Budaya Pop

Ngobrol Bareng Pembuat Rangkuman Cerita Film di YouTube yang Laris tapi Problematis

Marak konten YouTube “alur cerita film” bermodal sinopsis, footage, judul clikbait, tapi banyak yang nonton. Kenapa video macam itu laris? Ini penjelasan sang kreator yang mengakui kontennya bermasalah.
Bisnis konten rangkuman cerita film di YouTube yang menghasilkan belasan juta rupiah
Ilustrasi netizen menonton berbagai konten di YouTube. Foto oleh Altan Gocher/NurPhoto via Getty Images

Begitu banyak film, begitu sedikit waktu. 

Enggak semua orang punya kemewahan waktu senggang untuk menghibur diri menonton romansa komedi yang bikin gemes ataupun sinema horor yang bikin lemes. Durasi umum 1,5 sampai 2 jam dari film memaksa kita bikin skala prioritas. Saat waktu kosong tiba, kita harus memilih film yang layak mendapat kesempatan untuk kita saksikan.

Masalah ini jeli ditangkap sekelompok YouTuber di Indonesia dengan konten bergenre “Alur Cerita Film”. Inti dari praktik mereka adalah merangkum cerita film yang aslinya berdurasi berjam-jam, menjadi bisa ditamatkan cuma dalam 15-20 menit. Dalam waktu sesingkat itu, penonton dijamin sudah paham plot maupun adegan-adegan penting film bersangkutan tanpa perlu nonton tayang penuhnya. 

Iklan

Jasa ini laris manis dikonsumsi publik. Para “kreator” konten yang berkecimpung di ranah tersebut segera populer serta menjamur.

Lihatlah kanal YouTube Mager Nonton. Terpantau baru aktif sejak September 2020, kanal ini sudah ditonton lebih dari 120 juta kali. Coffin Birth, kanal lain yang berdiri Februari 2018, memiliki hampir 100 ribu subscriber dan ditonton total 14 juta kali. CICI Tells, berdiri Juli 2020, sudah ditonton 30 juta kali dengan subscriber menyentuh 255 ribu. PARKU, baru mengunggah konten setahun lalu, sedikit lagi punya 150 ribu subscriber. Lewat persami (pencarian singkat mandiri), Anda pasti bisa menemukan contoh lain dengan mudah.

Pertanyaan yang langsung terlintas di benak redaksi VICE melihat maraknya tren ini adalah: wahai para penonton, mengapa memilih nonton video ringkasan cerita?

Mengapa kalian enggak nonton film penuhnya aja? Bukankah kalau enggak punya banyak waktu karena sibuk bekerja, waktu rehat kalian justru perlu diisi hiburan berkualitas? Bukankah inner cinephile kalian justru akan meronta kalau cuma dikasih tontonan rangkuman?

Iklan

Daripada pusing sendiri, VICE minta bantuan pengamat dan kritikus film Adrian Jonathan Pasaribu buat ngasih pencerahan di balik laku kerasnya konten YouTube rangkuman film.

Dulu saya mengira karena akses. Menonton film kan kebutuhan sekunder atau bahkan tersier, dan enggak semua orang punya duit lebih buat langganan macam-macam layanan streaming. Akun-akun film summary jadi punya posisi tawar, walau pengalaman menontonnya enggak lebih baik dari nonton film yang dipotong-potong lalu ditambah commentary track. Tapi lama-lama saya sendiri merasa keterbatasan akses cuma sebagian alasan saja,” kata pendiri situs kritik film Cinema Poetica itu saat dihubungi VICE.

Menelaah lebih dalam, Adrian menyebut ada kemudahan dan kepraktisan yang ditawarkan para “kreator” ini selain ngasih akses gratis. Penonton jadi enggak perlu berkomitmen secara waktu buat menjelajahi keragaman sinema. Cukup duduk, dengar, kelar—mereka udah bisa ngobrolin film tersebut bareng temen-temen. Adrian menganggap konten rangkuman film menghilangkan “risiko menonton film”, menjadikan konten jenis ini semacam “panduan belanja” buat penonton.

Masalahnya, konten rangkuman film ini jelas-jelas pelanggaran hak cipta. “Penggunaan publik [dari footage film] yang terjadi di sini kan juga untuk mengejar klik yang juga punya nilai ekonomi. Saya yakin betul mereka tidak minta izin pemilik filmnya untuk eksploitasi ekonomi semacam itu. Ya itu sudah bisa dibilang pembajakan,” kata Adrian.

Iklan

Penonton senang, so-called kreator konten alur cerita film lebih senang lagi. kami menghubungi salah satu kanal jenis ini dan berhasil terhubung dengan orang di baliknya. Dewa* bersedia kami wawancarai soal manisnya duit AdSense dari tayangan-tayangan rangkuman film yang laku keras.

Setidaknya menurut pengakuan Dewa, kanal alur cerita film ia buat karena kepepet. Pada 2020, pemuda 23 tahun asal Tangerang itu memberanikan diri merantau ke Yogyakarta untuk membangun usaha konveksi. Modal nekat tersebut membuat kesejahteraan yang diharapkannya tak kunjung datang; ia justru terlilit utang. Keputusan darurat diambil, ia dan seorang teman masa kecilnya memutuskan bikin akun YouTube dengan tujuan mendulang uang sebanyak mungkin.

“Kami butuh uang untuk makan, kami terus mikir gimana caranya biar YouTube kami penggemarnya banyak dan menghasilkan. Waktu itu [setahun lalu] momennya emang lagi banyak banget muncul konten alur cerita film kayak Soundsmokers dan IQ 7 yang banyak ditonton,” ujar Dewa. Pengunduhan film, penyuntingan, dan perekaman suara sepenuhnya dilakukan Dewa menggunakan sebuah smartphone seharga Rp1,5 juta.

Keputusan ini, setidaknya dilihat dari prinsip ekonomi, sukses besar. Kanal milik Dewa terbang tinggi sekali. Belum setahun berjalan, kanal tersebut menghasilkan pendapatan di atas Rp20 juta sebulan. Pernah di salah satu bulan, uang dari YouTube mencapai Rp50 juta. Jaring pengaman finansial mereka berhasil. Utang terbayar, ponsel sebagai alat produksi utama kini sudah berganti model yang lebih canggih.

Iklan

“Ngeliat market aja sih. Kayak, ‘Oh ternyata orang tuh sukanya konten begitu.’ Kami prediksi dan analisa [kontennya] untuk video selanjutnya. Kami mainin judul clickbait sedikit juga. Misal, kami upload video dan lihat perkembangan videonya selama satu jam. Kalau enggak dapet [views banyak], kami upload ulang dengan judul yang dimau subscriber kami. Market kami kan ‘orang-orang dengan rokok Sam Soe’ dan bocah-bocah rebahan,” cerita Dewa.

Kiriman copyright strike dari YouTube adalah makanan sehari-hari Dewa. Namun, saat ini ia mengaku sudah punya trik untuk mengakali sistem YouTube. Ia sebenarnya membagi tips menghindari teguran YouTube terkait hak cipta kepada VICE. Tapi gila aja dong kalau kami tuliskan di sini.

Dewa mengaku paham apa yang dilakukannya ilegal. “Kalau ditanya merasa bersalah, kami ya merasa bersalah. Perasaan ini coba kami tebus dengan selalu mengajak penonton kami untuk menonton filmnya secara penuh di akhir video. Next, kami mau [berubah] jadi [kanal] review film yang sebenar-benarnya, [mengulas] film yang layak ditonton dan kami kasih ke orang lain. Awal bulan [depan] mau [mulai] kayak gitu,” tutup Dewa.

Selain perkara hak cipta, Adrian juga menyoroti tiga masalah lain dari konten YouTube alur cerita film. Pertama, ada tendensi si perangkum film fokus berlebih pada aspek-aspek sensasional dari cerita film sebagai pemancing viewers.

Iklan

“Bisa ditebak lah rentangnya: seks, kekerasan, dan keganjilan. Atas nama klik, misalnya film Extortion [2017] menghasilkan postingan luar biasa macam ‘Terjebak di Pulau Tak Berpenghuni, Wanita ini Dibajak oleh Orang Hitam’. Padahal, fokus filmnya sebenarnya lebih dari itu dan bahkan bukan soal wanita yang dimaksud. Itu baru satu contoh, banyak banget contoh lain. Singkatnya, konten begini memperlakukan sinema selayaknya freak show. Makin aneh, makin layak ditonton,” ujar Adrian.

Kedua, konten berjudul sensasional melanggengkan dan mempromosikan perspektif diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan. Misalnya, kreator kerap sengaja menekankan aspek seks dan kekerasan. “Saya lihat ada film Ms .45 [1981] dan Prison Heat [1983]. Satu film tentang perempuan balas dendam, satu lagi tentang penjara perempuan. Keduanya sama-sama fokus pada tubuh protagonis dan pelanggaran atasnya. Nah, mengingat akun-akun begini sama sekali tidak kritis, hal-hal eksploitatif itu justru diapresiasi dan dibingkai sebagai capaian film.”

Ketiga, Adrian menemukan para kreator rangkuman film kerap mengedarkan konten dengan tagar #reviewfilm. Hal ini berujung pada anggapan netizen bahwa kritik film itu ya seperti konten begituan.

“Ini meresahkan ya buat saya personal. Kritik film jelas enggak sekadar cerita ulang plot film. Lebih penting lagi, kritik film punya tanggung jawab juga untuk mengkritisi value-value dalam karya film, termasuk perspektif diskriminatif. Ini malah merayakannya,” tandas Adrian.

*Narasumber meminta nama asli tidak ditulis untuk melindungi privasinya