Bertualang Sepekan di Kancah Tinju Tokyo

FYI.

This story is over 5 years old.

Tinju

Bertualang Sepekan di Kancah Tinju Tokyo

Kalah karena dicurangi, isak tangis di Korakuen Hall, hingga alasan bertubuh besar di Jepang bisa jadi masalah bagi petinju. Selamat datang di edisi baru liputan Fightland.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.

Saya berada di tengah perebutan gelar juara dunia tinju di stadion tenis kawasan Teluk Tokyo yang diubah jadi arena baku hantam. Ada lebih dari 10.000 orang penonton malam itu, sebagian besarnya warga Jepang. Di atas ring terdapat Hassan N'dam, petinju asal Prancis, yang berjaya malam itu karena menang angka atas lawannya. Hassan menghormat kepada penonton di bagian selatan arena. Beberapa penonton meninggalkan bangku mereka, terkejut, bingung, dan mungkin marah. Namun adapula yang masih bertepuk tangan—dan bukan dengan cara yang pasif-agresif. Tentu, kesopanan adalah bagian penting pertandingan tinju, masalahnya tepuk tangan bagi seseorang yang membuat seluruh penonton sesak napas setelah menghajar sang jagoan tentu saja ironis. Hassan baru saja mempecundangi pahlawan bagi rakyat Jepang, mantan penerima medal emas Olimpiade: Ryota Murata. Wajah Murata telah memenuhi koran-koran Tokyo seminggu sebelum pertandingan di Teluk Tokyo malam itu berakhir antiklimaks. Gila sih. Akhirnya, seorang laki-laki Jepang berdiri di samping saya memulihkan harapan bila gegar budaya ini masih bisa dijembatani.

Iklan

"Ie, ie, ie!" teriaknya. No, no, no!

Dengan mode Bowe-Golota, saya rasa, OK, deh. Ayolah abisin aja juri-juri tinju menyesatkan ini. Namun laki-laki yang tadi berteriak tiba-tiba terdiam dan mulai menunjukkan keraguan seperti yang ditunjukkan para penggemar dan penulis selama 24 jam terakhir, bahwa Murata sudah tidak seaktif biasanya. Dia tidak mengejar kesempatan, dia merelakan pertarungan direnggut darinya oleh Hassan. Murata, laki-laki yang gemar memikirkan makna hidup pada wawancara biasa soal pertarungan dan seringkali merujuk pada kata-kata penyintas Holocaust dan psikiatris Viktor Frankl, tidak menyerah begitu saja pada Sabtu malam itu. Liputan panjang ini adalah kisahnya merebut kemenangan di atas maupun di luar ring.

Semestinya perjalanan saya ke Jepang meriangkan hati: saya terbang ke Tokyo untuk menyaksikan pertandingan Murata, usia 31 tahun dan berat 72 kg, petinju paling terkenal di Jepang setelah memenangkan medali emas Olimpiade, serta mengarungi jeka-jejak historis dunia tinju di seputaran Tokyo. Ya memang, Murata tidak pernah dijamin selalu menang. Beberapa pihak dalam sasana yang melatihnya ingin dia menunggu dan berlatih lebih banyak sebelum menantang juara dunia. Masalahnya Komisi Tinju Jepang menuntut setiap petarung profesional di kelas masing-masing agar langsung bertarung di tingkatan tertinggi. Aturan ini tentu tak masalah bagi laki-laki lebih mungil, yang terbilang kurus, tapi ini bukan hal baik bagi petinju besar seperti Murata yang sebaiknya melalui beberapa pertandingan lebih dahulu sebelum melawan yang terbaik. Akibat peraturan pertarungan lokal yang kaku, karir Murata melejit pesat. Dia dikontrak dua promotor sekaligus, Teiken untuk pertarungan dalam Jepang serta Top Rank untuk pertarungan mancanegara. Dia juga mulai berlatih di teiken Gym dan membiarkan sebuah firma komunikasi—dijalankan oleh promotor Akihiko Honda berusia 69 tahun—mengelola karirnya. Di Amerika Serikat, atlet tentu saja dilarang punya humas dari pihak promotor. Sebaliknya di Jepang, industri menggelar acara, mempromosikan, sekaligus mengelola para petinju, mengikuti tradisi sumo, yang sampai mengatur waktu makan dan komponen makanan para atlet. Nike mensponsori Murata—di mana celananya pernah tertulis frase "Mimpi Besar." "Murata memberi saya kaus Nike," ujar Steve Martinez, 27 tahun, petinju dari Bronx yang diterbangkan khusus untuk latih tanding melawan Murata. "Dia besar banget buat ukuran orang Jepang." Itu dia persoalannya: Murata bertubuh besar.

Iklan

Tahun ini baru berjalan lima bulan, namun Jepang telah menggelar 80 kejuaran tinju. Hanya tiga petinju Jepang memenangkan gelar juara dunia kelas 154-lb, dan hanya satu yang unggul di kelas 160-lb: Shinki Takehara, memenangkan salah satunya 21 tahun lalu, langsung kalah pada upaya pertamanya mempertahankan gelar setengah tahun sesudahnya; itulah mengapa Takehara tidak begitu dikenal. Ukuran tubuh amat berpengaruh karena orang-orang Jepang amat jarang mempedulikan soal membentuk otot kekar dan memelihara tubuh penuh bisep yang kokoh. Beberapa bulan lalu, pria yang saya temui di Sasana Teiken berkata para petinju Jepang memiliki keteguhan hati, tapi kurang mahir untuk urusan teknis. Saya juga mendengar sentimen serupa dari penulis majalah di Ariake, ketika sedang menonton pertandingan Murata dari sudut jurnalis. Kemunculan Murata, yang berprestasi, punya tubuh besar, dan beres dari sisi teknis, akhirnya melahirkan harapan yang memubuncah dari pecandu tinju Jepang. Yang tak bicarakan atau singgung secara tidak langsung saat mengkritik petinju negara mereka, adalah alasan Jepang bisa sangat sukses pada kelas ringan. Petinju Jepang dikenal mengerikan, karena mereka sanggup terkena banyak hantaman dan tetap menang—jarang hantaman tersebut merupakan jotosan kuat. Dari Fighting Harada ke Eijiro Murata, hingga bintang-bintang tinju lainnya saat ini, penduduk Negeri Matahari Terbit merasa atlet mereka sulit berkembang karena keterbatasan berat tubuh. Di sisi lain, Murata menjungkirbalikkan pandangan itu ketika meraih medali emas Olimpiade dengan bertarung di kelas menengah. Dia bisa jadi petinju Jepang pertama yang memenangkan kejuaraan internasional, dipenuhi lawan-lawan berbobot 72,5 kilogram.

Iklan

Bagi saya, fokus orang pada ukuran tubuh (sebagai apologi kalau petinju mereka gagal menang) mengaburkan sifat unggul yang lain dari atlet-atlet Jepang. Murata melanjutkan karir amatir yang telah dia abaikan setahun setelah dia sempat menjadi petinju di Tokyo University, almamater sekaligus tempat kerjanya. Murata dulunya pelatih tinju sekaligus dosen filsafat umum. Dia ditangkap polisi pada 2009 atas tuduhan percobaan penyelundupan stimulan doping ilegal ke wilayah Jepang. Murata mengaku kembali ke ring untuk memperbaiki reputasi sekolahnya yang tercemar karena ulahnya tersebut. "Ini adalah pola pikir khas orang Jepang," ujar seorang petinju Jepang kepada saya. Jika kau merasa malu atau telah melakukan kesalahan, maka cara terbaik menebus penyesalan tadi dengan membuat prestasi. Kenyataan Murata dulu mendalami filsafat saja sebetulnya mencengangkan, meski keterbatasan bahasa menghalangi saya mengetahui dengan pasti apakah Murata benar-benar memahami filsafat atau hanya asal sebut nama untuk melegitmasi apapun yang dia katakan supaya terkesan pandai. Selain Frankl, Murata sering mengutip Nietzsche ketika diwawancarai media, filsuf yang paling sering dibaca ayahnya, serta pakar teologi Reinhold Neibuhr. Oh iya, saya sudah bilang belum ya kalau ijazah S1 Murata sebetulnya di bidang administrasi bisnis? Perjalanan saya ke Tokyo niat awalnya tidak berfokus pada karakter Murata saja. Murata kebetulan saja nama yang paling terkenal saat ini dan tampil pada pertandingan perebutan gelar ketiga gelar selama saya datang di ibu kota Jepang. Pertandingan ke-19 pekan itu khusus petinju perempuan, sementara yang ke-21 menampilkan juara kelas bantam Naoyra Inonue, alias si "Monster", serta Satoshi Shimizu, petinju kelas ringan yang memenangkan medali perunggu dalam Olimpiade London sebelum Murata membawa pulang medali emas (bahwa dia tak sedigembor-gemborkan itu menunjukkan betapa Murata, yang lebih besar, diperlakukan berbeda).

Iklan

Jika kamu seorang otaku kayak saya ini (atau, lebih tepatnya, seorang penyuka seni ukiyo-e dan film-film Jepang) sekaligus pecandu semua jenis olahraga tarung, kamu pasti berangkat juga lah kalau ada tawaran ke Jepang. Setibanya di Jepang, ternyata dunia tinju Tokyo lebih menarik dari apa yang saya tahu lewat anime. Cerita unik Murata hanya satu dari sekian kisah lainnya yang akan saya bagikan selanjutnya.

Issei Nakaya, pemilik sasana tinju di pinggiran Ibu Kota Tokyo, adalah pria penuh semangat di usia 38 tahun. Dialah yang menjemput saya di Bandara Narita, memandu saya mengarungi kereta bawah tanah yang panas dan padat seperti kaleng sarden selama dua jam, sampai akhirnya mencapai kawasan Hachioji. Kami membicarakan betapa petarung maupun pebisnis bidang olahraga di Jepang memiliki banyak kesempatan berkeliling dunia. Issei bilang sejauh ini dia telah mengunjungi 50 negara. Akhirnya kami sampai di Hachioji Nakaya Boxing Gym, yang terletak di pinggir jalan persis. Di pintu masuk, kami melepas sepatu, meskipun lantainya adalah plester semen yang tidak akan terpengaruh jadi lebih kotor gara-gara sepatu kami. (Biasanya sasana di Jepang memakai bahan lantai yang lebih halus, tapi Issei bilang lantai semen plester memberi sentuhan ala Amerika.) Saya terjaga untuk waktu yang terlalu lama, agak ngantuk, namun sasana mungil ini memiliki ciri khas yang menenangkan, dengan sansak berat, dan satu ring di bagian tengah. Issei dan saya memasuki kantor ayahnya untuk istirahat sejenak setelah mengarungi kegilaan kereta bawah tanah. Sound system di ruangan itu memutar musik reggae. Issei menawari saya sekaleng Pocari Sweat yang saya tandaskan sekali teguk.

Iklan

Toko peralatan tinju di Suidobashi.

Issei bercerita lebih lanjut soal sasana ini, yang lebih menyerupai bisnis keluarga dibandingkan Sasana Teiken yang menaungi Murata. Teiken lebih besar, lebih bermodal, dan sudah memiliki cabang di Osaka, Fukuoka, dan Hachinohe.

Sebaliknya, tempat ini atmosfernya grunge banget. Semua orang bisa masuk: Issei memajang poster-poster tarung buatannya sendiri (hobinya adalah desain grafis. dia menciptakan poster-poster untuk tim sepakbola dan basket lokal di kotanya) sekaligus mengurus tetek bengek administratif. Sementara ayahnya, Hirotaka, yang baru-baru ini menapaki usia 63 tahun, ditemani salah satu saudara laki-lakinya Kosuke, berperan sebagai pelatih tinju untuk para atlet. Ayahnya kadang memahat ukiran kayu di waktu luang, kata Issei, sambil menujuk ke arah karya-karyanya yang digeletakkan di luar kantor sasana. Hirokata berada di dalam ring, mengajarkan pukulan hook yang benar pada seorang bocah remaja. Issei bilang mereka fokus pada kekuatan, bukan kecepatan. Apakah dia pernah dilatih tinju oleh ayahnya? Issei menggeleng. "Ayah saya tidak pernah tertarik dengan anak-anaknya," ujarnya. "Hobinya justru memandangi dan merawat ukir-ukiran." "Dan anak orang lain," imbuh saya. Issei pun tertawa.

Ada banyak petinju pro di gedung yang saya datangi malam itu. Salah satunya Musashi Yoshino, petinju yang memperebutkan gelar di partai tambahan pertandingan Murata. Kapanpun seorang petinju meninggalkan sasana, semua orang berkata "Otskare," singkatan dari "otsukaresamadeshita" yang berarti "Selamat ya, sudah berusaha sekuat tenaga." Ketika saya ngobrol bersama Hirotaka, dia bilang melatih dan memahat adalah jenis kesenian yang serupa; sama-sama membentuk sesuatu dari ketiadaan. Lalu dia menunjukkan poster bertandatangan penyanyi Jepang dari layar iPhone-nya, serta sebuah bath tub klasik di halaman belakangnya. Dan ada foto dirinya sendiri duduk di dalam bak itu di samping dua kambing miliknya (foto yang amat humoris sampai-sampai Issei membuat versi ilustrasi untuk dipasang di poster tarung).

Iklan

Issei dan saya lalu pergi ke bar lokal, menegak bir, ngemil kacang, dan nasi berbawang sembari membahas persaingan HBO-Showtime dan melodrama lainnya di mata rakyat Jepang. Lagu 'Walk on the Wild Side' oleh Lou Reed dipasang pada latar. Kami bersulang untuk kawan yang mempertemukan kami reporter olahraga Jepang yang sekarang tinggal di New York, dan masih amat dicintai di Tokyo: To Daisuke! Kanpai!

Pertandingan dimulai dengan peserta khusus perempuan di Korakuen Hall, sebuah ruangan kayu di lantai lima sebuah gedung di dekat Tokyo Dome yang keintimannya—kursinya 1,800—memungkiri sejarah heboh tempat ini. Di sinilah tempat Joe Frazier memenangkan medali emas kelas beratnya di pertandingan 1964. Dome di dekat situ adalah tempat bersejarah bagi banyak petinju kelas berat, termasuk Buster Douglas yang menurunkan tahta Mike Tyson tahun 1990. Issei bukan promotor malam itu, tapi dia bisa membawa saya masuk dan kemudian mengenalkan saya kepada seorang manajer mengenakan kemeja satin dan kacamata pilot, dengan rambut keriting ala Jheri. Dia sekilas terlihat seperti figur bawah tanah; Issei bilang dia amat mahir dalam memadukan para petarung. Para perempuan masuk. Favorit para penggemar, Chaozu, yang memiliki persona punk-imut—nama asilnya Akiko, yang sesuai dengan kebiasaan orang Jepang memberi nama dengan akhiran "ko"—dan rambut pendek diterangkan, masuk dengan lagu pop Jepang bersama maskot berbulu yang mirip Otto the Orange dari Syracuse.

Iklan

Dia memenangkan ronde kedua TKO, melawan petinju Thailand yang dijadikan B side (alias, tidak punya kesempatan menang), lalu, seperti kontestan lainnya malam itu, melayani permintaan fans untuk berfoto bersama.

Acara inti membuat saya tersedu. Kayoko Ebata, 41 tahun, telah menantang untuk gelar dunia lima kali dan gagal, termasuk dua kali di Korakuen Hall. Dia melawan Erika Hanawa, petinju 26 tahun dengan rekor bagus. Tak satupun dari mereka sebenarnya berhak memenangkan gelar di kelas 105 pound (kelas ringan minimum), namun salah satu dari mereka harus menang, dan itulah yang terpenting saat itu. Ebata yang lebih tinggi menggunakan ketinggiannya untuk melancarkan serangan ke Hanawa secara konstan, dan memegang ritme pertandingan. Di saat di mana petinju tak dinamai Hopkins atau Foreman telah menurun atau pensiun, Ebata menunjukan stamina luar biasa. Dia tidak pernah terlihat lebih letih dari Hanawa selama pertandingan sepuluh ronde (yang mana standar bagi perempuan; bagi laki-laki, rondenya 12 selama 30 tahun terakhir). Ebata mengelak dari beberapa serangan putus asa, lalu lonceng berdentang dan skorpun diumumkan. Dia menang: 98-92 menurut dua juri, dan 97-93 menurut satu juri. Ebata ambruk dan menangis. Para penonton mengelukan namanya: E-bata! E-bata! Ketika MC memberi mic padanya, setelah dia lebih tenang, dia mengucapkan terima kasih kepada pentonton dan mengumumkan dia pensiun.

Iklan

Saya mengusap air mata tak habis-habisnya. Issei tersenyum. Saya ingin menunjukkan padamu dengan gaya Korakuen, ujarnya, menyinggung hubungan emosional antara fans dengan petinju di sana, yang berjarak hanya beberapa meter dari satu sama lain. "Auld Lang Syne" berputar lewat speaker saat kami keluar.

Murata memasuki arena melewati sekumpulan pendukung yang melambai-lambaikan spanduk bergambar dirinya dan logo Toyo University (Sudah impas kan sekarang Toyo?). Saya menyusup di antara para suporter dan mengikuti langkap Murata sampai nyari di depan Ring, sesuatu yang tak akan diizinkan oleh para pengawal di Madison Square Garden.

Beberapa saat sebelum bel berdentang, setelah semua rombongan Murata diminta meninggalkan gelanggang pertarungan, pelatih Murata berpesan agar anak asuhnya agar memasang kedua tangannya tinggi-tinggi. Seketika saya sadar—setidaknya di ronde-ronde awal, Murata akan mengangkat kedua tangannya—mirip seperti earmuff yang melindung telinga—ala Winky Wright untuk menahan gempuran pukulan N'dam sembari memaksanya terus bergerak dan menguras stamina serta mental sang lawan.

N'dam tak bisa mendaratkan pukulan. Setiap pukulan yang diarahkan ke Murata, meleset di permukaan sarung tangan Murata seperti es krem meleleh dalam perayaan festival matsuri (nanti kita bahas tentang ini ya). Baru setelah pertandingan memasuki menit kelima, Murata membuka pertahahannya dan mulai menyerang pada interval tertentu. Meski terhitung irit, semua pukulan yang berhasil didaratkan Murata mampu menggoyahkan N'dam.

Iklan

Sebuah strategi penuh pertaruhan: hemat pukulanmu sampai waktu tepat sehingga musuh tak bisa membalas, selelet apapun refleks kamu. Pertaruhan ini berbuah manis. N'dam mencium kanvas di ronde keempat. Kemenangan Murata sudah membayang di depan mata.

Sehari setelah Murata tumbang, masih dengan masih semalam, aku berjalan mengikuti arah matahari yang menyengat tanpa ampun menuju Asuka guna merasakan keramaian hari ketiga dan terakhir perayaan Sanja Matsuri, sebuah festival Shinto yang digelar pada musim panas dan menarik perhatian 1,5 juta orang tiap tahunnya. Festival ini adalah bagian tradisi masyarakat Jepang (para peserta festival terlihat mengenakan yukata dan pakaian tradisional lainnya ) sekaligus sebuah atraksi turis. Dualisme ini kentara dalam barisan pedagang barang seni picisan yang dijumpai sepanjang jalan menuju Kuil Senso-Ji.

Di tengah kerumuman orang banyak ini, pengunjung Matsuri masih bisa membeli kunci pembuka laci kayu yang berisi omikuji (ramalan). Isi laci yang dipilih pembeli kemudian dibaca untuk kemudian disimpan jika hasilnya bagus atau diikatkan pada batang pohon jika sebaliknya.

Perwakilan dari penduduk sekitar kuil berdesakan, mendorong dan bernyanyi bersama-sama guna menggotong kuil kecil mikushi dipercaya bisa memberkati toko-toko yang didekatnya. Saya pernah melihat raut muka mereka yang menyanggang kuil portabel itu. Mereka adalah prajurit andalan, yang berani menantang rasa sakit untuk mewujudkan kehidupanyang lebih baik (meski terkesan dibuat-buat, itulah wajah yang mereka tiru dari raut muka orang tua mereka).

Iklan

Saya melakukan perjalanan dari "mosh-pit shinto" menuju pertarungan ketiga sekaligus yang terakhir, yang masih diselenggarakan di Ariake Colosseum, yang menampilkan juara kelas terbang "Monster" Inoue. Usianya baru 24 tahun. Sampai beberapa waktu lalu, penikmat tinju mengharap Monster berjibaku melawan salah satu jagoan di kelas ini Roman Gonzalez (yang kerap dijuluki oleh awak media jepang sebagai Romagons, mirip seperti mereka menamai PC dengan sebutan pasocon—seperti biasa "Gonzalez" susah diucapkan oleh lidah Jepang). Sayangnya, Gonzalez baru saja kehilagan sabuk juaranya dan mungkin tak lagi jadi incaran Inoue. Malam itu, Monster bertarung melawan petarung Meksiko yang tak punya kans untuk menang. Sebuah pertandingan mengisi waktu semata rupanya. Kurang menarik.

Yang lebih menarik ditonton adalah ritual padwork Inoue sebelum masuk ring. Inoue melakukan pemanasaan dalam ruang ganti yang ketat dijaga oleh polisi. Saya berusaha mengambil gambar dengan ponsel, mencoba berbagai angle untuk bisa merekam padwork Inoue sebelum akhirnya sadar ada monitor yang menayangkannya. Ya sudah, agar lebih praktis, saya arahkan ponsel saya ke monitor dan merekam semua.

Kembali ke ring: sebenarnya yang membedakan perebutan gelar tinju jepang dari laga serupa di tanah Amerika Serikat adalah tetek bengek seremonialnya yang lebay—sebuah pemeran kekuasan yang justru mengkhianati spirit olah raga dalam tinju. Lagipula, mereka mungkin lupa, dalam sebuah pertarungan tak ada lagi unggah-ungguh.

Iklan

Selama tiga dekade, politisi dan promotor telah mendorong pembentukan komisioner tinju Amerika Serikat, untuk memastikan setiap pertandingan tinju berjalan aman. Saat ini, tiap negara bagian di Negeri Adi Kuasa memiliki komisi tinju sendiri dengan bermacam aturannya yang khas. Perbedaan aturan ini sayangnya kerap menciptakan lubang. Misalnya, karena kendurnya peraturan di sebuah negara bagian, seorang petinju yang dilarang bertarung di wilayah bisa dengan mudah bertarung di negera bagian tersebut tanpa melawati tes.

Dalam kasus Jepang, mereka memiliki sebuah organisasi tinju yang sangat kuat. Namun, alih-alih berfungsi untuk memastikan pertandingan tinju berjalan aman, badan ini hanya ada untuk memastikan otoritasnya semata. Ada beberapa hal yang saya perhatikan sebelum pertandingan perebutan gelar dimulai: ketika terjadi perebutan sabuk juara, Komisi Tinju Jepang juga menawarkan trofinya buatannya sendiri—bentuknya seperti piala liga tinju kecil-kecil cuma agak besar sedikii ukurannya (seakan-akan gelar juara dan hadiah uang saja tidak cukup). Malah, sampai beberapa tahun lalu, komisi tinju Jepang tak mengaku keberadaan dua organisasi tinju dunia, IBF dan WBO, yang diakui di belahan bumi lainnya. Alhasil, petinju Jepang dilarang ikut bertanding merebut gelar dari keduanya dan jika tetap ngotot, pertandingan harus dilangsungkan di luar Negeri Matahari Terbit.

Yang bikin saya agak keki adalah setiap pertandingan perebutan gelar hendak dimulai, seorang lelaki tua—yang dikelilingi beberapa lelaki tua lainnya—mengumumkan status pertandingan tersebut. Okelah, itu mungkin bagian dari budaya setempat yang getol memberikan semacam cap bagi segala hal. Tapi ini kan konyol, setiap pertandingan perebutan sabuk sudah dengan sendirinya punya cap khasnya, apalagi kalau bukan sabuk yang sedang dipertaruhkan, rekor yang dimiliki petarung yang berjibaku dan tentu saja versi Jepang dari ring announcer ternama Michael yang berceloteh tentang siapa yang duduk di dua sudut ring serta apa yang mereka kejar.

Iklan

Para komisioner tua ini cuma ingin memberikan restunya agar mereka dapat panggung—tak ada sama sekali hubungannya dengan para penonton laga yang sudah tahu sebesar apa misalnya bayaran yang diterima tiap petinju. Namun, tak berarti omong kosong para komisioner ini bukannya tanpa fungsi. Setidaknya, para promotor di Jepang tak usah terlibat pertukaran kata songong dan sombong seperti rekan mereka di Amerika Serikat. Kesimpulannya, panggung tinju di Jepang juga tak lepas dari kata-kata sombong, cuma perkara siapa yang bakal cuap-cuap kapan saja yang membedakannya dari partai tinju di negara lain.

Barangkali ini semua yang kemudian menggambarkan mimpi besar yang ditanggung Murata: bisa membebaskan diri dari tetek bengek seremonial laga tinju di Jepang menyebalkan dan tak bermakna; menerabas senofobia, yang kadang muncul salah satunya berbentuk kebijakan yang tak mengizinkan awak media asing mendapat kesempatan meliput dari dekat. Saya sendiri menjadi korban kebijakan senofobik ini, kecuali memang saya dibohongi oleh promotor yang menjelaskan kebijakan ini sebelum akhirnya menawarkan tiket dekat ring pada saya. Namun, mimpi Murata yang paling besar adalah meninggalkan Jepang untuk kemudian menjadi pahlawan bagi tanah airnya (#JosephCampbell #StarWars).

Murata tak akan mengungkapkan mimpinya pada publik Jepang secara jujur, meski dirinya pernah mengatakan punya mimpi bertarung di Las Vegas dan menyatakan bahwa petinju terbaik sepanjang masa adalah Sugar Ray Robinson dari Harlem.

Iklan

Sayang dalam hal ini, Murata sepertinya sudah didahului petinju yang berumur 11 tahun lebih muda. Namanya Andy Hiraoka dan dia bertarung dalam partai tambahan akhir pekan itu. Hioka berumur 20 tahun berdarah campuran Ghana dan Jepang. Dia turun dalam kelas welter junior dan dikenal dengan gaya southpaw. Pada umur 17 tahun, dia memutuskan menjadi petinju pro, memenangkan beberapa laga di Jepang sebelum kemudian rehat dari kompetisi tinju selama dua tahun. Selang waktu 24 bulan itu dimanfaatkan Hiraoka untuk mengasah kemampuannya di Mayweather gym, Vegas.

Keputusannya untuk rehat menggambarkan betapa dewasanya Hiraoka. Lebih dari itu, Hioka seakan menyindir salah satu sikap senofobik yang masih subur di Jepang. Tanpa bermaksud apa yang salah di Jepang dari kediamannya di Negeri Paman Sam, Hiraoka mengungkap bahwa publik Jepang masih menganggap penduduk berdarah campuran sebagai orang asing, terlepas dari tempat mereka dilahirkan. Oleh publik Jepang, penduduk berdarah campuran seperti Hiraoka disebut dengan istilah " hafu"—berarti setengah. Ada sebuah film dokumenter berjudul 'Hafu' yang menyoroti fenomena menyedihkan ini. Saya merekemondasikan anda untuk menontonnya.

Namun, diskriminasi itu tak sedikitpun tampak dalam pertandingan Hiraoka. Sebaliknya, ia bahkan jadi petinju favorit bagi publik tinju Jepang, termasuk sekelompok bocah yang melambai-lambaikan thunder stick dan berulang kali, " Ganbare, Andy-san!"— ganbare yang kira-kira berarti, sikat Bang!

Iklan

Malah dalam beberapa hal, status hafu Hiraoka justru memungkinkan ia bertarung di luar Jepang tanpa harus menyulut kehebohan. Pada bulan Januari lalu, saya ngobrol dengan dengan Takashi Miura, petinju top Jepang di kelas di kelas 65kg, di California, sebelum melakoni laga keduanya di bawah bendera HBO (Pertandingan pertamanya dianggap sebagai pertandingan terbaik tahun 2016 dan laga Miura selanjutnya akan digelar Juli mendatang di LA).

Saya berasumsi popularitas Miura di kancah tinju global ramai dirayakan di kampung halamanny. Namun, tanggapan Miura sungguh sangat mengejutkan: tidak sama sekali. Bertarung di luar negeri tak bikin aku jadi lebih terkenal di Jepang. Kalau mau terkenal aku bakal terus bertarung di Jepang. Aku melalukan ini supaya aku jadi petinju yang lebih baik.

Empat bulan kemudian, ucapan Miura terngiang kembali. Kalimat-kalimat itu menyadarkan saya akan urgensi laga yang dijalani Murata yang tak pernah diungkap dengan kentara di media. Intinya begini: jika Murata keluar sebagai pemenang, orang Jepang tak akan terus menahannya bertinju di Jepang saja. Kemenangan bakal jadi tiketnya menuju panggung tinju global dan penggemarnya akan terbuka terhadap kemungkinan itu.

Sebuah kemenangan berarti: semua petinju Jepang memang bisa kok berlaga di panggung dunia.

Itu saja? mungkin.

Seminggu sebelum pertarungan berlangsung, Murata menegaskan pada seorang jurnalis Jepang bahwa kelas menengah sebagai sebuah kelas yang bergengsi adalah sepenuhnya pemikiran orang Amerika Serikat belaka—karena penduduk Amerika Serikat terlahir dengan berat sedang, jadi mereka perhatian mereka tertuju pada kelas ini. Lalu, dia juga mengatakan bahwa orang Jepang telah menyerap pemikiran Amerika ini, alhasil beredar kepercayaan di Jepang bahwa tinju yang benar hanyalah tinju jelas menengah. Akibatnya, talenta-talenta yang kemungkinan mencatat prestasi luar biasa di kelas tinju lainya malah mengalir ke cabang olahraga lagi seperti baseball dan sepakbola.

Dengan demikian, kemenangan Murata juga bisa berarti keberhasilan mendobrak sebuah halangan yang sifatnya psikologis.

Setelah berhasil mengkanvaskan N'dam di ronde keempat, Murata terus menyerang. Di ronde kelima, N'dam mengangkat sarung tangan kirinya lebih tinggi beberapa saat—dia jeri dengan pukulan tangan kanan Murata. Namun, saban kali melancarkan pukulan, N'dam tak sengaja membuka pertahanannya. Ini yang kemudian dimanfaatka Murata untuk melayangkan pukulan telak ke rahang. N'dam bernafas lewat mulut sepanjang ronde itu, sembari berusaha mati-matian berdiri tegak bermodal kaki yang bergetar.

Di ronde ketujuh, saya membuat sebuah catatan wasit sebenarnya bisa menyatakan knowdown tiap kali N'dam bersandar di sisi ring dan hampir jatuh.

Saya juga bisa memastikan Murata mampu menang di ronde kedelapan tapi di saat yang sama dia sudah kepayahan, menunggu kesempatan kedua untuk menyerang.

Catatan saya untuk ronde kesebelas: Murata berani menerima pukulan—namun pasti membalasnya dengan cepat, seperti yang dikatakan salah satu partner sparringnya di Gym.

Catatan terakhir saya: pada akhirnya Murata memerlukan pukulan ketiga—hook kiri—dalam kombo 1-2nya. Bakal sangat luar biasa jika Murata menang malam itu dan memasuki gelanggang tinju global dengan kombinasi pukulan yang bisa dibilang miskin. Semua malah menunjukkan bahwa Murata kaya akan potensi. Lalu, MC ring mengumumkan keputusan juri—sebauh split decision—yang memenangkan N'dam. Dari semua Juri, hanya satu juri dari Amerika Serikat, Raul Caiz Sr., yang memenangkan jagoan dari Jepang itu.

Dua juri lainnya sangat beruntung pertandingan ini digelar di Jepang bukan di negara lain. Percayalah, bahkan penggemar tennis pun bakal geram dengan hasil yang mereka berikan.

Murata, Si Raksasa Rendah Hati, tampak menahan diri untuk tidak memprotes keputusan juri yang kontroversial. "Hasil adalah hasil, titik," ujarnya. Dia pun tak meminta pertandingan ulang, meski WBA memutuskan keduanya harus kembali bertemu (nah gitu dong!) dalam pertandingan selanjutnya. Di dua ronde terakhir, kenang Murata, dia sudah sangat beruntung bisa berlaga di pertarungan perebutan gelar kelas dunia. Dia pun siap untuk menjalani rehat selama beberapa saat, imbuhnya, untuk bertarung lagi.

Sudah seharusnya demikian. Akan sangat mengagetkan bagi saya jika Murata tak kembali ke gelanggang tinju. Dia seorang lelaki cerdas, penuh pemikiran, dan memiliki gelar S1 walau hidupnya ada di arena tinju. Murata adalah petinju/pemikir yang pernah mengatakan pada Weekly Asahi pada 2014 jika dia bakal terus bertarung selama empat sampai lima tahun ke depan. Bukan pernyataan yang mengejutkan sama sekali. Apapun yang dikatakannya, tersiar kabar bahwa Murata bakal kembali bertarung tahun depan. Kali ini menghadapi pemegang gelar asal Inggris Billy Joe Saunders. Seperti pertarungan sebelumnya, semua laga Murata adalah perjudian—menang atau tidak sama sekali. Pensiun atau menghasilkan sebuah medali emas. Pensiun atau meraih gelar juara.

Pertaruhan akbar seorang Murata adalah mengambil kesempatan untuk menang besar atau sekalian kalah habis-habisan.