentukan kelas, dan nilai seorang lelaki. Dulu bahkan ada buku panduan yang memberikan petunjuk cara-cara bertingkah laku bagi lelaki ketika sedang berinteraksi dengan perempuan-perempuan penghibur. Apabila seorang lelaki gagal berperilaku pantas ketika sedang bersama perempuan, dia berisiko diolok-olok, dipermalukan, dan dicap sebagai “orang kampung” oleh pelanggan lain.

Ini juga berlaku untuk perempuan pekerja seks, biarpun secara strata sosial dianggap lebih rendah dibanding perempuan penghibur, masih dianggap sebagai bagian dari perempuan elit dalam masyarakat dan setara dengan aristokrat, orang terpelajar, pejabat pemerintah, dan sebagainya. Lebih dari sekadar kepuasan jasmaniah, mereka menyediakan hiburan bagi pelanggan lewat musik, puisi, nyanyian dan tarian, sesuai yang ditampilkan karakter Cina untuk kata pelacur, 妓, yang artinya “penampil perempuan.”

Dalam era dinasti Tang (618-907), sebuah institusi pemerintah khusus bernama jiaofang (教坊) didirikan. Di sana, perempuan pekerja seks mendapat pelatihan dalam bidang musik, tarian, sastra, kaligrafi, catur, dan permainan minum-minum. Dianggap sebagai sebuah konservatori atau semacam sekolah kelas tinggi, jiaofang hadir di saat perempuan belum mendapat pendidikan. Ini membuat perempuan penghibur dan pekerja seks menjadi pelarian yang dicari-cari dari istri rumah tangga yang lebih naif.

Pengetahuan dan gengsi yang dimiliki para perempuan ini mengantar mereka ke berbagai situasi dan percakapan yang tidak akan pernah didapat para perempuan “baik-baik”. Talenta dan pesona mereka juga membuat mereka dihormati banyak lelaki dan penyair.

Ini adalah nukilan dari Leftover in China: The Woman Shaping the World’s Next Superpower karangan Roseann Lake.