Pembawa acara olahraga Jo Hyun-il mimisan saat siara langsung

Ini baru yang namanya dedikasi pada olah raga: seorang pembawa acara olah raga sekaligus komentator di SpoTV, Korea Selatan, mimisan parah saat siaran langsung. Bukannya berhenti, lelaki itu dengan santai terus membaca berita.

Jo Hyun-Il sedang menyampaikan berita tentang kompetisi basket NBA saat darah deras mengucur dari rongga hidungnya, sampai melewati dagu.

Di sebuah malam yang adem di bulan September 2013, bunyi jam kota Istanbul menandakan pergantian hari. Jalanan sepi, kontras dengan energi yang memenuhi kota beberapa bulan sebelumnya ketika warga Turki mengambil alih Taksim Square. Kamp protes dibersihkan bulan Agustus, tapi polisi tetap berjaga-jaga. Meriam air disiapkan apabila protes kembali dilakukan. Beberapa bayangan muncul dari gang kecil dan berbicara dalam campuran bahasa Inggris dan Jerman yang membingungkan. Mereka melepas hoodie jumper mereka, dan mengaturnya guna membentuk lapangan sepakbola heksagonal di tengah lapangan. Mereka mulai saling mengoper bola, dan sesekali melempar tatapan ke petugas polisi yang memandang orang asing dengan penuh kecurigaan. Dalam waktu setengah jam, para atlet sepakbola ini menarik perhatian para penduduk lokal dan hampir 100 orang mengelilingi lapangan yang kini hiruk pikuk dengan berbagai bahasa. Batas lapangan sudah kabur, siapa main di tim mana tidak jelas, dan tidak ada yang ingat skornya. Apa yang penonton tidak sadari adalah mereka sedang menonton sebuah revolusi dalam bentuk sepakbola. “Keren banget deh—itu salah satu pertandingan sepakbola tiga tim terbaik yang saya mainkan,” ingat Mark Dyson. “Pokoknya cantik deh.” <div class="article__media"><picture class="article__image"><source media="(max-width: 25em)" srcset="https://vice-images.vice.com/images/content-images/2015/08/26/three-sided-football-285-body-image-1440587984.jpg?output-quality=75&resize=400:*, https://vice-images.vice.com/images/content-images/2015/08/26/three-sided-football-285-body-image-1440587984.jpg?output-quality=75&resize=600:* 2x"><source media="(min-width: 25em)" srcset="https://vice-images.vice.com/images/content-images/2015/08/26/three-sided-football-285-body-image-1440587984.jpg?output-quality=75&resize=640:*"><img src="https://vice-images.vice.com/images/content-images/2015/08/26/three-sided-football-285-body-image-1440587984.jpg?output-quality=75" alt=""></picture>(Foto oleh Mark Dyson)</div>Ini pernyataan bukan main mengingat datang dari Dyson yang bermain untuk Klub Sepakbola Tiga Tim Deptford dan terlibat dengan dunia sepakbola tiga sisi (3sf) semenjak awal diciptakan—atau paling tidak ketika olahraga ini mulai dimainkan di lapangan. 3sf awalnya diciptakan oleh Asger Jorn, seorang seniman dan filsuf Denmark, pada 1996 sebagai metode untuk menjelaskan teori pembaharuannya akan dialektika Marx (menghasilkan sesuatu yang Jorn sebut sebagai “triolectics”). Jorn adalah anggota dari Situationist International, sebuah organisasi longgar berisikan seniman avant-garde, Marxist, dan anarkis yang kecewa dengan rasionalisasi teknologi kehidupan sehari-hari di bawah kapitalisme, tapi juga respon dogmatik dari kaum intellegensia anti-kapitalis saat itu. Mereka mencari alternatif kreatif di semua aspek kehidupan, mencoba mendekonstruksi batasan pekerjaan, bersenang-senang dan lainnya. Biarpun teori pembaharuan Jorn tentang prinsip sentral Marxist tidak pernah benar-benar melejit populer, hasil kerjanya meninggalkan warisan yang bisa dirasakan seluruh dunia. “Jorn sama sekali tidak mampu menjelaskan [triolectics],” jelas Dyson. “Dia muncul dengan teori yang sangat aneh, dan tidak ada yang mampu menjelaskan teorinya. Jadi dia menggunakan metafora sepakbola tiga tim untuk menjelaskannya.” Sesuai dengan semangat anti-otorites yang melahirkan olahraga ini, tidak banyak peraturan dalam 3sf, dan mereka lebih dianggap sebagai panduan dan bukan hukum keras. Secara umum, olahraga ini melibatkan sebuah bola, tiga tim, dan lapangan berbentuk heksagonal—elemen lainnya bisa direvisi secara spontan. Tidak seperti sepakbola konvensional, sebuah tim tidak memenangkan pertandingan dengan cara mencetak gol terbanyak, tapi kemenangan diraih oleh tim yang kebobolan paling sedikit. Konsep ini dimaksudkan untuk menantang ideologi dasar sepakbola konvensional yang bersifat konfrontasional, agresif, dan deterministik: ada yang menang dan ada yang kalah, dan pemain harus beroperasi sesuai aturan yang kaku dan strategi yang jelas.<div data-iframely-id="3za7u8N" data-embedded-url="https://youtu.be/EzbnKQKszm4" class="article__embed article__embed--iframely"><div style="left: 0; width: 100%; height: 0; position: relative; padding-bottom: 56.2493%;" data-iframely-smart-iframe="true"><iframe data-img="" data-iframely-url="//oembed.vice.com/3za7u8N?playerjs=true" style="border: 0; top: 0; left: 0; width: 100%; height: 100%; position: absolute;" allowfullscreen data-iframely-smart-iframe="true" frameborder="0"></iframe></div></div> Dalam 3sf, banyak dari elemen ini dihilangkan. “Ketika mulai bermain, kami berpikir untuk mendatangi tim lawan dan berkata, ‘bikin aliansi yuk, dan berstrategi seperti itu,” jelas Dyson. “Tapi kenyataannya tidak pernah seperti itu. Ketika kamu bermain, kamu sama sekali tidak tahu apakah kamu akan berhadapan dengan tim A atau tim B. Kamu bisa saja bersikap rasional dan mengatakan, “Kalau mau menang, begini caranya,’ tapi kemudian dinamika pertandingan membawanya ke arah yang berbeda. Sesuai dengan prediksi Jorn, olahraga ini adalah bentuk spontanitas yang absolut.” Sayangnya, Jorn tidak pernah menyaksikan bentuk pertandingan ini dengan mata kepalanya sendiri. Menyusul kematiannya pada 1973, banyak yang mengira 3sf akan menghilang dalam obskuritas, sama seperti filosofi Jorn. Namun pada 1994, permainan ini kembali dihidupkan oleh segerombolan pelajar arsitektur terinspirasi oleh Situationist yang sedang berkumpul di Glasgow untuk sesi kelas musim dingin tahunan mereka. Dikenal sebagai Anarchist Winter School, grup tersebut membahas segalanya kecuali arsitektur dan berisikan anggota sayap kiri radikal dan komunitas seni avant-garde seperti Reclaim the Streets dan London Psychogeographical Association. Di sinilah Dyson pertama kalinya bertemu dengan Fabiat Tompsett, anggota dari Psychogeographical Association yang sedang menerjemahkan karya Jorn dari bahasa Denmark. Saat itu Dyson belum sadar, tapi pertemuan inilah yang akhirnya akan melahirkan pertemanan akrab yang memunculkan liga 3sf pertama di dunia. Menurut banyak atlit sepakbola tiga-tim, apabila Jorn adalah bapak olahraga ini, maka Tompsett adalah anaknya. Di Winter School 94, Tompsett-lah yang pertama kali menyarankan grup untuk menguji teori olahraga Jorn apabila itu benar-benar bernilai sesuai dengan asumsi Dane. Sesuai dengan instruksi Tompsett, grup membuka hoodie jumper mereka dan memberanikan diri melawan suhu Glasgow yang dingin, memainkan bentuk pertama sepakbola tiga-tim dalam sejarah. Biarpun hanya bertahan setengah jam, pertandingan tersebut bisa dibilang sukses dan gagal secara bersamaan. <div class="article__media"><picture class="article__image"><source media="(max-width: 25em)" srcset="https://vice-images.vice.com/images/content-images/2015/08/26/three-sided-football-285-body-image-1440587568.jpg?output-quality=75&resize=400:*, https://vice-images.vice.com/images/content-images/2015/08/26/three-sided-football-285-body-image-1440587568.jpg?output-quality=75&resize=600:* 2x"><source media="(max-width: 40.625em)" srcset="https://vice-images.vice.com/images/content-images/2015/08/26/three-sided-football-285-body-image-1440587568.jpg?output-quality=75&resize=650:*, https://vice-images.vice.com/images/content-images/2015/08/26/three-sided-football-285-body-image-1440587568.jpg?output-quality=75&resize=975:* 2x"><source media="(min-width: 40.625em)" srcset="https://vice-images.vice.com/images/content-images/2015/08/26/three-sided-football-285-body-image-1440587568.jpg?output-quality=75&resize=800:*"><img src="https://vice-images.vice.com/images/content-images/2015/08/26/three-sided-football-285-body-image-1440587568.jpg?output-quality=75" alt=""></picture>Anggota asosiasi astronot otonom memainkan 3sf pertama di konferensi intergalaktik 1997 (foto oleh Ewen Chardonnet)</div> “Kebanyakan dari kami sudah agak mabuk dan terlalu banyak merokok sebelum masuk ke lapangan,” ingat Dyson. “Saya ingat samar-samar lima hingga sepuluh menit pertama ketika 50 orang mengejar bola yang sama. Kami semua bukan atlit, jadi pasti kacau banget pertandingannya. Ini berjalan selama setengah jam, tapi karena udaranya dinging banget, kami tidak lama bertahan dan kabur ke pub.” Biarpun pertandingan pertama 3sf berlangsung kacau balau, olahraga ini tidak lantas mati. 3sf muncul secara spontan di lokasi-lokasi yang tidak terduga (di tengah hutan, misalnya), sebagian besar tersebar di kalangan pencinta buku-buku anarkis Eropa berkat usaha Tompsett mempromosikan olahraga ini. Ketika sedang menghadiri pertunjukan teman dekat dan kolaborator artistik Stewart Home pada 2011, Dyson bertemu Neil Transpontine, seorang seniman dan anggota dari Disconauts, grup seniman eksperimental yang sangat tertarik dengan konsep 3sf. Menurut Dyson, mereka berdua langsung cocok dan memutuskan untuk mencetuskan sebuah pertandingan 3sf memorial di Deptford, Southeast London. Deptford merupakan lokasi yang pas untuk beberapa alasan: tidak hanya area tersebut kabarnya memiliki konsentrasi jumlah seniman tertinggi per kilometer persegi di Eropa, tapi yang lebih penting lagi, tidak seperti taman-taman London lainnya, Taman Fordham adalah ruang komunal cuma-cuma yang tidak diawasi polisi. “Normalnya, kami harus membayar pihak polisi lokal untuk menggunakan lahan berumput karena polisi ingin memastikan tidak ada orang-orang mabuk yang masuk ke taman dan merusak rumput,” jelas Dyson “dan memang banyak orang mabuk di Fordham—seru deh. Mereka biasanya datang dan menonton, dan bahkan kadang-kadang masuk ke lapangan untuk membantu kami.” Tidak seperti banyak olahraga lainnya, partisipasi penonton mabuk justru tidak dianggap sebagai gangguan, tapi justru bagian integral dari pertandingan. Sesuai dengan kata Dyson: “Ini adalah permainan yang bebas dan terbuka. Biarpun ada tim yang bermain, siapapun yang muncul dan ingin ikut bermain selalu disambut di atas lapangan.” Sesuai dengan prinsip Dyson tentang elemen radikal dalam 3sf, permainan ini akan selalu bersifat filosofikal dan menjadi semacam kritik sosial. Ini sangat diamini oleh manajer Philosophy Football Club, Geoff Andrews yang memandang olahraga ini tidak hanya sebagai visi teori yang diwujudkan menjadi nyata, tapi juga perlawanan terhadap korupsi sepakbola konvensional yang penuh dengan investasi korporat dan kontrol ketat dari klub-klub besar. “Sudah saatnya 3sf muncul, mengingat situasi dunia sepakbola saat ini,” jelas Andrews. “Kami bermain di lapangan gratis, tidak perlu pengawasan dari negara atau lembaga komersil dan menjunjung semangat amatir dan nilai-nilai internasionalis.” Mengikuti eksistensi yang sudah signifikan di Eropa berkat usaha Tompsett dan teman-teman, olahraga ini juga mulai dimainkan di Australia, di mana pertandingan liga sering berlangsung di Melbourne. Ada juga tim-tim 3sf yang muncul di negara seperti Turki, Malaysia, dan Jepang, menekankan bahwa daya tarik olahraga tidak mengenal perbatasan negara dan kultur. Akibat perkembangan global 3sf yang cepat, piala dunia sepakbola tiga-tim pertama diadakan di Silkeborg, Denmark pada bulan Mei 2014. Apabila mata dunia tertuju akan Brasil sebagai favorit juara Piala Dunia FIFA, dalam 3sf, tim dari Turki, Lithuania, Inggris, Perancis, Polandia, Denmark dan Jerman akan beradu demi gelar tim 3sf terbaik di dunia. Mengikuti kesuksesan Piala Dunia 3sf, pemain sepakbola tiga-tim London berhasil meraih cukup perhatian untuk membentuk liga Luther Blissett berisikan enam tim yang bertemu di Taman Deptford setiap hari Minggu pertama setiap bulan untuk memainkan dua pertandingan sekaligus, mulai dari September hingga Juni. Sama seperti apapun yang berhubungan dengan olahraga, nama liga ini diambil dari pseudonim seorang atlit sepakbola Inggris yang sempat berjaya di 1980an. “Liga Luther Blissett masih didominasi oleh tipe surealis/situationist atau anarkis/Marxist, atau kombinasi keduanya,” jelas Dyson. “Kami dipengaruhi oleh...kehidupan jalanan, grafiti, poster, dan menggunakan kota sebagai galeri seni yang terus berjalan, mencoba melihat apa yang akan kami temukan. Kami berusaha bekerja sesedikit mungkin dan bermain sebanyak mungkin.”

vice

Sepakbola

Olahraga Paling Kisruh dan Anarkis di Dunia: ‘Sepakbola Tiga Tim’

fisuf denmark

marxisme

Yang terjadi setelahnya adalah salah satu pemandangan paling heroik yang pernah tersaji terpampang di layar kaca. Hyun-Il sebenarnya sadar apa yang terjadi tapi memutuskan terus melakoni tugasnya.

Satu-satunya orang yang panik adalah rekan sesama pembaca berita yang tampak bingung dan memandang ke luar frame, guna mencari tahu apakah produser punya solusi untuk rekannya yang mimisan.

Simak adegan bersejarah itu di tautan berikut:

오늘자 NBA 혈전 ㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋㅋ그 와중에도 프로다운 자세... #갓현일 pic.twitter.com/wFw6r3Zi8C— SPOTV (@Spotv_sports) December 6, 2018



SPOTV on Twitter

Tak ada respons apapun dari produser kendati tampaknya si doi tahu soal insiden mimisan tersebut.

Tampaknya semua pihak yang terlibat dalam acara ini berprinsip berita olahraga&#x2014;dan darah yang ngocor dari hidung Hyun-Il&#x2014;harus tetap lanjut. Goks!

FYI.

This story is over 5 years old.

Dedikasi Level Korsel: Pembawa Acara Olahraga Tak Berhenti Siaran Walau Mimisan

Olahraga Paling Kisruh dan Anarkis di Dunia: ‘Sepakbola Tiga Tim’