FYI.

This story is over 5 years old.

media sosial

Batas Cuitan Twitter Jadi 280 Karakter, Mungkin Berkah Tapi Bisa Pula Berubah Kutukan

Baik buruknya pembaruan ini, menurut kami, tergantung pada seberapa besar kamu membenci diri sendiri. Yang makin seneng kayaknya cuma Trump.
Sumber foto: Shutterstock | Ilustrasi oleh Noel Ransome.

Twitter baru-baru ini menggandakan batas karakter dari 140 menjadi 280. Entah ini gagasan perubahan yang baik atau buruk. Yang jelas, hubungan saya sama Twitter bakal gitu-gitu aja: benci tapi cinta. Setiap platform media sosial membuat kita kecantol sama caranya masing-masing. Facebook adalah tempat kita mengetahui mana saja anggota keluarga dan kerabat kita yang rasis, dan mana saja musuh kita saat SMA yang sekarang hidupnya ngenes (sebagaimana kita perkirakan dan doakan setiap mereka nge-bully dulu). Oh jangan lupa juga, berkat Twitter, kita tahu mana saja kawan yang sudah punya dua anak dan tiga rumah di usia 30-an awal (karena hidup memang enggak adil). Sementara Instagram adalah tempat kita mengkurasi #bestlife melalui foto-foto yang tujuannya mengobati 'depresi cybernetik' (perasaan ingin nampak bahagia yang berulang, macam siklus Sisyphus tak berujung). Lain lagi ketika kita menggunakan Tumblr. Medsos satu ini dipakai buat menemukan orang-orang yang sama anehnya kayak kita dari sisi hobi. Sedangkan kita menggunakan Snapchat untuk sexting atau membaca Buzzfeed. Nah, sampailah kita sekarang di Twitter. Kenapa sih banyak orang mengakses mikroblogging ini? Kurang lebih Twitter adalah pertunjukkan horor. Kita bisa menemukan mana seleb idola saat kecil yang ternyata idiot, karena opini-opini mereka terlampau buruk, atau ternyata idola kita punya selera lebih buruk lagi dalam hal tim sepak bola, serta mana wartawan atau politikus yang sebaiknya berhenti kerja karena lebih cocok jadi pelawak. Di Twitter kita menemukan kegembiraan dan kengerian, tapi sebagian besarnya adalah kengerian, terutama saat anonim simpatisan FPI nge-mention temanmu yang progresif berulang kali, mengingatkannya lebih baik kita mati aja. (Enggak kebayang sih kalau kamu seorang perempuan yang punya pandangan politik tertentu di platform Twitter.) Intinya, Twitter adalah gudangnya sumber kecemasan. Baik yang ngetwit maupun yang baca linimasa, semuanya cemas.

Iklan

Bagaimanapun, harus diakui: kalau Twitter pas lagi asik, ya rasanya asik banget. Twitter adalah salah satu dari sedikit pilihan di mana orang yang tertindas dan lemah bisa menggugat mereka yang berkuasa dan maruk. Menulis twit cerdas atau jenaka atau bermakna hanya dalam 140 karakter merupakan sebuah tantangan dan mereka yang bisa melakukannya secara konsisten patut disebut suhu. Hal ini memaksa orang-orang menjadi lebih ringkas dan menyingkirkan orang-orang yang gemar berlebihan dalam berkata-kata. Nge-post cuitan adalah sebuah seni tersendiri. Batasan cuma 140 karakter ini mengasah curhatan enggak jelas (seperti di blog) menjadi semacam karya seni. Orang-orang bisa menjadikan ketenaran mereka di Twitter sebuah nilai jual untuk berjaring dengan orang lain, atau bahkan untuk mendapatkan lowongan pekerjaan tertentu. (Saya berhasil melakukan keduanya, namun hal ini bisa juga menjadi argumen mengapa situsweb ini buruk sekali.)

Sewajarnya, situsweb ini berupaya menghilangkan kekurangan yang ada dan melipatgandakan kekuatannya. Meski selama bertahun-tahun para pengguna menuntut supaya Twitter menghapus trolling dan pelecehan yang membuat banyak pengguna lama kabur dan calon pengguna enggan, Twitter lebih disibukkan dengan perubahan kosmetik yang enggak ada gunanaya. Akun kita akan ditangguhkan sementara jika kita mengucapkan kata serapah pada akun lain yang memiliki pita biru, tapi ujaran kebencian terus tersebar setiap hari, karena algoritma yang menyeleksi linimasa kita diprogram oleh orang-orang yang tak berperasaan. Dan kini, perubahan yang lebih enggak berguna lagi: batasan karakter menjadi 280. Alih-alih diisi dengan hal-hal indah dan sinting yang membuat platform ini menarik, linimasa kita akan diisi dengan tulisan-tulisan panjang dari orang-orang ngehe yang membutuhkan 30 kata keterangan untuk menjelaskan betapa (((social justice worrior))) dan/atau peretasan Rusia merusak ikon pahlawan super mereka dan kenangan masa kecil mereka. Mantap lah. Satu-satunya kegembiraan estetis yang bisa kita nikmati adalah Twitter bakal jadi benar-benar berantakan, karena orang-orang yang mengelolanya enggak mengerti mengapa kita menggunakannya.

Oh ya, mungkin saja ada berkah dari kebijakan ini. Siapa tahu batas karakter cuitan Twitter yang baru bakal bikin mayoritas penggunanya cabut. Politisi-politisi goblok kemungkinan enggak menjadi sorotan lagi (ehem, Trump). Mungkin kita bahkan bisa balik menggunakan forum-forum web seperti dulu kala. Tapi ya, itu rada ngayal sih. Twitter itu kayak narkoba dan semua orang yang menggunakannya mengidap sindrom Stockholm—pengen lepas tapi ga bisa-bisa. Saya benci banget platform ini, tapi nyatanya saya terus-terusan ngerefresh timeline. Njir…