FYI.

This story is over 5 years old.

VICE Guide to Life

Jenis-Jenis Orang Bakal Kalian Temui Saat Mendaki Gunung di Indonesia

Sudah pasti maling edelweis alay dan pecinta Soe Hoek Gie masuk dalam daftar ini.
Ilustrasi jenis-jenis pendaki gunung di Indonesia
Ilustrasi jenis-jenis pendaki gunung oleh Farraz Tandjoeng.

Masih ingatkah kalian pada masa-masa awal Instagram populer di Indonesia dan belum bisa diakses pengguna Android? Di masa yang sekarang terasa seperti berjarak satu abad lalu itu, semua foto tertata rapi dalam satu feed rapi, dilengkapi hashtag populer: #livefolk #liveadventure. Nuansa foto-fotonya hampir semua sama. Ada di gunung, hutan pinus, atau lereng-lereng dengan pemandangan alam tanpa cela. Gunung dan alam jadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi penggemar instagram.

Iklan

Begitulah. Delapan tahun lalu, sempat ada satu fase ketika gunung seakan wajib dikunjungi anak muda. Sebagian pembaca pasti emosi kalau aku terpaksa harus mengungkit-ungkit lagi trauma lama tersebut, ya, mendaki gunung jadi ngetren gara-gara popularitas film 5 Cm. Film itu, bagi sebagian kubu pecinta alam, bertanggung jawab memicu munculnya hipster gunung. Kisah persahabatan Pevita Pearce dan Fedi Nuril bersama kawan-kawannya itu memindah hipster yang sering nongkrong di Sevel sekitaran Ibu Kota (RIP) menuju lereng Semeru. Banyak orang jadi jengkel.

Sebabnya jelas sih. Pendaki dadakan yang kena hype itu sembarangan: suka buang sampah dan enggak peduli sama keamanan karena maunya foto buat instagram doang. Salah satu korbannya adalah Ranu Kumbolo, lokasi paling cantik di kawasan Semeru yang sempat rusak dan penuh sampah akibat pendaki tak bertanggung jawab.

Dosa lain dari film 5 cm menurut komunitas pendaki adalah cara sutradara dan timnya menggambarkan pendakian seakan-akan "mudah". Banyak orang tak segan menyebut 5 cm sebagai “film pendakian sampah” baik secara harfiah (karena bikin Semeru banyak sampah) maupun secara metaforis.

Dampak nyata film itu hingga delapan tahun kemudian masih terasa lho. Hipster-Hipster Gunung masih bertebaran di banyak gunung. Bahkan, ada faktor lain (spoiler: Youtube) yang menambah variasi jenis manusia unik di lereng-lereng indah yang tersebar di seluruh Indonesia. Jangan salah, jangan-jangan aku termasuk di dalamnya.

Iklan

Jujur saja, aku tak berani menyebut diriku pendaki, walaupun beberapa kali punya pengalaman naik gunung di beberapa pulau di Tanah Air. Minimal, dari pengalaman itu, aku berhasil mencatat ragam manusia yang berusaha mencapai puncak—mulai dari yang inspiratif, sampai yang mengingatkan kita pada horor efek negatif 5 Cm di masa lalu.

Berikut jenis-jenis manusia yang rutin kutemui saban naik gunung, semoga yang nyebelin semakin berkurang di masa mendatang.

Pendaki Saltum

Ada berbagai jenis orang salah kostum di gunung yang pernah kulihat. Hal paling mutakhir yang kusaksikan sendiri adalah perempuan pakai jaket ala winter (yang lebih pas dipakai menghadapi hujan salju di jalanan Paris dibanding Gunung Cikuray) lengkap dengan shawl dan sepatu boots setinggi betis. Pemandangan tebing-tebing warna putih di sana memang bikin foto instagrammu seakan-akan sedang berada di pegunungan Wyoming atau Alpen Swiss… tapi duh maaf-maaf aja hari itu sedang panas banget dan kami ada di Garut.

Pergeseran tren saltum lainnya, yang baru kulihat akhir-akhir ini, adalah semakin banyak orang naik gunung pakai gamis panjang. Aku tak tahu, mana yang lebih aneh, pengguna gamis atau mereka yang lima tahun lalu sering pakai celana pendek jins naik gunung.

Kadang, saat melihat pendaki bercelana pendek yang seakan sedang safari di sabana Serengeti itu, aku kepikiran, “selangkangannya lecet enggak ya?” atau “kalau celananya jadi basah berat nggak ya?” atau "kalau ada binatang atau tanaman yang tajam dan bikin gatal gimana ya?"

Iklan

Nah buat pendaki bergamis, berbagai pertanyaan melintas di kepala. “Apa enggak takut ujung bajunya keinjak kaki sendiri?” atau “kalau keinjak temannya pas tanjakan atau turunan ekstrem gimana ya?” Luar biasa lah. Nyalinya gede berarti. Salut!

Pendaki Siap kibar bendera di puncak

Membawa bendera adalah semacam konsensus tak tertulis kalau sekelompok pendaki yang berniat “muncak”. Dari mulai bawa bendera negara, bendera organisasi, sampai mungkin saja cuma ngibarin shawl atau sempak pun tak masalah.

Pokoknya di puncak, momen kibar bendera ini jadi semacam “sunah”. Kalau bendera lebih mantap lah pokoknya. Bendera yang dibawa pun macam-macam. Dulu paling cuma bendera merah-putih atau organisasi mahasiswa, akhir-akhir ini aku lihat langsung jadi semakin beragam ada bendera Palestina, serta bendera Ar-Rayah dan Al-Liwa (yang sering dituduh bendera khilafah itu lho).

Semakin banyak dan beragam benderanya. Tiang bendera is so yesterday. Mari kibarkan semua bendera di gunung saja. Mantab!

Pengabdi Vlog

"Hey guys! Alhamdulillah ya %#@#%$#T$^$^"

"Tunggu sebentar…. anginnya kencang nih."

“Alhamdulillah guys aku lagi di gunung nih sekarang sudah sampai…" (padahal itu baru sampai pos satu, belum juga mulai mendaki beneran)

Ya, dialog di atas adalah pengalaman pribadiku sebelum tahun baru 2019 lalu mendaki di salah satu gunung populer Jawa Barat. Ada pasangan berulangkali take karena salah melulu ngomong ke kamera. Dan mereka tidak sendiri. Banyak kawan melaporkan munculnya mahluk macam itu di habitat yang berbeda-beda.

Iklan

Mengingat profesi 'youtuber' semakin diminati anak muda Indonesia, enggak perlu kaget sih ketika pengabdi vlog bertambah banyak di jalur-jalur pendakian. Satu hal yang pasti, saya enggak sedang sarkas nih, mendaki sambil konsisten ngomong dari pos satu sampai atas tuh hebat sih. Staminanya pasti oke. Lagi-lagi, salut!

Mahasiswa PA mengidolakan Soe Hok Gie

Jika pembaca artikel ini pernah kuliah, sepanjang hidupnya pasti setidaknya pernah kenal satu anak pecinta alam. Stereotipe mereka ini kok sayangnya emang konsisten dari Orde Lama sampai Orde Reformasi.

Anak PA tuh mudah dikenali karena kebanyakan gondrong, suka kopi hitam tubruk, kadang ada yang demen membuat puisi, dan, bagi satu varian khusus, mereka bersemangat naik gunung karena terinspirasi (atau malah sekalian bawa) buku Catatan Seorang Demonstran. Jenis satu ini senang berlama-lama di basecamp gunung sambil merenung tentang mau jadi apa setelah lulus nanti. Pokoknya, berbagai pertanyaan seputar kehidupan yang pernah direnungkan oleh Soe Hok Gie—sang tokoh pemuda Angkatan 66 yang mati muda itu—akan mereka renungkan juga.

Inspiratif!


Tonton dokumenter VICE mengikuti manusia sakti dari Belanda yang bisa mendaki gunung es tanpa pakaian dan bikin berbagai ilmuwan penasaran:


Pencuri edelweis

Nah, kalau tipe satu ini biasanya anak-anak alay yang pengen sesekali nyoba naik gunung, terus bawa pulang edelweis buat kasih bukti ke gebetannya kalau dia pernah muncak.

Seakan kurang norak, biasanya bocah alay itu akan bilang, “ini edelweis buat kamu pajang di pojokan kosan, tanda perjuanganku untuk menggapai cintamu."

Iklan

Bgst. Woy, cinta-cinta mulu. Dipenjara lima tahun baru tahu rasa ente.

Sosok misterius

Tidak semua orang beruntung bisa bertemu sosok misterius di gunung. Bisa jadi mereka betulan ada atau hanya khayalan kita karena hipotermia ringan. Setidaknya, di beberapa gunung yang dipercaya punya daya magis tinggi, sosok misterius seringkali muncul dalam berbagai format. Konon kata orang lokal sih bergantung pada perangai pendaki. Ada saja cerita-cerita soal mereka yang dijerumuskan ke dalam jurang. Ada juga yang malah punya cerita ditolong sama seseorang yang yang mereka enggak pernah tahu siapa dan nggak pernah mereka bisa temui lagi. Atau yang paling legendaris ya pedagang dan tentara berbaris yang sering muncul di kawasan Pasar Bubrah Merapi.

Maraknya kisah mistis tadi setidaknya jadi penyeimbang bagi manusia ajaib yang berniat sembarangan saat menyambangi alam. Sayang sih. Kita mah mau dikasih pesan "Leave nothing but footprints. Take nothing but pictures. Kill nothing but time" sering enggak ngereken. Giliran melibatkan peri dan mahluk halus baru deh pada taat. Bagus!

Warga lokal yang selalu bilang, 'basecamp sudah dekat kok, itu di depan'

Tiap pendakian, biasanya tak akan lepas dari pertemuan dan interaksi sama warga lokal. Mereka tentu kita hormati dan percaya, karena sehari-hari tinggal di lereng gunung. Saat sedang capek-capeknya, interaksi antara pendaki dan warga lokal yang akan hampir selalu berakhir dengan pertanyaan, "Kalau ke basecamp kira-kira berapa jam lagi ya?" Ada sebagian penduduk lokal yang menjawabnya sambil memberi angan dan harapan muluk, “Ah, sudah dekat itu sekitar dua jam lagi."

Iklan

Saranku ketika bertemu warga lokal yang menjawab seperti itu, jangan terlalu berharap.

Dulu aku pun mendapat jawaban demikian saat mendaki Rinjani. Warlok bilang, udah deket, cuma dua jam lagi. Aku yang sudah capek berat— ditambah masuk angin—lalu hanya bisa fokus pada tiga hal: membangun tenda, dan menyeduh teh panas, lalu tidur.

Ujung-ujungnya, harapan berupa pendakian yang sisa dua jam lagi ini tak jadi kenyataan. Bener sih dua jam ya buat warga lokal yang mendaki jadi kerjaan sehari-hari. Aku? Delapan jam bok! Pelajaran pentingnya, sapa saja kalau bertemu warga lokal, enggak usah tanya berapa lama lagi sampai di lokasia yang kalian tuju. Sadar diri lah stamina kamu itu beda dari mereka.

Pendaki Betulan

Nah jenis ini nih yang bikin kita jiper. Mereka biasanya mendaki gunung-gunung dengan ketinggian lebih dari 3000 mdpl buat latihan sebelum mendaki gunung yang lebih tinggi lagi. Manusia tipe ini biasanya dalam proses ikut ekspedisi tertentu. Minimal mereka sudah pernah menyambangi lebih dari tiga puncak tertinggi Indonesia, atau malah alumni Seven Summit betulan.

Dari fisik sekilas pendaki serius enggak terlihat beda dari kita-kita. Ciri-ciri yang kelihatan sih stamina dan hmm, merk dan jenis gear yang dipakai.

Mereka biasanya rendah hati, murah senyum dan tidak sombong, walau pendaki-pendaki cemen macam aku seringkali jiper. Belajar banyaklah dari pendaki macam ini. Mereka lah sosok yang tepat untuk kalian tanya seputar gunung dan upaya menjaga kelestarian alam. Bukan musisi 'folk' atau film seputar persahabatan yang keliru menggambarkan etika naik gunung.