FYI.

This story is over 5 years old.

Kesehatan Mental

Akibat Terlalu Sering Terburu-Buru, Bagian Otak Kita yang Satu Ini Tidak Pernah Dilatih

Masalahnya, kita semua rentan terkena penyakit buru-buru karena laju kehidupan modern yang ngebut.
distraksi ponsel
RawPixel/Unsplash

Bayangkan situasi ini: kamu bangun dua jam sebelum berangkat kerja. Guna mengisi waktu, kamu memutuskan untuk jogging. Tapi sebelum itu, kamu kepikiran untuk mengecek email kantor. Mungkin, kamu bisa membalas barang satu dua email. Lumayan, bisa meringankan beban kerjaan siang nanti, begitu pikirmu. Lalu, sekelar jogging, kamu bikin nasi goreng sambil membaca pesan-pesan WhatsApp yang masuk ke ponselmu, kamu menyikat gigi sekenanya sambil mengemas bekal makan siang dan menyiapkan baju yang kamu pakai ke kantor hari itu. Semuanya beres. Ternyata, kamu masih punya sisa lima menit. Lagi-lagi, sisa waktu yang tak panjang itu kamu manfaatkan untuk kembali memeriksa email yang masuk selama 90 menit terakhir.

Iklan

Rutinitas seperti ini lazim dilakoni para profesional muda saban pagi. “Laju hidup sekarang jauh lebih cepat daripada dulu,” ujar Eva Redei, seorang pengajar mata kuliah psikiatri dan ilmu perilaku di Northwestern University. “Akibatnya kita terus menerus terburu-buru.”

Tentu saja, kamu tak perlu bertemu seorang psikiater cuma untuk diceramahi tentang hal ini. Para pekerja profesional makin sering mengalami apa yang disebut dengan “hurry sickness” alias “penyakit terburu-buru.” Kita terlalu banyak menjejalkan aktivitas dalam jadwal sehari-hari. Imbasnya, kita tak lagi khusyuk mengerjakan aktivitas kita. Yang terjadi malah sebaliknya, kita berpindah dari satu aktivitas ke yang lainnya dengan terburu-buru.

Di sisi lain, kemudahan untuk bisa selalu terhubung dengan jaringan internet memancing kita untuk merespon secepat mungkin setiap pesan atau email yang kita terima. Akibatnya, kita seakan alergi dengan waktu luang sebab waktu yang luang—sependek apapun itu—mestinya bisa digunakan untuk membereskan to-do-list yang menggunung saban hari. Ujung-ujung, kita jadi panik dan cemas menghadapi deadline yang sebenarnya tak penting-penting amat.

“Kita cuma bereaksi pada tugas yang harus selesaikan. Parahnya lagi, kita menyelesaikan satu tugas sembari beralih ke tugas berikut,” kata

Mary Helen Immordino-Yang, pengajar mata kuliah pendidikan, psikologi dan neuroscience. “Kalian membiasakan otak untuk mengerjakan segalanya dengan buru-buru, bukan membuatnya bekerja dengan nyaman dan terus melakukan introspeksi.”

Iklan

Kita Semua Butuh Leha-Leha agar Tetap Waras

Terburu-buru dari waktu ke waktu punya konsekuensi yang buruk bagi kesehatan. Setidaknya, perasaan terburu-buru meningkatkan tekanan darah dan kadar cortisol dalam tubuh. Ditambah lagi, kalian tak akan menunjukkan performa maksimal di lingkungan kerja. Terburu-buru dan mengerjakan sejumlah pekerjaan sekaligus dalam satu waktu tak akan pernah menghasilkan output yang prima. “Memang, kamu bisa jalan sambil mengunyah permen karet,” kata Redei. “Intelectual multitasking itu mitos doang kok.”

Di sisi lain, efek positif dari waktu luang sama menariknya untuk diamati seperti efek negatif stres.

Dalam otak kita, ada dua jaringan yang bekerja secara terpisah: jaringan taskmaster dan jaringan introspective daydreaming. Pada 2001, seorang ahli syaraf Marcus Raichle dan sejumlah rekannya mengamati aktivitas otak manusia saat menunggu di mesin MRI dan saat melakukan aktivitas yang rumit. Mereka menemukan bahwa bagian utama otak lebih aktif saat sedang rehat. Menurut Immordino-Yang, sebagian otak menggunakan lebih banyak oksigen saat melamun dibanding otot kaki saat maraton. “Dari sudut pandang metabolisme manusia, ini proses yang boros,”katanya. “Otak dan evolusi manusia umumnya tak buang-buang energi untuk kegiatan yang tak bertujuan.”

Mode default/daydreaming (melamun) otak ini memainkan peranan penting dalam perkembangan emosi. Emosi dalam bentuk inspirasi atau kekaguman bertumpu pada mode ini. Mode melamun ini juga membantu perkembangan empati, yang tak ditujukan untuk rasa sakit fisik orang lain, tapi lebih untuk rasa sakit yang bersifat psikologis dan sosial.

Iklan

Pekerjaan, keluarga, dan hubungan kita memakan waktu. Semakin kita menjadwalkan terlalu banyak aktivitas, semakin kita memperkuat jaringan otak kita yang berorientasi pada tugas. Namun, bagian introspektif otak kita tidak dimanfaatkan. Menyelesaikan tugas secara konstan menjadi norma, dan kita menjadi kurang nyaman dengan waktu bebas.

Bagian otakmu yang berorientasi pada tujuan membuatmu selalu waspada dan tegang, sedangkan jaringan melamun membuatmu tenang, kata Immordino-Yang. Layaknya meditasi alami: Jika kamu terus-terusan mengandalkan jaringan otak yang berorientasi pada tujuan, kamu bisa melatih dirimu untuk mendatangkan kecemasan. Waktu bebas akan membuatmu nyeri, dan kamu mengidam kepuasan yang dirasakan setelah menyelesaikan tugas.

“Kamu merasa telah mencapai sesuatu,” ucap Immordino-Yang. “Tapi jadinya kamu tidak belajar cara mengembangkan teknik untuk merasa nyaman yang lebih menenangkan dan kontemplatif.”

Tak heran, ponsel dan alat-alat elektronik lain tidak membantu. Mempunyai ponsel di kantong artinya kamu bisa menggantikan melamun dengan Instagram. Menurut Reidei, bahkan kecepatan iklan televisi membuat kita buru-buru dalam kehidupan sehari-hari. “Kecepatan menambah kedangkalan ke pikiran kita,” katanya. “Lebih parah dari dulu karena dulu kita belum punya 50 cara untuk mengirim pesan.”

Cara beristirahat bagi yang tidak suka yoga dan meditasi

Kamu harus melatih dirimu untuk beristirahat. Yoga dan meditasi merupakan cara yang baik untuk mengembangkan kemampuan ini, tetapi tidak cocok untuk semua orang. Redei mengusulkan mengambil beberapa detik untuk menentukan prioritas email dan SMS yang kita terima. Karena kita selalu bisa dihubungi lewat ponsel kita, kita percaya bahwa kita wajib segera membalas setiap pesan. Bedakan antara hal yang mendesak dan yang tidak.

“Di dunia yang sangat terhubung ini, kamu harus menentukan aturan untuk dirimu mengenai penggunaan teknologi,” kata Immordino-Yang. “Buatlah keputusan berdasarkan apa yang cocok denganmu.” Meski tidak ada rumus tepat, setiap hari harus ada saat-saat tertentu ketika kamu tidak menggunakan teknologi.

Ada cara untuk menipu dirimu untuk ‘mematikan’ jaringan otakmu yang berorientasi pada tugas. Coba hindari multitasking . Pergi jalan-jalan di alam sesering mungkin. Lari atau naik sepeda bisa sangat membantu. Redei tidak menganjurkan makan di depan komputer. “Kamu harus ada

waktu istirahat,” katanya. “Olahraga selama 15 menit saja bisa membantu.” Dia juga menganjurkan kita untuk berdiri dari meja untuk meregangkan kaki.

Kalau kamu lebih nyaman dalam ruangan, pergi ngopi bersama teman dan tinggalkan ponselmu di rumah. “Luangkan waktu untuk melakukan apa yang membuatmu bahagia, dan pastikan kamu tidak akan terganggu,” kata Immordino-Yang. Termasuk tidur, itu paling penting. “Kalau kamu bukan dokter yang bekerja di UGD yang harus siap menerima panggilan malam-malam, semua orang seharusnya mematikan media saat tidur.”