Hambatan Ruang Publik Senantiasa Coba Ditaklukkan Difabel di Indonesia
Sunarno dan anaknya saat mengakses kereta listrik komuter di Manggarai. Semua foto oleh penulis.

FYI.

This story is over 5 years old.

Menembus Batas

Hambatan Ruang Publik Senantiasa Coba Ditaklukkan Difabel di Indonesia

Berbagai fasilitas umum, dari jembatan penyeberangan, stasiun, hingga trotoar yang tak ramah bagi difabel di kota-kota besar. "Saya hanya ingin mandiri tanpa harus minta bantuan orang lain setiap kali naik ke atas gerbong,” kata satu difabel.

Di satu pagi yang sibuk di Stasiun Transit Manggarai, ribuan pengguna komuter tergopoh-gopoh berpindah dari satu gerbong kereta ke gerbong kereta lain. Setiap detik terasa begitu berharga dan pantang disia-siakan. Pemandangan lumrah tersebut mewarnai setiap pagi dan sore hampir setiap hari.

Di tengah kerumunan yang tergesa-gesa, Sunarno dan putrinya, Dini, tak bisa menyembunyikan wajah letihnya. Mereka berjalan dengan hati-hati saat menyeberang rel untuk menuju gerbong kereta jurusan Bogor. Sunarno kepayahan mencoba naik gerbong kereta menggunakan peron sementara yang terbuat dari plat besi. Dibantu anaknya, Sunarno akhirnya berhasil naik sebelum memilih tempat duduk di pojok gerbong.

Iklan

Sunarno adalah seorang tuna netra berprofesi sebagai juru pijat. Setiap hari dia pergi dari rumahnya di Cakung menuju Tebet demi mengantar putrinya bersekolah. Transportasi kereta rel listrik (KRL) telah menjadi andalannya selama bertahun-tahun. Ia telah mengalami buruknya pelayanan KRL beberapa tahun lalu sebelum perusahaan kereta api mereformasi total sistem perkeretaapian.

“Stasiun sekarang sudah lumayan,” ujar Sunarno yang berusia awal 50-an. “Sekarang sudah ada jalur khusus tunanetra. Tapi jarak antara peron dengan gerbong terlalu tinggi buat saya. Jadi kadang saya dibantu penumpang atau polisi KA.”

Beberapa jam sebelum bertemu Sunarno, saya berkeliling stasiun Lenteng Agung, yang terletak di sebelah jalanan sibuk yang menghubungkan Kota Depok dan Jakarta Selatan.

Desain tangga penyeberangan masih menghambat difabel di Tanah Air, terutama mereka yang hidup di kota-kota besar.

Untuk mengakses stasiun di Lenteng Agung para komuter harus menyeberang dari trotoar yang rusak melalui jembatan penyeberangan orang (JPO) yang sempit. Begitu memasuki pelataran, jalanan berbatu dan tidak rata terasa kontras dengan lantai semen dan beton di dalam stasiun. Kondisi tersebut pastinya akan menyulitkan difabel pengguna komuter.

Saya bertemu Ichsan, salah seorang staff kereta komuter yang baru bekerja satu tahun belakangan. Kepada Ichsan saya menceritakan berbagai temuan hari itu. Ia tak menampik bila pembenahan infrastruktur untuk mendukung difabel belum terjadi secara merata di tiap stasiun. Ichsan mengatakan bahwa peron sementara memang kurang ramah difabel, khususnya mereka yang menggunakan tongkat penyangga (kruk) atau kursi roda.

Iklan

Ichsan melanjutkan bahwa dari 80 stasiun KRL yang beroperasi hanya stasiun besar seperti Jakarta Kota dan Tanah Abang yang menyediakan ramp penyambung antara peron dengan gerbong untuk mereka yang menggunakan kursi roda.

“Kalau di dalam stasiun para polisi KA membantu para difabel, terkadang penumpang juga berinisiatif membantu. Namun memang kebanyakan fasilitas di stasiun belum terlalu memadai,” kata Ichsan.

Layanan Transjakarta termasuk yang cukup ramah difabel.

Persoalan infrastruktur dan ruang publik yang tidak ramah difabel memang telah menjadi masalah bertahun-tahun. Meski hampir semua stasiun telah dilengkapi berbagai kelengkapan ramah difabel seperti ramp kursi roda peron, penunjuk arah, dan jalur khusus tunanetra, kebanyakan akses menuju stasiun justru tidak terlalu mendukung.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016 menyatakan jumlah difabel di DKI Jakarta mencapai 6.003 jiwa, setara 0,0006 persen dari total penduduk Ibu Kota. Angka tersebut sekilas nampak sedikit, namun bukan berarti hak-hak dasar mereka bisa diserobot begitu saja.

Sebenarnya telah ada undang-undang yang mengatur hak-hak difabel untuk mengakses layanan publik. Hal tersebut masih jauh panggang dari api. Penelitian yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 2015 menunjukkan bahwa pesatnya pembangunan belum berpihak pada difabel. Dalam laporan Pemeringkatan Aksesibilitas Difabel (format pdf), dari 10 stasiun yang diteliti LBH Jakarta, semuanya masuk dalam kategori “tidak aksesibel” dengan indeks rata-rata 1.6 dari maksimal 4.

Iklan

“Hasil penelitian tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi,” ujar peneliti dari LBH Jakarta Pratiwi Febri kepada VICE Indonesia. “Namun belum semua rekomendasi tersebut diindahkan oleh pemerintah.”

Menurut Febri, kurangnya aksesibilitas adalah bentuk diskriminasi yang dilakukan negara. Para difabel kerap dilabeli sebagai yang “tidak normal” yang berujung pada pengabaian hak-hak mendasar mereka. “Kesulitan penyandang disabilitas tak cuma berhenti pada akses ke KRL,” kata Febri. “Akses ke terminal bus dan shelter bus juga tak kalah sulit. ”

Febri mengatakan difabel yang menggunakan kursi roda terutama paling merasa kesulitan karena fasilitas dari mulai gerbang elektronik (e-gate) hingga toilet tak mengakomodir mobilitas mereka.

“Teman-teman difabel tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan pembangunan,” imbuh Febri. “Karena untuk beberapa fasilitas tidak akan bisa dibangun tanpa mengajak penyandang disabilitas sebagai stakeholder.”

Stasiun komuter maupun kereta jarak jauh juga mulai ramah difabel

Dari Manggarai, saya menuju halte bus di depan gedung Balaikota Jakarta Pusat, saat saya melihat tiga orang pekerja tengah sibuk membangun toilet khusus difabel. Proyek tersebut adalah satu dari dua proyek halte ramah difabel yang ditargetkan selesai dalam tiga minggu. Satu lagi halte ramah difabel terletak di Monas. Agaknya ironis, dari lebih dari 220 halte bus di DKI Jakarta, hanya dua yang cukup aksesibel. Padahal sejak 2017, Pemprov DKI Jakarta telah menyediakan 300 bus ramah difabel secara bertahap.

Iklan

Guru Besar Ilmu Tata Kota dari Universitas Indonesia, Gunawan Tjahjono mengatakan pemerintah belum membangun kota yang memihak manusianya. Menurut Gunawan, apa yang ada terjadi di dalam kota saat ini adalah pertarungan kepentingan dan modal, sehingga pemerintah alpa untuk memanusiakan warganya.

“Tidak perlu mikir jauh-jauh, akses untuk difabel bisa mulai dulu dari trotoar,” ujar Gunawan kepada VICE. “Tapi kenyataannya tidak begitu. Kendaraan diberi ruang lebih dibandingkan pejalan kaki dan difabel.”

Jika trotoar sudah dibenahi, lanjut Gunawan, pemerintah harus membangun bermacam fasilitas pendukung seperti toilet dan petunjuk jalan. “Siklus pembangunan seperti itu,” tambah Gunawan.

Persoalan tata kota yang tak memihak difabel tampaknya telah menjadi hal ‘normal’ hingga orang-orang seperti Sunarno sudah merasa nrimo tanpa protes. Bagi orang seperti Sunarno dan mungkin para difabel lainnya, mengeluh tak pernah menyelesaikan masalah. Sunarno tetap menjalani hari-harinya seperti biasa kendati tantangan yang berbeda selalu menghadang begitu ia keluar dari pintu rumah.

“Saya tak pernah menuntut perbaikan,” tutur Sunarno di ujung perjumpaan kami. “Saya hanya ingin mandiri tanpa harus minta bantuan orang lain setiap kali naik ke atas gerbong.”


Seri artikel dan dokumenter #MenembusBatas adalah kolaborasi VICE X Rexona untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap hak-hak difabel di negara ini