FYI.

This story is over 5 years old.

fobia

Ilmuwan Menemukan Cara Baru Menyembuhkan Fobia

Bayangkan suatu saat kita bisa menyingkirkan rasa takut sama ular atau air, tanpa menyadari kalau kita sedang melakukan terapi penyembuhan fobia.
Foto ilustrasi ular yang bisa memicu fobia dari Getty Images.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

Saya berhenti mengikuti terapi fobia setelah enam minggu menjalaninya. Ini adalah terapi paling menakutkan yang membuat saya keringat dingin dan menangis histeris setiap kali menjalankannya. Saya tidak tahan lagi melanjutkan terapi dan memutuskan berhenti. Tidak ada yang bisa mengubah pikiran saya. Lucunya, terapi enam minggu ini sangat membantu saya, tidak seperti terapi lainnya yang pernah saya coba.

Iklan

Terapi dengan julukan eksposur sangat efektif untuk menyembuhkan kecemasan, fobia spesifik, dan PTSD. Terapi ini mewajibkan kita untuk berhadapan langsung dengan sesuatu yang kita takutkan, berulang kali sampai ketakutannya berkurang. Hal ini dapat terjadi secara bertahap, dengan tingkat eksposur yang berbeda dalam menghadapi fobia. Saat terapi, kita akan berhadapan langsung dengan hal yang paling membuat kita takut (teknik yang disebut “flooding”), atau melalui desensitisasi sistematis, saat eksposur digabungkan dengan terapi relaksasi.

Saya menjalani terapi dengan tingkat eksposur yang berbeda untuk mengatasi dua fobia spesifik yang berkaitan dengan OCD yang saya derita: keracunan makanan dan muntahan. Waktu awal-awal terapi, saya masih sanggup menjalaninya. Saya disuruh melihat beberapa gambar dan kata yang mengingatkan saya dengan fobia dan memicu pemikiran berlebihan yang saya alami setiap harinya. Misalnya seperti jus jeruk yang tumpah, tumpahan yang ada di jalanan, muntahan, dan emoji muntah. Kedengarannya biasa saja, tetapi ini sangat membuat saya takut. Setelah beberapa kali menjalani terapi, saya mulai bisa menghadapi hal-hal ini jauh lebih baik. Meskipun masih terbilang sulit, tapi tidak separah dulu.

Terapi eksposur dianggap cukup efektif, salah satunya dengan membiasakan diri. Tubuh kita tidak mungkin berada dalam keadaan takut berlebih selamanya, reaksinya terhadap fobia akan berkurang. Cara lain yaitu dengan berhadapan langsung dengan obyek yang kita takutkan. Apabila kita menyadari bahwa tidak akan terjadi apa-apa, maka kita bisa mengubah pandangan terhadapnya—khususnya jika kita takut akan sesuatu karena memiliki trauma. Seseorang dapat menghilangkan respons ketakutannya dengan menciptakan pikiran yang lebih positif.

Iklan

Meskipun begitu, terapi eksposur tetap tidak menyenangkan. “Keefektifan terapi ini ada batasannya,” Michelle Crankse, seorang psikolog dan peneliti dalam mengatasi kecemasan di UCLA, memberi tahu saya. “Terapi ini sulit dijalani untuk kebanyakan orang. Mereka harus benar-benar mengerahkan keberanian dalam menghadapi situasi ini.”

Namun, semuanya berubah saat tingkat eksposur terapinya jauh lebih ekstrem. Saya harus melihat muntahan asli, memutar kursi kencang-kencang sampai saya mual, memakan makanan yang jatuh ke lantai dan hampir kedaluwarsa, dan membaca di mobil–fobia saya tidak berkurang dan akhirnya saya menjalani terapi yang hanya perlu berbicara. Banyak orang yang berhenti menjalani terapi seperti saya. Untuk berbagai gangguan trauma dan kecemasan, persentasenya mencapai 52 persen, dan dilaporkan setinggi 70 persen.

Terapi ini sebenarnya efektif, tapi prosesnya sangat sulit. Tidak adakah cara yang lebih mudah bagi kita untuk menghilangkan fobia? Misalnya, tanpa menyadari kalau kita sedang menghadapi obyek yang membuat kita takut.

Konsep ini sedang dirancang oleh Hakwan Lau, ahli saraf kognitif di UCLA dan University of Hong Kong, dalam beberapa tahun belakangan ini. Dalam penelitian yang diterbitkan pada 2016 di Nature Human Behavior, dia dan beberapa peneliti lainnya menunjukkan bahwa setelah mereka membuat seseorang takut menghadapi sesuatu melalui tampilan visual, mereka bisa menguranginya dengan memberikan stimuli yang sama ditambah hadiah. Dalam penelitian terbaru di PNAS, Lau dan kolaboratornya melangkah lebih jauh: mereka ingin melihat apakah mereka bisa mengurangi fobia seseorang tanpa mereka sadari.

Iklan

Vincent Taschereau-Dumouchel, pemimpin penelitian terbaru tersebut, mengatakan bahwa mereka akan memberikan hadiah apabila seseorang memikirkan fobia mereka tanpa sadar. Bagaimana mereka mengetahui apa yang dipikirkan pasiennya? Setiap kali kamu melihat sesuatu, ada pola respons otak yang terbentuk, katanya. Pasien mereka akan menjalani fMRI dan alat akan memindai aktivitas otak yang menanggapi obyek yang mereka takutkan. Kemudian, mereka akan memberi semacam hadiah kepada pasien karena telah mengaktifkan pola khusus itu, atau pola yang mirip dengannya.

Jim Haxby, ahli saraf kognitif komputasional di Dartmouth, merupakan penggagas teknik pengenalan pola ini. Dia tidak terlibat dalam penelitian ini, dan dia mengatakan tidak memiliki fobia apa pun saat mengembangkan gagasan yang disebut hyperalignment ini. Dia ingin menemukan cara untuk melihat keseluruhan pola aktivitas otak dan hubungannya dengan pola lain, bukan hanya bagian otak yang aktif dan tidak saat pasien melihat obyek yang mereka takutkan.

Untuk melakukan hal ini, dia meminta orang-orang melihat foto berbeda-beda: wajah, hewan, gunting, sepatu; objek dan hewan yang umum. Dia menemukan bahwa pola aktivitas di korteks visual otak sangat berbeda, tergantung apa yang orang sedang lihat.

Namun pada setiap orang, pola-pola tersebut tidak selalu sama. Ini adalah fungsi hyperalignment: ini adalah cara membawa pola-pola tiap orang dan mengubahnya menjadi ruang bersama, atau model, yang dibagi oleh orang-orang. Jadi semacam template, kata Haxby, untuk respon spesifik terhadap sebuah objek, atau hewan, atau manusia, di otak.

Iklan

“Konsep-konsep utamanya adalah ruang bersama,” ujar Haxby. “Dengan melakukan hyperalignment, fitur-fitur yang terasosiasi dengan informasi visual kini sudah sejajar. Kamu punya template umum untuk responnya seperti apa. Setelah kami mengetahui cara mengubah cortial patch seorang individu ke dalam model umum ini, yang ada di banyak subjek, kita bisa bilang: kita melihat pola yang sama pada sepatu dibandingkan dengan kursi. Atau monyet saat dibandingkan dengan kadal.”

Dalam studi baru Taschereau-Dumouchel, mereka dapat menggunakan hyperalignment untuk menghasilkan prediksi tentang bagaimana otak seorang subjek terlihat ketika mereka melihat hal yang membuat mereka takut. Tetapi mereka masih menginginkan seluruh proses ini tetap “tidak sadar.” Jika mereka menunjukkan gambar fobia tentang ketakutan mereka lagi dan lagi, untuk mendapatkan informasi hyperalignment, itu tidak jauh lebih baik daripada eksposur. Jadi sebagai gantinya, mereka menunjukkan peserta yang sehat 3.600 gambar dari 30 hewan yang berbeda dan 10 benda mati. Karena orang-orang ini tidak memiliki fobia, mereka bertindak sebagai “pengganti” untuk aktivitas otak bagi orang-orang fobia.

Mereka menggunakan otak para pengganti untuk menghasilkan “decoder hyperalignment” yang menyediakan template untuk aktivitas otak karena ketakutan tertentu, seperti ular. Mereka bisa menyimpulkan otak orang-orang yang takut dengan ular akan terlihat seperti, jika mereka melihat ular itu.

Iklan

Percobaan tersebut dilanjutkan pada 17 orang yang memiliki tingkat ketakutan yang tinggi untuk setidaknya dua hewan dalam gambar yang ditunjukkan kepada pengganti. Untuk setiap peserta, salah satu hewan yang ditakuti dipilih secara acak untuk ditargetkan; yang lain bertindak sebagai kontrol—untuk melihat apakah yang mereka lakukan cukup spesifik untuk mengasah suatu ketakutan. Pertama, para peneliti mengukur respons ketakutan peserta dengan menunjukkan gambar hewan, serta gambar netral, dan mengukur respons konduktansi kulit mereka, perubahan fisik sesaat yang terjadi pada kulitmu saat stres, dan aktivitas di amygdala mereka, bagian otak yang terkait dengan rasa takut.

Peserta kemudian ditempatkan di pemindai fMRI dan melihat lingkaran, atau cakram di depannya. Mereka diminta membuat cakram lebih besar hanya dengan berpikir, tapi tidak diberi tahu apa yang harus dipikirkan untuk melakukannya. Semakin besar mereka bisa membuat cakram, semakin banyak uang yang akan mereka dapatkan setelah eksperimen selesai. Sementara pemindai fMRI sedang membaca otak mereka. Jika pola pikir mereka mendekati template untuk apa yang mereka takuti, seperti ular, cakram menjadi lebih besar. Jika pikiran mereka bergerak menjauh dari template untuk ular, itu menjadi lebih kecil.

Peserta melakukan ini selama lima hari, dan secara efektif belajar membuat cakram lebih besar. Tapi mereka tidak pernah sadar menyadari bahwa mereka seharusnya memikirkan ular, atau bahwa itu adalah tujuan percobaan. Mereka hanya mencoba mendapatkan hadiah. Mereka belajar mengaktifkan bagian-bagian otak yang biasanya diaktifkan saat mereka memikirkan ular, atau dekat dengan mereka, tapi tanpa bagian pemikiran-tentang-ular yang ditakuti.

Iklan

“Sebagian besar dari mereka tidak mengerti dengan baik apa yang kami minta,” ujar Taschereau-Dumouchel pada saya. “Kami menanyakan strategi apa yang mereka gunakan di bagian akhir dan sebagian besar melaporkan strategi yang sangat tidak berhubungan. Seperti berpikir tentang apa yang akan mereka makan untuk makan malam, memikirkan hal-hal yang terjadi di masa kecil mereka. Hampir semua strategi benar-benar tidak berhubungan dengan apa yang kami coba lakukan.”

Ketika mereka mengukur respon setiap orang terhadap ketakutan mereka setelah itu, mereka menemukan bahwa respon amigdala mereka telah menurun, dan begitu pula respon konduktansi kulit mereka—dan hanya untuk hewan yang mereka targetkan, bukan yang lain yang mereka takut tidak akan diberi hadiah.

Jadi bagaimana ini bekerja? Haxby mengatakan bahwa mendorong orang untuk menghasilkan pola “seperti ular”, ditambah dengan uang, dapat menghubungkan respon otak terhadap ular dengan hadiah. “Kemudian, ketika mereka benar-benar ditunjukkan gambar ular, korteks visual mereka mungkin menghasilkan pola aktivitas yang sama,” katanya. “Sekarang pola aktivitas di otak itu mengingatkan mereka akan hadiah, dan itu tidak menakutkan, itu bermanfaat.”

Taschereau-Dumouchel mengatakan bahwa asosiasi terhadap hadiah adalah salah satu kemungkinannya. Kemungkinan lainnya adalah dengan meminta orang lain membuat pola ini berulang-ulang. Ini berfunsgi sebagai bentuk terapi eksposur, namun tanpa pengalaman yang kurang mengenakkan. “Dengan cara ini, orang-orang seakan-akan belajar untuk mengaktifkan pola, membiasakan diri dengan pila tersebut dan akhirnya reactivitas mereka akan menurun,” jelasnya.

Iklan

Ini adalah perkembangan yang menggembirkan, tapi tetap saja banyak yang mesti di pelajari. Hasil yang diukur lewat cara ini hanyalah respon fisiologis terhadap ketakuan seseorang. Jadi, mereka cuma mengamati bagaimana tubuh seseorang makin kurang reaktif terhadap fobia yang dimilikinya tanpa bertanya: apakah ketakutan mereka berkurang? Inilah yang harus dieksplor lebih jauh di masa depan. Namun, menurut Craske, respon fisik pun punya makna yang tak bisa dianggap enteng. Kalau kamu takut akan sesuatu, badanmu juga akan merasakan ketakutan yang sama: jantungmu akan berdetak cepat, telapak tanganmu basah karena keringat lalu kepalamu jadi pening. Meskipun, fobia kognitif masih bersisa, akan lebih mudah membayangkan betapa mudahnya menghadapi ketakutan kita bila tubuh kita tetap tenang selama prosesnya.

“Cara otak bekerja, tubuh kita bereaksi, dan bagaimana kita bertindak saling berhubungan,” ujar Carmen McLean, psikolog klinis di Center for the Treatment and Study of Anxiety di Perelman School of Medicine, University of Pennsylvania, yang tak terlibat dalam penelitian ini. “Penelitian ini hanya menyigi permasalah yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Misalnya, terapi kognitif akan memicu perubahan tingkah lalu. Sebaliknya, terapi tingkah laku menghasilkan perubahan kognitif.”

Tetap saja, penelitian ini lebih berfungsi sebagai pembuktian sebuah konsep. Langkah berikutnya adalah menerapkannya dalam sebuah percobaan klinis. Penulis makalah ini, bekerja sama dengan Craske, saat ini masih menunggu pendanaan untuk mengerjakan penelitian lanjutan. Karena sifat riset ini meneliti objek yang sifatnya di bawah alam sadar, mereka berharap bisa menggelar double-blind trial, yang kadang sulit didesain dalam penelitian terapi psikologis.

Iklan

Saya bertanya pada Taschereau-Dumouchel tentang ketakutan yang sifatnya lebih abstrak seperti yang saya miliki. Ketakutan saya bakal muntah mungkin sangat gampang divisualisasikan. Tapi, bagaimana dengan ketakutan akan pencemaran oleh bakteri? Keracunan makanan? Dua fobia ini lebih sudah dibayangkan secara visual. Masalahnya kemudian, apakah ketakutan-ketakutan macam ini bisa ditangani juga? Dia menjawab mereka sampai saat ini belum belum punya jawaban. Namun, mereka tengah merancang eksperimen yang menyasar OCD ssat ini, bersama beberapa kolaborator di Johns Hopkins. Mereka akan menunjukkan representasi visual dari toilet yang bersih atau kotor, atau yangan yang bersih atau sebaliknya, untuk mengetes gambar-gambar itu punya efek yang sama.

Detail-detail inilah yang Craske and Taschereau-Dumouchel harapkan bisa dicapai dalam percobaan klinis. Mereka ingin tahu apakah terapi teknik pengenalan pola ini bisa dijalani sendiri, atau apakah ini terapi yang mesti dilakukan sebelum terapi eksposur, atau apakah teknik ini mesti dilakukan seiring dengan pelaksaan terapi eksposur lewat virtual reality—alternatif terapi eksposur yang sedang ngetren belakangan. “Pertanyaannya adalah bagaimana cara kita mengurutkan prosesnya, apakah terapi eksposur bisa dilakukan tanpa proses lainnya, atau apakah terapi butuh komponen tambahan lainnya?” ujar Craske. “Saat ini, terlalu dini untuk mengambil kesimpulan. Tapi, ini perkembangan yang bagus. Mari kita fokus di sini dulu dan kita lihat hasilnya.”

Kendati demikian, McClean mewanti-wanti bahwa “ongkos untuk melakukan prosedur initersebut kelewat tinggi,” katanya. “Terapi ini tak akan bisa mencapai lebih banyak pasien.” McClean memang benar. Ini bukan jenis terapi yang bisa saya dapatkan dari dokter saya, sebesar apapun keinginan saya melakukannya. Saya toh harus merekrut orang untuk menjadi brain activator dan punya akses untuk menggunakan fMRI scan selama beberapa hari.

Craske mengakui hal ini dan berkata “terapi ini hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang tak bisa melakukan terapi eksposurs secara langsung di dunia nyata. Terapi ini bakal bekal digunakan bagi orang-orang yang kelewat tertutup pada pandangan bahwa ini adalah cara satu-satunya yang bisa mereka jalani.”

Meski demikian, memahami mekanisme syaraf memahami rasa takut dan respon kita terhadap paparan akan rasa takut bisa menolong kita di masa depan, meski bagaimana pastinya belum bisa kita ketahui saat inu. Haxby bisa menegaskannya saat ini; dia tak pernah membayangkan bahwa metode visualisasi otaknya bisa digunakan untuk menangani fobia secara tak sadar.

“Ini mirip seperti sebuah fiksi sains,” katanya sambil terkekeh. “Ini luar biasa. Aku baru saja ngobrol dengan kawan-kawan di lab dan bilang “kalau saja ada dari kalian yang mengusulkan ide tehnik penguatan neural secara tak sadar ini, saya pasti bilang kalian gila. Usulan kalian tak akan berhasul. Tapi begitulah caranya sains bekerja. Banyak dasar-dasar sains yang kelihatannya tak begitu berguna, sampai ada yang bilang “Gue tahu cara menggunakannya.’”