FYI.

This story is over 5 years old.

LGBTQ di Indonesia

Jelang Pemilu, Indonesia Darurat Persekusi Komunitas Transgender

Sepanjang November 2018 saja, ada tiga kasus penyerangan dan pengusiran transgender. Satu daerah menerbitkan perda anti waria. Komunitas marjinal ini diduga jadi sasaran perseusi untuk agenda politik.
Unjuk rasa anti LGBT di Banda Aceh.
Unjuk rasa dengan poster penuh ujaran kebencian menolak LGBT di BAnda Aceh. Foto oleh Irwansyah Putra/Antara/via Reuters.

Sepanjang lebih dari 20 tahun, kehidupan Rina* bisa dibilang baik-baik saja. Transperempuan tersebut kuliah di sebuah universitas Islam di Jakarta dan lulus pada 2016. Kehidupan sosialnya baik-baik saja. Di kampus dia tak pernah menerima diskriminasi dari dosen dan kawan-kawan.

Semua berubah dalam sehari saja pada September lalu, kehidupan Rina berubah setelah dirinya menjadi korban doxing. Data dirinya disertai komentar bernada ancaman diunggah di WhatsApp story dan Instagram story oleh salah seorang kawannya tanpa izin. Sebabnya, Rina menolak ketika diajak menjadi anggota tim kampanye politik kawannya yang hendak maju menjadi calon legislatif.

Iklan

"Sekarang buat keluar dari kamar kost aja sudah malas," kata Rina yang berasal dari Bandung dan indekos di Tangerang Selatan saat dihubungi VICE. "Kalau mau nongkrong saya milih tempat yang jauh sekalian."

Rina masih beruntung doxing tersebut tidak berujung pada persekusi. Unggahan data dirinya menghilang setelah 24 jam sesuai sistem Instagram dan WhatsApp. Tapi ancaman dunia maya itu sempat membuat Rina khawatir atas keselamatannya. Dia yakin setiap orang yang melihat unggahan tersebut bisa membuat tangkapan layar. Kini dia meminta bantuan salah satu LSM di Jakarta yang fokus kepada advokasi dan perlindungan komunitas LGBTQ.

Sepanjang November tahun ini, setidaknya ada tiga kasus kekerasan terhadap komunitas LGBTQ. Di Lampung, tiga transgender ditangkap oleh anggota Satpol PP dalam sebuah razia dan disemprot dengan air dari mobil pemadam kebakaran. Salah seorang anggota Satpol PP lantas mengambil foto dan mengunggahnya ke media sosial, membuat tiga transgender tersebut menjadi bulan-bulanan pengguna internet.

Dalam waktu berdekatan, tujuh orang transgender juga mengalami pengusiran dari tempat yang telah mereka diami bertahun-tahun di Jakarta Timur. Warga Sumur Utara, Klender menolak keberadaan mereka sembari memasang spanduk berisi ujaran kebencian. Ketua RT setempat juga dilaporkan mengumpulkan tanda tangan warga untuk mengusir tujuh orang tersebut. Sebanyak 200 orang warga dikabarkan mendukung petisi tersebut.

Iklan

Sementara di Bekasi pekan lalu, dua orang transgender juga mengalami kekerasan yang dilakukan sekelompok orang. Menurut salah seorang aktivis LGBTQ, sekira 50 orang memukuli dan menelanjangi dua orang transgender tersebut. Sebulan sebelumnya, pasangan gay ditangkap unit cyber crime Polda Jawa Barat karena diduga membuat sebuah grup LGBTQ di Facebook. Pasangan tersebut dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena melanggar pasal kesusilaan dan pornografi.

Dede Oetomo dari GAYa Nusantara, lembaga swadaya tertua yang fokus mengadvokasi LGBTQdi Indonesia, mengatakan sentimen negatif terhadap komunitas LGBTQ senantiasa meningkat menjelang pemilihan umum. Dia mengatakan, tidak pernah ada komitmen dan upaya melindungi komunitas LGBTQ yang datang dari partai politik atau pemerintah.

"Kepala daerah cenderung mengikuti tren dalam mengeluarkan perda yang anti terhadap LGBTQ," kata Dede kepada VICE.


Tonton dokumenter VICE mengenai pencambukan dan diskriminasi gay di Aceh:


Kekerasan dan diskriminasi terhadap LGBTQ memang seringkali disponsori aparat negara. Terbukti dari razia Satpol PP di Lampung tersebut dan beberapa peraturan daerah yang secara terang-terangan menolak keberadaan komunitas LGBTQ. Pemerintah administrasi Kota Depok siap menerbitkan perda yang melarang LGBTQ jika pemerintah pusat mendukung komitmen tersebut. Walikota Depok Mohammad Idris mengatakan jika komunitas LGBTQ merupakan "bentuk penyimpangan sosial yang semakin marak di kota tersebut."

Iklan

Sementara di Payakumbuh, Sumatra Barat merevisi peraturan daerah tentang penyakit masyarakat. Perda tersebut memuat pasal diskriminatif yang melarang keberadaan komunitas LGBTQ. Hal yang sama juga terjadi di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, di mana para legislator dan pemerintah setempat sepakat untuk merumuskan perda serupa. Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi juga mengatakan LGBTQ adalah "penyakit menular dan dilarang oleh norma agama."

Beberapa tahun belakangan, menyusul bangkitnya populisme dan konservatisme agama, komunitas LGBTQ telah menjadi target diskriminasi dan persekusi. Hasil penelitian Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menunjukkan bahwa transgender, terutama transperempuan, merupakan kelompok yang paling banyak menjadi korban dari stigma, diskriminasi, dan kekerasan berbasis orientasi seksual dan ekspresi gender. Penelitian atas pemberitaan di media daring sepanjang 2017 tersebut menemukan 973 korban, dengan 715 orang atau 73.86 persen di antaranya adalah kelompok transgender.

Kepanikan moral terhadap komunitas LGBTQ dikhawatirkan oleh beberapa pengamat dan aktivis akan meningkat menjelang pilpres 2019 yang rencananya bakal digelar April. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting, 87.6 persen dari 1.200 responden menganggap komunitas LGBTQ sebagai ancaman, sedangkan 81.5 persen responden menganggap LGBTQ menyimpang dari agama.

Komunitas transgender, di tengah himpitan agenda politik penuh kebencian itu hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Sangat sulit mengharapkan pemerintah bisa bersikap imparsial dan melindungi mereka sebagai sesama warga negara sah republik ini. Indonesia, dengan sadar, menempatkan transgender bukan sebagai manusia yang punya kedudukan semata di mata hukum.

"Ada semacam upaya terorganisir yang dilakukan oleh kelompok keagamaan untuk mengkriminalisasi LGBTQ dan pemerintah pusat juga tidak berani untuk mengambil tindakan," kata Dede. "Saya pikir partai politik juga tidak berani untuk bersuara dan melindungi komunitas LGBTQ."

*Nama narasumber disamarkan untuk melindungi privasinya