Kalau kamu mempelajari beberapa riset awal yang saya kerjakan satu dekade lalu, kalian akan tahu penelitian-penelitian tersebut menyigi bentuk agresi dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa pertanyaan yang dalam kuesioner dalam penilitian saya itu kira-kira berbunyi seperti ini: amu merasa emosimu lebih mudah terpancing setelah main game? Waktu itu, saya merasa menemukan bahwa setelah bermain game mood pemain berubah walau cuma sesaat. Di awal makala yang saya tulis, saya bahkan membahas kasus penembakan massal di sekolah sebagai sebuah konteks, jadi saya adalah salah satu orang yang percaya video game adalah biang keladi kekerasan.
Tapi, lalu terjadilah tragedi penembakan siswa SD Sandy Hook.
Lalu apa ada bukti yang menunjukkan bahwa negara penduduknya lebih jarang main game memiliki kasus kekerasan yang lebih rendah:Setelah kejadian Sandy Hook, saya kemalahan melayani panggilan telepon dari wartawan, politikus dan sejenisnya. Mereka seenaknya menggunakan temuan saya guna menunjukkan bahwa penyebab penembakan itu adalah video game. Saya jadi mikir ulang dan kalut kalau simpulan penelitian terlalu mengenalisir. Saya jadi bertanya-tanya apakah apakah penelitian yang kita lakukan di lab bisa digunakan untuk menjelaskan kejadian menyeramkan macam penembakan massal di sekolah? Di titik ini, kita mulai melihat tindakan kekerasan yang sesungguhnya—pembunuhan, serangan fisik dan sebagainya—karena lebih mirip dengan insiden penembakan di sekilah. Investigasi inilah yang mengubah pandangan saya tentang bagaimana kita bisa menggunakan temuan lab untuk menunjukkan hubungan antara aksi kekerasan di dunia nyata.
Yang jusru kami temukan adalah negara yang paling banyak mengonsumsi video game cenderung jadi negara paling aman di dunia. Temuan ini tetap mncul meski kami mengontrol tipe variable dalam peneltian. Kami menemukan korelasi ini—dan ingat, korelasi tak sama dangan hubungan kausalitas. Mungkin ada variabel ketiga yang jadi penyebab—maka, jadi tanggung jawab kami untuk mencoba merunutnya dan memasukkan sebanyak mungkin variabel hingga kami bisa menjelaskan korelasi tersebut. Sayangnya, kami belum bisa melakukannya. Terlepas dari variabel apapun yang berusaha kita kontrol, hubungan korelasinya tetap negatif, tak pernah positif. Korelasi negatif berarti negara yang paling banyak memainkan video game adalah negara yang paling aman. Hasilnya tak pernah sebaliknya.
Kita selalu lebih dulu ingat kasus yang sesuai dengan narasi yang kita percaya. Nah, kita punya korelasi yang sebenarnya cuma ilusi belaka. Kita ingat peristiwa Columbine, kita juga mungkin ingat peristiwa Sandy Hook, pokoknya insiden-insiden yang cocok dengan narasi kita. Sedangkan, kita tak memiliki keterikatan dengan peristiwa-peristiwa yang tak sesuai dengan narasi yang kita percaya. Kita malah sering melupakannya. Lalu, kita menciptakan impresi palsu bahwa ada semacam hubungan di di dalamnya. Dalam kasus seperti ini, apa yang kita percaya berhubungan sejatinya tak begitu berkorelasi. Pada kasus penembakan di Columbine, pelaku bermain Doom dan mereka kelewat sering memainkannya.
Menjelasng akhir obrolan, kami menyinggung masa depan penelitian tentang masa depan riset tentang game atau betapa bahayanya ketika game ditetapkan sebagai sebagai sebuah bentuk candu. Dengarkan di tautan podcast artikel ini.Makanya, sebelum game disamakan seperti narkoba, sering-seringlah mainlah game. Mengutip kalimat ikonik tokoh antagonis utama dalam The Raid, "jangan lupa bersenang-senang."Namun, bila kita menengok kasus Sandy Hook, kasusnya berbeda. Seringkali dikatakan bahwa pelaku terobsesi dengan video game dan dia main video game setiap saat. Pelaku memang memiliki game Call of Duty, tapi ini game yang terjual sampai jutaan kopi. Jadi, tak aneh kalau seorang pemuda memilikinya. Namun, kita juga tahu dari rekaman GPS di mobilnya, kita tahu pelaku berkali-kali pergi ke sebuah bioskop. Belum jelas, apa yang dia lakukan di sana. Ternyata, pelaku pergi ke sana untuk main Dance Dance Revolution. Jadi kalaupun pelaku dibilang terobsesi game, maka dia terobsesi Dance Dance Revolution. Bahkan wawancara bersama teman-teman pelaku menunjukkan bahwa game favorit sang pelaku adalah Super Mario Bross. Dia suka main game seperti pemuda seusianya, namun yang dia mainkan bukanlah game yang sering kita pikir ada hubungannnya dengan aksi kriminal penuh kekerasan.