Ilustrasi perempuan mengantarkan makanan pakai sepeda
Ilustrasi: Benjamin Tejero
Dunia Kerja

Para Perempuan Berbagi Pengalaman Sulitnya Menekuni Profesi Kurir

Semakin banyak perempuan yang menekuni dunia pesan antar makanan atau ekspedisi barang, tapi mereka masih saja rentan menghadapi pelecehan di jalanan.

Setiap malam, Julie membelah jalanan Marseille di Prancis dengan sepedanya. Jaket berwarna pirus tak pernah lepas dari tubuh perempuan 22 tahun itu. Sudah enam bulan dia bekerja sebagai pengantar makanan Deliveroo. Seperti semua kurir perempuan yang menjadi narasumber artikel ini, dia meminta menggunakan nama samaran karena khawatir akan kehilangan pekerjaan.

Iklan

Julie awalnya ragu menjalani pekerjaan ini. Alasannya bukan karena dia tidak mampu melakukannya, melainkan khawatir menjadi sasaran pelecehan di tempat umum. “Kebanyakan kurir laki-laki, sehingga kalian enggan melakukannya,” tuturnya. “Kalian bertanya-tanya akan nyaman atau tidak, orang-orang akan mengganggumu atau tidak.”

Hasil penelitian Université Gustave Eiffel menunjukkan, hanya tujuh persen perempuan yang melakoni profesi kurir di Prancis. Jumlahnya masih sangat rendah, tapi telah mengalami peningkatan lima persen sejak 2020.

Angka ini sangat bervariasi dari satu negara ke negara lain, serta dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Layanan pesan antar makanan Doordash di Amerika menyatakan 58 persen tenaga kerjanya berjenis kelamin perempuan, sedangkan UberEats mengklaim separuh kurirnya perempuan.

Pada 2019, Kelly menjadi kurir perempuan pertama untuk Deliveroo di kota Nîmes, Prancis. Dia hobi bersepeda, sehingga pekerjaan ini terlihat menggiurkan baginya. “Saya mendapat tatapan aneh [dari kurir laki-laki] selama beberapa bulan pertama. Beberapa dari mereka kemudian mulai mengajak saya ngobrol. Mereka tidak jahat, tapi tingkahnya ingin menggurui saya.”

Iklan

Julie mengalami hal serupa. “Ada kurir laki-laki yang melontarkan saya akan kesusahan, bahwa tas bawaan terlalu berat [buat perempuan] jika mengambil banyak orderan. Padahal, kalian tak perlu menjadi atlet untuk mengantarkan pesanan McDonald’s.”

Komentar semacam itu tak hanya datang dari sesama kurir. Bagi Kelly, pegawai restoran tidak bersikap aneh-aneh saat dia mengambil pesanan. Namun, lain ceritanya ketika mengantarkan pesanan ke pelanggan. “Ada yang seksis dan canggung. Mereka akan mengatakan hal-hal seperti, ‘Untuk seorang perempuan, kamu berani juga.’”

Tas bawaan berat bukanlah rintangan bagi perempuan yang mencari nafkah dengan mengantar makanan. Ada bahaya mengintai pada saat mereka harus menunggu lama di tepi jalan remang-remang sekitar restoran dan blok apartemen. 

Coralie sudah dua tahun bekerja sebagai pengantar makanan. “Ada kalanya saya merasa ketakutan,” ungkap perempuan Prancis berusia 44. “Tergantung lokasinya, saya mungkin akan meminta pengunjung menunggu di luar.” Dia bahkan mengantarkan pesanan pakai mobil untuk menjamin keselamatan diri. Keputusan ini penuh risiko karena bertentangan dengan kebijakan perusahaan Deliveroo di Prancis. Di sana, kurir hanya diperbolehkan mengantar makanan dengan mengendarai sepeda atau motor.

Iklan

Jade telah berpengalaman tiga tahun di industri ini. Perempuan 25 tahun itu membeberkan ajakan untuk berkenalan telah menjadi bagian dari pekerjaannya. “Orang menggodaku. Beberapa pelanggan bahkan menemukan akun media sosial milikku. Saya dipandang sebagai trofi karena menjadi satu-satunya perempuan yang menjalani pekerjaan ini di sini.”

Perlakuan tak pantas yang diterima kurir perempuan tak sebatas tatapan aneh dan ajakan berkenalan di medsos. “Seorang laki-laki menahan setang sepeda saya di tengah jalan dan memaksa minta nomor HP,” kenang Julie. “Bos warung kebab juga mencengkeram bokong saya kuat-kuat. Dia bilang cuma bercanda. Saya bingung harus bereaksi kayak gimana.”

Meskipun menghasilkan uang — Jade mengaku bisa menghasilkan hingga 2.500 Euro (setara Rp40,5 juta) per bulan — profesi ini sangat berbahaya. Pekerja di sektor jasa antar makanan seperti Deliveroo dan UberEats berstatus self-employed, alias bekerja untuk diri sendiri, sehingga mereka tidak mendapat jaminan perlindungan seperti tenaga kerja yang digaji. Kenyataan ini semakin mempersulit kesibukan mereka sehari-hari.

“Sebenarnya kami sama saja dengan kurir laki-laki,” ujar Julie. “Kalian bekerja keras selama berjam-jam dengan bayaran yang tidak seberapa. Kalian harus punya kendaraan dan ponsel sendiri. Sebagai pekerja self-employed, kacau sudah urusannya jika kalian sakit.”

The Guardian melaporkan Deliveroo memproses 74,6 juta pesanan selama kuartal ketiga untuk tahun ini saja. Hal ini membuktikan kita sangat mengandalkan jasa pesan antar makanan, tapi sayangnya kebanyakan dari kita cenderung kurang menghargai para pekerjanya.

Kurir perempuan rentan menghadapi pelecehan dari rekan kerja dan pelanggan, menjadi target seksisme di dalam dan luar tempat kerja, dan kurang diakui jasanya. “Saat saya memberi tahu orang kalau saya bekerja sebagai pengantar makanan, tak pernah ada yang menghargai saya,” kata Jade. “Pekerjaan ini dicap buruk. Itu menjadi kendala lain.”

Artikel ini pertama kali tayang di VICE France.