FYI.

This story is over 5 years old.

Timur Tengah

Etnis Kurdi Kembali Ingin Merdeka, Presiden Erdoğan Ancam Kerahkan Militer

Referendum bangsa yang tak punya negara di Timur Tengah itu selalu ditentang. Setelah Irak, giliran pemerintah Turki bersikap keras.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan mengancam bakal melancarkan aksi militer ke wilayah etnis Kurdi, di Irak, gara-gara mereka berencana menggelar referendum kemerdekaan awal pekan ini. Ribuan pemilih di wilayah itu ikut serta dalam jajak pendapat menuntut negara mandiri yang kontroversial. Keputusan elit politik Kurdi, yang selama ini memperoleh status otonomi khusus, membuat Baghdad dan beberapa negara tetangga ketar-ketir. Saat menggelar jumpa pers di Ankara, Erdoğan menegaskan Turki tak akan mengakui keberadaan negara Kurdi yang merdeka. Dia mengatakan latihan militer tentara Turki sudah mulai digelar di dekat perbatasan antaranya negaranya dengan wilayah semiotonom Kurdi. "Militer Turki bukan tanpa tujuan berada di perbatasan," katanya. "Kami bisa sampai di wilayah Kurdi dalam semalam." Erdoğan mengatakan bila Turki, yang kini sedang menghadapi pemberontakan minoritas Kurdi di wilayahnya sendiri, tak akan ragu menerapkan boikot politik dan ekonomi untuk menggagalkan cita-cita etnis Kurdi mendapatkan kemerdekaan. Salah satu tindakan yang mungkin diambil adalah memangkas jumlah ekspor minyak dari wilayah semiotonom Kurdi. Perdana Menteri Turki Binali Yildirim Senin lalu memastikan perwira militar Irak juga turut serta dalam latihan militer yang digelar Turki. Tindakan ini bisa dimaknai sebagai pameran kekuatan bersama antara negara-negara Timur Tengah, demi menarget etnis Kurdi. Tak hanya mendapat kecaman dari Turki, referendum yang tidak mengikat ini juga ditentang masyarakat internasional. Perdana Menteri Irak Haider al-Abad menuding referendum Kurdi menyalahi konstitusi Irak. Dia bersumpah tak akan mengizinkan wilayah Irak mengalami disintegrasi dan menyerukan negara tetangga menghentikan penjualan minyak ke wilayah Kurdi. Negara-negara tetangga Irak, seperti Suriah, Iran dan Turki, yang masing-masing memiliki penduduk etnis Kurdi yang memberontak sejak empat dasawarsa lalu, telah mengkritik pelaksanaan referendum dan dipastikan akan menolak hasilnya. Teheran, sebagai wakil kekuatan mayoritas mazhab Syiah seperti Kurdi, bahkan menutup perbatasannya sebagai respons atas referendum yang digelar tanpa dukungan manapun. Pelaksanaan referendum juga ditentang oleh Amerika Serikat, sekutu utama etnis Kurdi dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Keduanya mengatakan bahwa referendum kemerdekaan akan menggangu stabilitas wilayah Irak dan membuyarkan usaha mengalahkan ISIS. Isreal adalah satu-satunya negara yang terang-terangan mendukung pelaksanan referendum.
Pemungutan suara yang digelar Senin pekan depan terbuka untuk 5,2 juta penduduk wilayah yang dikuasi etnis Kurdi di kawasan utara Irak. penduduk yang berhak ikut serta adalah warga berumur 18 tahun ke atas, baik dari etnis Kurdi atau tidak. Referendum ini memberikan para pemilih kesempatan menjawab ya/tidak terhadap satu pertanyaan: "Apakah anda menginginnkan wilayah Kurdistan dan kantong-kantong etnis Kurdi di luar wilayah itu menjadi negara yang merdeka?" Pemerintah Regional Kurdistan (KRG) mengatakan bila hasil referendum ini menunjukkan pemilih menginginkan berdirinya negara Kurdi, maka mereka akan punya mandat untuk menggelar pembicaraan dengan Baghdad. Presiden KRG Masoud Barzani akhir pekan lalu menyatakan bakal mengajak Bagdad berdiskusi tentang cara mengimplementasikan hasil referendum. Penyataan Barzani mengindikasikan bahwa deklarasi kemerdekaan tak akan dilakukan dalam waktu dekat. "Jika kita bisa memulai pembicaraan konstruktif, maka kita bisa menunda (deklarasi kemerdekasaan) guna menjaga hubungan baik antara etnis Kurdi dan Baghdad," ujar Barzani. Bangsa Kurdi adalah etnis terbesar keempat di Timur Tengah. Etnis Kursi mencakup 15-20 persen populasi Irak dan menjadi salah satu etnis minoritas terbesar di Turki, Irak, dan Suriah. Meski demikian, mereka tak pernah memiliki negara merdeka sendiri sejak negara-negara Arab lahir pasca Perang Dunia II.