Leicester Musim Ini Anjlok, Masih Adakah yang Mau Nonton Filmnya Vardy?

FYI.

This story is over 5 years old.

Jamie Vardy

Leicester Musim Ini Anjlok, Masih Adakah yang Mau Nonton Filmnya Vardy?

Kembalinya Leicester ke papan tengah Premier League membuat film adaptasi sang striker, Jamie Vardy, terdengar agak maksa. Kami punya solusi supaya film itu tak flop.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports UK.

Dalam hal menghilangkan potensi pemasaran, tak ada satu pun klub yang bisa menyaingi Leicester City FC. Umumnya, klub pemenang liga akan mengalami lonjakan pendapatan. Kesebelasan tersebut bakal naik kelas, seperti dilontarkan ke status ekonomi baru dengan meriam. Semua itu tak terjadi pada Leicester. Bukanya terlempar ke kelas yang lebih elit, Leicester seakan cuma dilambungkan pakai ketapel. Itu pun karet ketapelnya sudah kendor. Tak lama setelah keluar sebagai kampiun Premier League 2015/2016, Leicester seperti terhempas kembali ke Bumi, tak kuat menahan beban pertarungan-pertarungan untuk mempertahankan gelar, skuad yang mulai compang-comping, dan catatan menyedihkan hanya sanggup menang lima pertandingan sepanjang Agustus dan Febuari. Bulan madu sebagai pemenang Premier League terpaksa berakhir ketika Claudio Ranieri didepak dari posisi pelatih. Intinya, Leicester cuma sekejap mengecap manisnya jadi kampiun Premier League. Setelah itu, Leicester jatuh ke Bumi secara menyedikan.

Iklan

Bukan berarti kita bisa meremehkan keberhasilan Leicerster memuncaki Premier League musim lalu. Kemenangan Leicester seperti mengentuti segala macam logika dan melampui batasan-batasan yang biasanya dimiliki klub semenjana. Lebih jauh, kesuksesan Leicester bikin semua pengamat sepakbola Inggris kewalahan menjelaskan apa yang terjadi. Tapi, di sisi lain, kita tak bisa menampik fakta bahwa keberhasilan pasukan asuhan Ranieri yang susah dipercaya itu tak meninggalkan bekas barang sedikit pun. Semuanya tertutupi dengan comeback Chelsea dan kembalinya Premier League ke status quo. Tak yang lebih merasa terhantam oleh punah dongeng indah tentang kemenangan-kemenangan Leicester selain Jamie Vardy, mantan pemain antah berantah dari Stocksbridge Park Steels yang tiba-tiba mencuat di Premier League champions, mengoleksi 24 gol dan mematahkan banyak rekor dalam satu musim. Selama musim kompetisi 2015-16, dongeng tentang Vardy berhasil menangkap imajinasi kolektif di dalam atau di luar Inggris. Sayang, dongeng tinggal sekedar dongeng. Vardy kembali melakoni hidup sebagai pemain bola yang tak hebat-hebat amat.

Musim panas 2016, Vardy adalah muka bagi Leicester yang mendadak menjelma menjadi tim tangguh. Dia hampir menjadi seorang pesohor dari klub yang biasanya jauh dari sorotan kamera, mengundang HELLO! magazine ke pesta pernikahannya bahkan sempat memiliki kembaran semi-profesional yang—kalau anda masih ingat—disebutnya sebagai "an absolute full-kit wanker (tukang coli kurang ajar)" serta mengumbar hinaan di Twitter dan Instagram. Vardy pun terpilih untuk memerankan sebuah tokoh di program reality show berjudul 'Jamie Vardy's Having An Academy', sebuah acara yang sepertinya ditulis oleh seorang yang payah memilih judul acara TV. Namun ternyata, sejelek apapun nasib Vardy, hasrat untuk membuat film berdasarkan dongeng ajaib tentang James Vardy masih masih kuat. Bahkan beberapa pemberitaan awal membocorkan bahwa Vinnie Jones bakal berperan sebagai Nigel, ini yang kemudian bikin pemirsa film penasaran dan (mungkin) memutuskan pergi ke bioskop.

Kini, setelah hype Leicester habis dan The Foxes kembali ke habitatnya di papan tengah Premier League, sepertinya film tentang Jamie Vardy kayak maksa banget gitu. Musim kompetisi ini, Vardy hanya mampu mengemas 15 gol di semua kompetisi dan Leicester sudah hampir dipastikan mandek di bagian bawah papan tengah Premier Lague. Dengan hasil ini—di luar penampilan Leicester yang lumayan di Liga Champions—capaian The Blues tahun ini bisa kita bilang biasa saja, tapi hancur lebur jika dibanding capaian tahun sebelumnya. Lebih dari itu ketika romansa menjadi pemuncak Premier Leagu terus menguap, rasanya imej Vardy sudah bergeser, dari pesepakbola underdog yang tiba-tiba mencuat sudah berganti menjadi pemain sepakbola semenjana dengan sejarah tindak-tanduk yang kurang pantas. Pun, rasanya sineas yang membesut film James Vardy tak akan sudi membuat adegan 'The Racist Casino', meski rasanya adegan itu bakal jadi penutup fantastis sebuah narasi yang melorot drastis.

Semua ini memunculkan pertanyaan: Siapa yang bakal benar-benar nonton film Jamies Vardi? Siapa audiens yang dibayangkan para sineas yang menukang film ini? Hollywood terkenal selalu haus akan cerita. Para cukong di Hollywood bisa saja kelak merogoh kantung membiayai film tentang bintang sepakbola macam Chris Sutton, Tim Sherwood atau Lee Bowyer, ide untuk menghabiskan dua jam menceritakan kisah hidup Jamie Vardy tetaplah terdengar konyol. Vardy bukan sosok yang dikenal mendorong batas-batas yang dianggap mungkin dalam sepakbola. Dia hanyalah pesebakbola biasa-biasa saja yang kerap sinis. Vardy tak pantas dibikinkan biopik, cukuplah jadi bintang tamu di episode tebaru Bradley Walsh's Soccer Shockers. Dalam sebuah pernyataan terbarunya guna memastikan tentang Jamie Vardy tetap diproduksi, produser film itu mengatakan: "Kesuksesan Leicester City di tahun 2016 dan mencuatnya Jamie Vardy sebagai pesepakbola adalag kisah yang inspirasional dan universal. Cerita seperti ini tak akan menua…sebuah prestasi yang luar biasa tak bisa dihapus oleh kegagalan mengulanginya. Masalahnya, meski kesuksesan Leicester bakal susah dicari bandingannya, populeritas Jamie Vardy tidak. Mungkin durasinya tak lebih dari 15 detik.

Mencetak 15 gol di musim yang sulit bukanlah hal yang gampang dilakukan. Namun, bahkan pendukung loyal The Foxes juga pasti tahu kalau catatan itu bakal jadi ending film yang kurang menggugah. Kalau cuma mencetak gol sebanyak itu, Darren Huckerby juga mencetak 15 gol untuk Coventry City musim 1997-98, tapi rasanya penonton akan malas pergi ke 21cineplex dan merogoh kantongnya untuk membakar karcis nonton film yang ditutup dengan ending cerita seperti itu. Pada kenyataannya dalam sebuah takdir yang agak ironis, karir Jamie Vardy berakhir tak jauh berbeda dengan nasib kembarannya. Kepopuleran keduanya hanya berlangsung sekejap. Malah, kisah seperti ini—tentang Vardy dan para pemujanya—bakal menarik jika digarap menjadi film komedi yang gelap. Setidaknya ada sindiran tetang kesementaraan popularitas dan kehidupan pesohor yang selalu berubah. Bayangkan jika Ken Loach jadi sutradaranya. Film ini kemungkinan besar bakal menggondol Palme d'Or. Percaya deh!