FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Jurnalisme Sepakbola Merusak Makna Breaking News

Rumor transfer pemain doang diembel-embeli 'breaking', begitu pula menu sarapan bintang Premier League. Pembaca sampai eneg.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sport UK.

Saat membahas kabar yang berseliweran di media sosial tentang sepakbola, kalau boleh jujur kita harus mengakui Internet memicu saturasi data berkualitas. Sepakbola memang topik yang bisa menjangkau miliaran orang di seluruh dunia. Tapi informasi tentang sepakbola yang bisa dipahami manusia tentunya terbatas.

Ambil contoh Premier League di Inggris, yang sangat terobsesi pada drama. Liga ini memaksa banyak kantor berita bertarung menyajikan informasi terbaru demi memikat pembaca. Mereka semua mendaku sebagai yang pertama mengabarkan gosip transfer pemain atau perkembangan kecil, termasuk tekel pertama, sebuah pertandingan. Subtansi informasi adalah urusan kesekian. Dengan semua polah tersebut, jurnalisme sepakbola global telah membabat potensinya menarik perhatian publik terhadap isu-isu tertentu. Ketika semua media berebut traffic, lalu perang kecepatan menyajikan informasi secepat-cepatnya tentang sepakbola (yang tidak bergizi sama sekali), maka format breaking news pada pembaca kehilangan fungsinya.

Iklan

Coba kita simak linimasa akun twitter Sky Sports. Persoalan yang saya maksud akan kentara sekali. Ketika saya beberapa menit mulai menulis artikel ini, di linimasa mereka sudah muncul 10 postingan yang semuanya diberi embel-embel 'BREAKING' (istilahnya tak persis sama, tapi intinya begitulah). Bahkan, follower Sky Sports menyadari betapa tololnya konsep tagar #BREAKING yang mereka pakai, sampai ada yang menjadikannya bahan lelucon.

Sky bukan satu-satunya media olahraga yang merusak konsep breaking news. Banyak akun sosmed khusus mengulas isu-isu sepakbola menghadirkan omong kosong serupa. BREAKING bisa dipakai ketika kita membahas menu sarapan Wayne Rooney, karakter Power Ranger terfavorit Dele Alli, hingga kaos kaki yang dikenakan oleh Mesut Ozil.

Alasan saya keberatan melihat penggunaan istilah 'Breaking News' yang serampangan ini sederhana saja. Pemakaian tagar itu menjemukan, membingungkan, dan kemudian mencapai tahap memuakkan. Saat admin akun twitter sampai perlu menulis 'BREAKING', artinya orang diminta menyiapkan otaknya menerima informasi maha penting yang baru saja terjadi; informasi yang berkaitan dengan kemaslahatan bersama. Kalaupun bukan jenis kabar semacam itu, 'breaking' masih layak dipakai informasi yang eksklusif atau sangat menarik tentang topik-topik tertentu.

Dalam hal jurnalisme sepakbola, semua kaidah penggunaan breaking news seakan-akan diabaikan. Seorang atlet yang memilih bertahan di klub lamanya, ketika kontrak memang masih panjang, ya artinya tidak ada yang terjadi. Tidak ada berita. Apalagi jika memang si pemain tidak sedang diincar klub tertentu dan musim belum juga masuk masa transfer. Banjir rumor kepindahan pemain pun, kalau ditilik, tidak menandakan apapun. Si atlet sedang asyik sarapan sereal, kemudian beranjak mengendarai lamborghini-nya, menikmati hari. Sementara di sosmed, sebuah akun situs olahraga mengabarkan rumor transfer, seakan-akan si pemain menghadapi situasi hidup mati. Informasi sampah seperti ini bukan breaking news, bahkan kabar perkembangannya juga masih tidak layak disebut berita.

Iklan

Bicara soal perkembangan rumor juga bukan breaking news sungguhan. Kepindahan pemain ke klub lain baru punya nilai jika transfer dan kesepakatan sudah diteken kedua belah pihak. Kalau belum ada, dan kita cuma bergosip, ngapain juga diberi embel-embel Breaking News. Transfer pemain adalah denyut nadi jurnalisme sepakbola. Jika hal sepenting ini terlalu sering didominasi isu, lama-lama pembaca pasti mual.

Semua hal buruk itu sekilas cuma merugikan perkembangan jurnalisme olahraga, atau jurnalisme sepakbola. Tapi jangan salah, penggunaan ngawur breaking news merugikan budaya informasi di Internet. Netizen lambat laun tidak peduli lagi ketika ada akun berita menampilkan informasi yang sifatnya breaking news. Antusiasme itu hilang. Di masa Internet seperti sekarang, mengembalikan antusiasme, kita tahu, adalah upaya yang maha berat.

Bila seorang penggemar berat sepakbola lebih memilih pergi pipis ke toilet ketika membaca di linimasanya ada akun memasang tagar 'BREAKING', itulah indikator sejati matinya breaking news dalam perbincangan dunia maya.

Seharusnya semua media belajar betapa mustahilnya memasang breaking news setiap hari. Apalagi untuk topik sepakbola. Bayangkan kita menonton pentas drama King Lear, tapi setiap setengah jam tokoh penting di cerita ditusuk matanya pakai pisau. Awalnya mengejutkan, bikin kita tertarik mengikuti, tapi lama-lama ya eneg lah.

Breaking News yang baik laiknya pentas teater jempolan. Ada upaya menjaga momentum. Dipakai hanya pada waktu yang pas dan benar-benar tepat. Melodrama dalam sepakbola tetap bisa kita kemas menjadi kabar yang dramatis, menggunakan sistem Breaking News. Sayang, dalam industri media saat ini, penggunannya benar-benar menyedihkan karena semua orang seakan-akan berlomba mengemas kata-kata senorak mungkin, bagaikan seniman tak laku berteriak di pinggir pasar, menuntut perhatian orang yang lalu lalang.