FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Marshmello Sebenarnya Bagus, Kalau Saja Dia Tak Terus-terusan Bikin Lagu Pop

Tahun ini dia terlalu banyak kolaborasi sama penyanyi-penyanyi pop terkenal. Dia jelas punya potensi jauh lebih bagus kalau dilihat dari musik-musiknya dulu.
Lia Kantrowitz
ilustrasi oleh Lia Kantrowitz

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey

Secara umum, tidak banyak yang berharap dari Marshmello. Dia adalah produser musik EDM ternama yang hobi mengenakan topeng, dan produksi musiknya sudah pasti banyak menampilkan drops dan bunyi synth manis seperti gulali. Dia adalah tipe DJ yang tampil di acara festival musik super besar berisikan cowok-cowok bros mengenakan tanktop dan memainkan versi remix tembang-tembang karaoke klasik yang udah terlalu sering diputer (tonton nih versi ancur “Wonderwall” yang dia puter di Indy 500). Feed Instagramnya penuh dengan swafoto para #influencer dan fotonya mengenakan ember norak di kepala yang menjadi ciri khasnya.

Iklan

Terus bagusnya dia apa dong? Tahun lalu, dia merilis sebuah lagu yang sempurna. Di Juni 2016, Mello—panggilan yang diberikan para penggemar—merilis single debutnya berjudul “Alone” lewat label Monstercat. Ini merupakan kelanjutan dari albumnya Joytime yang dirilis Januari lalu—sesuai judulnya, merupakan EDM versi riang.

Inovasi dari “Alone” adalah mengambil momen-momen terbaik dari album—synth yang manis, sampel vokal menarik—dan menambahkan elemen alienasi post-millennial. Lagu ini menceritakan tentang pencarian tempat diri di dunia, sesuatu yang bisa dinikmati tak hanya oleh bros festival tapi juga individu-individu yang introvert. Lagu ini juga mencerminkan sound baru dalam dunia musik elektronik mainstream, yang disebut kolaborator Mello, Slushii sebagai “feelsy,” berfokus dalam emosi dan keterbukaan dan tidak sekedar energi brutal yang dulu menghiasi EDM. Namun “Alone” juga mengalahkan banyak lagu dalam kategori ini. Biarpun Porter Robinsin banyak mendapat pujian karena membawa elemen fuzz hangat dari shoegaze ke dalam dunia EDM yang hi-fi, tetap tidak ada lagu yang terasa menusuk seperti “Alone.” Track ini memang simpel, tapi setiap kali bagian chorusnya bertransisi ke sound synth yang syahdu, dopamin dalam otak kita meledak-ledak.

Semenjak dirilis, “Alone” sudah di-stream sebanyak ratusan juta kali, dan meraih platinum awal tahun ini. Setelah beberapa saat, lagu ini sempat menduduki posisi 60 di Billboard Hot 100, sebuah hal yang langka bagi lagu macam ini. Biarpun lagu-lagu dance selalu populer di kalangan penonton festival, jarang sekali mereka masuk ke dalam chart—atau bahkan radio—tanpa bantuan vokalis pop. Naiknya “Alone” mungkin bisa menjadi tanda akan kemampuan Marshmello mendobrak pasar dengan caranya sendiri. Tapi sayangnya, beberapa bulan sejak keberhasilan “Alone”, dia malah melakukan apa yang banyak produser sukses lakukan begitu mereka mulai populer: bekerja sama dengan bintang pop.

Iklan

Versi awal dari pelintirannya di lagu pop muncul di single Marshmello berikutnya, berkolaborasi dengan Far East Movement dan Tinashe. Kolaborasi ini menunjukkan keluwesannya sebagai produser—bahwa dia sanggup menyipratkan pelintirannya ketika memang dibutuhkan. Sayangnya, semenjak itu single-singlenya terbilang redup. Ini dimulai oleh singelnya “Ritual” yang dirilis oleh label Skrillex, OWSLA—yang biasanya memang mendukung maksimalisme—di mana dia menemani vokal penyanyi Wrabel dengan beat house yang naik membangun sebuah crescendo yang tipikal.

Tahun ini, dia melanjutkan formula tersebut, mulai dari “Chasing Colors”, sebuah single pop bocah SMA bersama adik perempuan Miley Cyrus, Noah. Dia juga menulis “Silence” bersama Khalid, yang memang sempat meraih sukses, dan duduk di posisi 42 di chart Biillboard, tapi ya karena itu memang lagunya Khalid. Di akhir Oktober, Mello berkolaborasi dengan Selena Gomez untuk lagu “Wolves.” Sempat meraih posisi tertinggi 35, lagu tersebut merupakan singelnya yang paling sukses sejauh ini, tapi secara produksi tidak menarik—bunyi gitar elektrik yang pelan-pelan berubah menjadi synth arpeggio dan terdengar seperti lagu Flume dalam versi slow-motion. Ini sama sekali tidak menyerupai karya-karyanya tahun lalu, dan menjadi sebuah kekhawatiran.

Faktor lain yang mempengaruhi keputusan ini adalah mencuatnya the Chainsmokers, yang berhasil bertransformasi dari sekadar musisi festival menjadi pencetak hit. Mereka juga berhasil mendobrak pasar dengan cara menciptakan lagu pop manis dengan bantuan vokalis muda. Tidak sulit melihat bahwa ini adalah sesuatu yang berusaha dilakukan oleh Marshmello, terutama mengingat kesuksesan yang dia terima sejauh ini. Selain dua hits besar yang dia hasilkan bersama Gomez dan Khalid, hampir semua karyanya tetap berakhir di Billboard Dance Chart, dan biasanya merupakan lagu pop crossover dan bukan track yang berusaha mendorong batas genre.

Ini adalah jebakan yang memang menggiurkan. Pada 2017, the Chainsmokers dan banyak musisi dance sukses lainnya memiliki formula yang jelas. Bahkan Cashmere Cat—alias produser Magnus August Høiberg, yang kerap menciptakan musik EDM abrasif—semakin lama semakin masuk ke ranah pop. Namun sebetulnya ada pendekatan Høiberg yang Marshmellow bisa tidur. Di album debutnya 9, Høiberg menyeret penyanyi pop masuk ke dunianya, menawarkan musik pop radio yang aneh. Memang dia belum seproduktif Mello, dan nampaknya dia gak peduli juga, tapi dia berhasil menjaga identitas yang jelas, biarpun dia terus mendapat nominasi Grammy dan terus bekerja sama dengan vokalis-vokalis pop besar lainnya.

Di luar single-single besarnya, ada pertanda bahwa Marshmello mungkin bisa menerima pendekatan seperti ini. Dia sempat merilis beberapa track instrumental—tanpa vokalis tamu—yang terdengar lebih aneh, seperti “Love U,” yang menyerupai digitalisme stadium Daft Punk. “Moving On” mengingatkan kita akan daya tarik manis “Alone,” biarpun eksekusinya belum maksimal. Bahkan di lagu-lagu pop yang lempeng terdengar beberapa bagian yang keren—misalnya breakdown di “Chasing Colors,” yang terdengar seperti kaset nintendo yang masuk alat penggiling kayu—tapi sayangnya momen seperti ini kelewat jarang.

Ada alasan bagi kita untuk berharap banyak kepada Marshmello, yaitu materi eksperimentalnya yang lebih jarang terdengar. Di Maret, dia bekerja sama dengan Slushii dalam sebuah lagu berjudul “Twinbow,” sebuah lagu yang sangat berwarna-warni. Pendekatannya yang prismatik dalam hal desain sound jelas terlalu aneh untuk dimainkan di radio, tapi kamu bisa mendengar elemen ceria menyenangkan yang membuat “Alone” sangat empuk didengar. Ada juga track “You and Me,” lagu aneh yang kabarnya dinyanyikan sendiri oleh Mellow—semacam gabungan ajaib dari vokal pop-punk dan bebunyian synth. Mungkin deskripsi tersebut tidak terdengar menggiurkan, tapi paling tidak dia berani mengambil risiko di situ. Masalah utama Marshmello sepanjang 2017 ini adalah ia tak mau mengambil risiko.