Ismail Fahmi Aktivis Pencipta Aplikasi Drone Emprit yang bisa Memetakan Hoax dan Buzzer di Indonesia
Ismail Fahmi di ruang kerjanya memetakan keriuhan media sosial. Semua foto oleh Muhammad Ishomuddin.
The Year We Woke Up

Ismail Fahmi: Pengendali Emprit yang Sadarkan Indonesia Bila Hoax dan Buzzer Bisa Dilawan

Sistem analisis Drone Emprit berjasa menjadi rujukan netral saat medsos diisi perang propaganda ketika ramai demo mahasiswa. Ismail membuktikan big data dapat dimanfaatkan memperkuat demokrasi.

Dalam rubrik “The Year We Woke Up”, VICE mengangkat kisah sosok-sosok yang tak takut melakukan perubahan sepanjang 2019. Kami merayakan anak muda, seniman, maupun aktivis yang menyadarkan kita semua agar berani memulai langkah mewujudkan perubahan.


Ruang yang memantau pertempuran konstan dunia maya di Indonesia itu amat sederhana. Di situlah Ismail Fahmi bekerja sehari-hari, yang membuatnya memiliki reputasi sebagai salah satu orang paling disegani buzzer berbagai kubu. Berkat rekam jejak itu pula, dia secara tidak langsung mempertahankan demokrasi di Indonesia.

Iklan

Dia tinggal di sebuah kluster di pinggiran Jakarta Selatan yang asri. Setelah meminta maaf karena terlambat 30 menit, Ismail mempersilakan VICE menuju bagian belakang rumah yang disulap menjadi ruang kerjanya. Ruangan itu sempit, dengan dua buah kursi serta meja kerja dan sebuah loker penyimpan arsip.

Di meja, sekaleng kopi instan yang belum dibuka tergeletak di samping tumpukan buku bersama sebuah Macintosh berukuran 27 inchi yang menyala menampilkan grafik yang tak mudah dipahami orang awam. Sebuah buku berjudul Future Crimes karya Marc Goodman tergolek di tumpukan paling atas. Di sudut ada tangga spiral menuju lantai dua. Sebuah sit up bench teronggok di sudut lain.

Itu adalah pertemuan yang akhirnya terwujud, setelah kami berulang kali mengatur janji. Mengingat Ismail Fahmi adalah penemu Drone Emprit, sebuah sistem analisis sosial media berbasis big data wajar bila dia tak punya banyak waktu berdiam di rumah. Sistem buatannya berperan cukup penting dalam perang melawan disinformasi sesudah pilpres 2014. Tapi memantau lalu lintas informasi di medsos masih menjadi aktivitas yang paling dia sukai.

"Kalau lagi enggak ada seminar, meeting, atau ngasih kuliah biasanya saya cuma duduk di depan komputer saja. Memantau," katanya membuka percakapan. Tiga tahun belakangan nama Ismail kerap menghiasi media dan lokakarya. Media kerap meminta pendapatnya ketika suatu isu mencuat di media sosial; dari soal hoax kebangkitan PKI hingga soal isu Papua Barat.

Iklan

Tiga tahun belakangan itu adalah masa ketika disinformasi di media sosial menyebar lebih cepat dari virus flu di musim hujan, menjangkiti ratusan ribu orang dalam satu kali klik—memicu polarisasi terparah dalam sejarah konstelasi sosio-politik sejak Indonesia merdeka.

Ini adalah masa ketika video Joko Widodo sedang salat di sebuah masjid dan diisukan salah membaca surat Al Fatihah bisa ditonton lebih dari 300.000 kali di YouTube dalam sekejap. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat pada 2017 ada sekira 800.000 situs penyebar hoax.

"Ketika ada sesuatu yang enggak benar, dituduhkan ke kehidupan orang, ya bongkar aja. Saya enggak bisa diam ketika mahasiswa kemudian dituding mau menurunkan Jokowi. Padahal dataku bilang enggak."

Purwarupa Drone Emprit selesai pada 2010. Saat itu dia masih tinggal di Belanda usai menyelesaikan studi S3 di bidang Computational Linguistics. Sebutan untuk studi mengenai cara komputer bisa memahami bahasa manusia. Prototipe itu dikerjakan pada malam hari, selama satu tahun, di tengah pekerjaannya di sebuah perusahaan perangkat lunak.

Purwarupanya sudah menggabungkan teknologi machine learning dan computational linguistics, tapi baru pada 2011 Ismail mulai mengembangkannya agar bisa digunakan di semua media sosial. Teknologi ini laris manis di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memakai drone ciptaan Ismail buat menyisir konten porno dan hoax. Beberapa kliennya, yang tak mau disebutkan Ismail, termasuk beberapa kementerian lain dan perusahaan komersial.

Iklan
1576218864123-DSC00342

"Saya enggak berinteraksi dengan dua kubu [yang bertikai di medsos]. Itu analisis komputer. Saya enggak pernah ketemu, dan saya enggak ingin ketemu."

Pilihannya lebih aktif terjun menganalisis percakapan politik dunia maya dilakukan secara sadar. Selama memantau situasi politik yang panas di medsos, Ismail merasa data tersebut penting untuk pendidikan publik. Ismail sadar, sistem yang dibangunnya bisa melakukan lebih dari sekedar memonitor percakapan media sosial demi kepentingan komersial semata. Dia termasuk rutin menulis di kanal pers.droneemprit.id yang berisi analisis suatu hoax dan isu yang sedang trending.

"Sebelum bikin Drone Emprit kami udah bikin sistem analisis kayak gini, sekitar 2014, cuma kliennya komersial dan pemerintahan," kata lelaki kelahiran Bojonegoro 45 tahun lalu itu. "Tahun 2016, mulai saya lihat ada banyak isu yang terkait dengan politik, demo 411, demo 212, yang berjilid-jilid itu, dan pokoknya disinformasi, misinformasi, banyak propaganda dilakukan oleh semuanya. Dan itu kalau kita lihat media sosial kita jadi bingung mana yang benar."

Ismail lantas menunjukkan cara kerja Drone Emprit dari layar komputer kerjanya. Sekilas tampilannya mirip dashboard sebuah blog. Sederhana dan cukup mudah. Pengguna tinggal memasukkan kata kunci tertentu untuk mempelajari suatu isu, menentukan kurun waktu dan platform mana yang hendak diekstrak. Ismail kemudian mengetikkan "Jokowi" di kolom kata kunci.

Seketika muncul sebuah grafik mirip peta bintang berwarna merah dan hijau di layar. Itu adalah kluster percakapan pengguna di Twitter. Dua kluster tersebut adalah oposisi dan pendukung Jokowi, yang saling me-retweet dan mencuit menggunakan tagar tertentu. Dua kluster itu tak terhubung, tapi dari tone cuitan, Drone Emprit bisa menganalisis mana oposisi dan mana pendukung Jokowi.

Iklan

"Kalau di media massa jelas enggak kelihatan pola persebaran suatu hoax," kata Ismail. "Siapa yang mulai menyerang? Siapa yang mulai bikin hoax? Nah, saya pikir ketika orang enggak tahu apa yang sedang terjadi, Drone Emprit bisa memberikan analisis. Kita perlihatkan sebuah citra percakapan media sosial dari atas, mirip cara kerja drone yang memotret dari langit. Jadi publik bisa literate."

Cara itu terbukti mangkus. Saat gerakan mahasiswa menuntut dibatalkannya RUU bermasalah September lalu berubah dari aksi jalanan ke aktivisme media sosial, publik sempat terkecoh dengan kemunculan tagar #TurunkanJokowi, bahwa seolah-olah demonstrasi mahasiswa bertujuan untuk menolak pemerintahan Joko Widodo. Ismail tergerak meluruskan isu di media sosial dengan membongkar kelompok mana yang menaikkan tagar tersebut.

"Saya sih simpel," tutur Ismail. "Ketika ada sesuatu yang enggak benar, dituduhkan ke kehidupan orang ya, bongkar aja. Simply seperti itu. Saya enggak bisa diem ketika mahasiswa kemudian dituding dia mau menurunkan jokowi. Padahal dataku bilang enggak. Itu oposisi, kerjaan oposisi."

1576219198921-DSC00386

Ini salah satu contoh pemetaan sikap media terhadap isu pilpres yang dibaca oleh Ismail.

Gerakan sosial seperti demo mahasiswa seperti September lalu jelas bakal mudah disusupi, kata Ismail. Narasi baru di luar tuntutan mahasiswa bisa muncul baik di media sosial, atau saat orasi di lapangan. Itu belum termasuk hoax ambulans membawa batu atau grup anak STM yang ironisnya justru digulirkan akun resmi kepolisian. "Mahasiswa perlu waspada, cerdas, dan tetap damai. Drone Emprit mencoba untuk mengawal dengan analisis big data," kata Ismail.

Iklan

Sulit mengetahui siapa lawan dan siapa kawan di era pasukan siber dan akun robot. Itu yang sempat dirasakan Toni Anggoro, salah seorang pegawai pemerintah, saat berbincang dengan saya beberapa saat setelah demonstrasi mahasiswa. "Pusing kalau ngeliat timeline di Twitter," kata Toni. "Mana yang benar kita enggak tahu. Pengin jadi objektif tapi sulit. Cuitan kita kadang bias. Kalau baca analisis Drone Emprit paling enggak kita bisa tahu duduk masalahnya. Setahu gue dia masih netral lah."

Netralitas adalah sebuah kemewahan bagi Ismail. Kendati berusaha keras menjadi netral, tak jarang dia mendapat serangan dari kedua kubu. "Ya namanya cap pasti ada, orang akan ngecap apapun," kata Ismail. "Sekarang aku mulai dibilang jadi cebong, ketika aku bilang pidatonya pak Jokowi bagus. Padahal ya memang bagus dari segi isinya."

Ismail sadar usaha yang dilakukan untuk membongkar ruwetnya simpul percakapan di media sosial tergolong menyebalkan bagi kelompok yang punya kepentingan. Apalagi ketika sebuah isu teramplifikasi di media sosial menggunakan akun robot. Mustahil untuk mengungkap siapa di balik akun-akun bot itu.



"Orang yang mengoperasikan [bot] itu hanya suruhan dari orang lain. Ini kan enggak ada datanya. Enggak ada jejaknya sama sekali. Jadi nggak mungkin. Kecuali kalau kita berada di dalam sana, berinteraksi dengan mereka. Saya enggak berinteraksi dengan dua kubu. Itu analisis komputer. Saya enggak pernah ketemu, dan saya enggak ingin ketemu. Paling mereka cuma mem-bully saya di medsos," kata Ismail santai.

Iklan

Penggunaan akun robot ini sudah jamak dilakukan satu dekade belakangan. Dari awalnya digunakan untuk kepentingan bisnis terutama mempromosikan produk, akun bot segera merambah dunia politik praktis.

Pasukan bot ini dikerahkan untuk menaikkan suatu isu di media sosial, semata demi kepentingan politik yang tanpa disadari membantu polarisasi dan menggiring opini publik. Sebuah laporan dari Oxford University bertajuk The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation yang rilis September lalu mengungkap bahwa bot dikerahkan oleh politisi dan partai politik dengan kisaran biaya Rp1 juta - Rp50 juta.

Laporan itu masih belum komprehensif. Sebab dalam isu Papua Barat, ada dugaan pengerahan bot untuk menyebarkan propaganda pro-pemerintah dan kontra-narasi terhadap isu kemerdekaan Papua. Pihak Facebook menyebut sebuah agensi kehumasan berbasis di Jakarta, InsightID, menghabiskan US$300 ribu buat memasang iklan di Facebook, sembari mengendalikan beberapa laman dengan akun bot yang menyasar audience di Eropa. Laman-laman tersebut kerap membagikan narasi tentang Papua yang dinilai tidak sesuai fakta di lapangan.

Ismail dalam kasus Papua Barat, mengatakan pemerintah belum hadir menjadi penengah. Sehingga isu yang berseliweran di media sosial menjadi membingungkan. "Saya buat analisis soal Papua Barat, itu semata lebih ke arah mengajak pemerintah untuk aktif, untuk turun tangan," kata Ismail.

Iklan

Itu belum termasuk buzzer yang dinilai lebih organik dalam memantik suatu percakapan. Dalam kasus kampanye Sawit Itu Baik yang digulirkan oleh Kominfo, buzzer tak segan menggunakan modus giveaway buat pengguna yang me-retweet. Kominfo pun secara terbuka mengajak para influencer tersebut dalam sebuah lokakarya.

Penggunaan buzzer dinilai masih efektif untuk menggiring opini publik, menekan pihak yang berseberangan, dan mengalihkan suatu isu. Tak heran Gubernur DKI Jakarta sempat berencana menggelontorkan Rp5 miliar untuk mempromosikan pariwisata Jakarta dengan menggunakan buzzer, meski belakangan rencana itu kandas.

"Selama ada kepentingan dari penguasa atau siapapun, buzzer akan selalu ada," kata Ismail. “Dia tidak bisa dihilangkan. Kita harus fokus pada pokok permasalahannya. Bukan menyerang buzzer-nya.” Pernyataannya soal buzzer ini membuat pendukung pemerintah gerah, yang menuduh Drone Emprit mendiskreditkan pendukung pemerintah sebagai ‘buzzer Istana’.

“Salahnya Drone Emprit adalah seolah semua yang mendukung pemerintah dikategorikan sebagai ‘buzzer istana’,” tulis Mora Sifudan di Seword.com, sebuah platform menulis yang lebih condong ke pemerintah.

Drone Emprit kini sedang mengembangkan sistem untuk menginfiltrasi WhatsApp grup serta sistem analisis berdasarkan problem umum. Selama ini WhatsApp grup disebut sebagai "dark social"—merujuk pada istilah Alex Madrigal dari majalah The Atlantic—sebab percakapan di sana tertutup namun memiliki dampak besar dalam persebaran (dis)informasi.

Ismail juga mengakui WhatsApp memiliki karakteristik yang berbeda dengan media sosial lain. Dia menjadi echo chamber tanpa sensor. Infiltrasi tersebut sederhana, Ismail mendaftarkan satu nomor ke ratusan WhatsApp grup yang bersifat publik dan memantau percakapan untuk kemudian mengekstrasi percakapan berdasarkan kata kunci. Sistem ini sayangnya belum bisa menginfiltrasi grup WA yang tertutup dan berdasarkan undangan.

Sistem analisis berbasis suatu isu itu mungkin agak rumit. Kategorinya meliputi pendidikan, pangan, keamanan, ekonomi, dan lainnya. Volume data yang masuk tentu sangat besar, sehingga masih harus dikoreksi oleh tenaga manusia agar hasilnya akurat. Yang jelas Ismail sadar, bahwa diskursus publik kini dikuasai percakapan di media sosial yang dikuasai bot dan buzzer, yang pada akhirnya justru berbahaya buat demokrasi itu sendiri.

"Jadi nanti kita bisa lihat, dalam satu minggu terakhir isu apa sih yang paling banyak dibicarakan,” kata Ismail. "Apakah soal keamanan atau pangan. Jadi tujuannya supaya kita memberikan narasi yang lain. Supaya publik tidak terpatok pada isu di media sosial saja."

Sebelum berpamitan saya melirik lagi ke arah buku Future Crimes. Buku itu menggambarkan secara gamblang deretan kejahatan siber, termasuk ekstraksi data pribadi demi kepentingan bisnis (surveillance economy), pencurian data pribadi, serta risiko di balik big data. Judul itu sedikit keliru, sebab masa depan distopian sudah mewujud sekarang dan menyapa kita semua yang menghidupi media sosial.