FYI.

This story is over 5 years old.

Persoalan Hak Cipta

Eksperimen Seorang Guru Besar Membuktikan Mekanisme Filter Hak Cipta Youtube Bermasalah

Filter hak cipta otomatis itu kadang secara serampangan menganggap resital komposisi musik klasik dan rekaman white noise sebagai pelanggaran hak cipta. Aneh banget.
Image: Shutterstock

Beberapa waktu lalu beredar kabar Uni Eropa berencana menerapkan peraturan hak cipta baru yang berpeluang memberangus kebebasan berpendapat dan konsep ekosistem Internet yang terbuka.

Copyright Directive Uni Eropa—demikian beleid itu disebut—punya segudang pasal bermasalah, dari perkara "pajak tautan" yang mewajibkan media kecil membayar sejumlah biaya saban kali mengutip website lain hingga implementasi filter hak cipta seperti Content ID milik Google yang sejauh ini terbukti kurang efektif—buktinya, sejumlah konten legal kerap kali dianggap bermasalah dan dicabut dari internet.

Iklan

Nah, jelang voting untuk mengesahkan beleid baru menyangkut hak cipta di Parlemen Uni Eropa, seorang dosen musik asal Jerman dengan sempurna menunjukkan bahwa alih-alih bekerja maksimal, filter hak cipta otomatis berkali-kali gagal menjalankan tugasnya.

Ulrich Kaiser—nama dosen musik itu—minggu ini menulis tentang eksperimennya di YouTube. Sebagai seorang pengajar teori musik, Kaiser secara rutin membuat katalog rekaman yang sudah berada di domain publik di dunia maya. Katalog ini digunakan oleh Kaiser sebagai materi saat mengajar tentang Beethoven dan komposer musik klasik lainnya.

Videp pertama yang diunggah Kaiser ke internet cuma menjelaskan upayanya menyediakan versi digital rekaman yang sudah berada di domain publik. Sebagai musik yang sudah berada di domain publik itu juga digunakan sebagai latar video pertama Kaiser. Sayangnya, hanya berselang tiga menit setelah diunggah, sistem Content ID YouTube membacanya sebagai video yang melanggar undang-undang hak cipta—padahal, tak ada satupun pasal tentang hak cipta yang diterabas video itu.

Penasaran, Kaiser memutuskan untuk lebih jor-joran menguji sistem Google. Kaiser lantas membuat satu akun YouTube baru Labeltest, serta mulai mengunggah musik-musik yang bebas dari aturan hak cipta.

"Saya malah segera dapat notifikasi dari Content ID untuk musik-musik bebas hak cipta gubahan Bartok, Schubert, Puccini, dan Wagner," kata Kaiser. "Lagi-lagi YouTube bilang saya melanggar hak cipta para komposer yang sudah lama meninggal ini, padahal semua lagu yang saya upload ada di domain publik."

Iklan

Content ID milik google adalah buah dari investasi sebesar lebih dari $100 juta (setara Rp1,4 triliun) dan ribuan jam yang dihabiskan untuk mengembangkannya. Walau begitu, temuan Kaiser mengindikasikan bahwa fitur ini gagal membedakan musik yang masih memiliki hak cipta dan konten di domain publik. Payahnya lagi, metode banding untuk menyelesaikan persoalan klaim mengacu fitur ini juga tak banyak membantu.

Kaiser mengajukan banding atas penghapusan konten-konten ini dari akunnya dengan dalih komposer-komposer penggubah musik-musik tersebut sudah meninggal lebih dari 70 tahun. Semua komposisi itu juga diterbitkan sebelum tahun 1963 (artinya dalam hukum Jerman, semua musik itu dianggap berada di domain publik). Kaiser juga menegaskan bahwa penghapusan konten akun YouTube Kaiser tak berdasar hukum.

Bukannya ditanggapi dengan benar, langkah banding ini dijawab dengan serangkaian peringatan penghapusan konten. Kaiser juga mencoba bagian support system YouTube. Hasilnya? Nihil. Baru setelah menjalani proses yang panjang membosankan, beberapa video Kaiser kembali dipulihkan, tapi tidak di bawah status free license seperti yang diharapkan Kaiser.

"Bahkan dalam beberapa kasus saat aduan saya terkait Content ID dikabulkan, video yang dipulihkan namun tidak dalam status free license. Akibatnya, video-video ini tak bebas dibagikan dan digunakan seperti yang inginkan sebelumnya," katanya.

Sejatinya, Content ID YouTube adalah sistem filter otomatis paling mahal jika dibandingkan dengan fitur serupa lainnya. Sayangnya, ada uang tak berarti selalu ada kualitas. Cerita-cerita konyol seperti yang dialami Kaiser lazim terdengar, salah satunya, ketika seorang dosen musik lainnya mengunggah video sepanjang sepuluh jam white noise yang segera dianggap YouTube sebagai video pelanggar peraturan hak cipta.

Iklan

"Content ID dibuat untuk para pemegang hak cipta yang mengelola sebuah tim pengawas penggunaan hak cipta guna memastikan tak ada penyalahgunaan. Namun, mereka juga bisa salah saat mengunggah file referensi dan mengajukan klaim," ujar salah satu juru bicara Google saat diminta Motherboard untuk memberikan keterangan.

Dengan lebih dari 75 juta file audio dan visual rujukan yang ada dalam sistem Content ID, memastikan status tiap karya tersebut adalah tantangan tersendiri. Lebih jauh lagi, tantangan ini semakin bertambah dengan adanya pemilik hak cipta yang ini mengakali sistem Content ID.

"Proses pencocokan dengan mengandalkan algoritma akan selalu kurang sempurna dan perusahaan-perusahaan penggunanya secara legal dianjurkan untuk membuat proses pemfilteran mereka lebih inklusif," ungkap Meredith Rose, seorang pengacara dan pakar hak cipta di organisasi pembela hak konsumen Public Knowledge, lewat sebuah surel.

Rose juga mencatat bahwa di level matematis, rekaman resital orkestra komposisi musik klasik tak begitu banyak punya variasi. Jadi, jika "kita mendesain algoritma untuk menangkap konten tertentu seperti musik klasik, maka kita harus menyetel filternya menjadi sangat inklusif, jadi percobaan pelanggaran hak sekecil apapun akan tertangkap."

Sayangnya, berkaca pada kegagalan YouTube mengenali komposisi musik klasik dan white noise, wajar bila kemudian penggunaan konten di tahap fair use dan remix-remix keren di platform ini kerap bermasalah dengan fitur Content ID.

Jika raksasa macam Google saja gagal membangun sebuah sistem yang secara otomatis mengawasi penerapan hak cipta tanpa menyensor konten yang legal, para aktivis berhak khawatir jelang pengesahan CopyCopyright Directive—pasalnya, beleid itu akan menahbiskan fitur bermasalah serupa Content ID untuk menjadi polisi hak cipta di jagat internet.

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard