Kriminalitas

Satu Per Satu Kesaksian Santri Menguak Skandal Seks Pesantren di Aceh

Pelaku memakai doktrin agama untuk membuat korban menuruti kemauannya. Diduga 15 santri diduga jadi korban dalam skandal di Lhokseumawe ini, tapi baru enam bersedia bersaksi di hadapan penyidik.
Satu Per Satu Kesaksian Santri Menguak Skandal Seks Pesantren di Aceh
Siswa pesantren di Banda Aceh sedang beribadah. Foto oleh Damir Sagolj/Reuters

Seminggu menjelang tahun ajaran baru 2019/2020, orang tua santri di Pesantren Annahla, Lhokseumawe, Aceh, harus mencari tempat baru untuk anaknya menempuh pendidikan. Sebab Annahla ditutup untuk sementara (dan mungkin selamanya) karena pemimpin serta seorang guru di sana dicokok polisi. AI (45), pemimpin pesantren, dan MY (26), guru ngaji, resmi menjadi tersangka pelecehan seksual terhadap 15 santri laki-laki di pondok pesantren tersebut. Keduanya dibekuk polisi pada 8 Juli lalu.

Iklan

Kapolres Lhokseumawe AKBP Ari Lasta Irawan mengatakan, laporan diterima pihaknya sejak minggu lalu dari orang tua para korban. Dari laporan tersebut, terungkap modus AI dan MY adalah memanggil satu per satu korban untuk membersihkan ruangan. Saat sendirian bersama korban, pelaku lalu meminta korban melakoni seks oral.

"Saat akan menjalankan aksinya, tersangka tidak melakukan pengancaman, tapi memberikan doktrin-doktrin agama sehingga para santri merasa takut apabila menolak keinginan para tersangka," ujar Ari dikutip Detik.

Pelaku dijerat Qanun Aceh Pasal 47 Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, dengan ancaman hukuman 90 kali cambuk di depan umum, atau denda paling banyak 900 gram emas murni atau penjara 90 bulan.

Kasat Reskrim Polres Lhokseumawe AKP Indra T. Herlambang mengatakan fokus mereka kini beralih untuk penanganan trauma terhadap anak-anak korban pencabulan. Pasalnya, hasil visum pemeriksaan psikologi terhadap korban menyatakan korban mengalami trauma atas kejadian tersebut.

Trauma healing terus dilakukan secara berlanjut oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Lhokseumawe," kata Indra kepada Detik. Indra juga mengatakan masih ada kemungkinan bertambahnya korban mengingat mungkin saja ada korban yang merasa malu sehingga tidak mudah langsung berbicara dengan penyidik. Sejauh ini, dari 15 korban pelecehan, baru enam korban yang bersedia diperiksa.

Iklan

Sebagai imbas kejadian ini, Pemerintah Kota Lhokseumawe menghentikan kegiatan operasional pesantren. Penyidik juga membekukan rekening pesantren agar aset tersebut tidak disalahgunakan selama kasus diselidiki. Banyak di antara santri yang baru mendaftar memutuskan tidak jadi melanjutkan pendidikan di sana, sehingga Pemkot berusaha mengembalikan uang mereka.

Kepala Bagian Humas Pemkot Lhokseumawe Muslim meyakinkan orang tua santri bahwa pemerintah akan menjamin calon santri tak terkendala melakukan belajar-mengajar terlalu lama.

"Ini kan memasuki tahun ajaran baru, tentu dengan ditutupnya sementara Annahla, berdampak kepada para santri. Tentu kita tidak mau kalau dengan masalah ini, membuat santri harus menganggur, tidak belajar. Jadi kami sedang mencari solusi agar santri lama bisa tetap sekolah dan santri baru bisa diterima di sejumlah sekolah lain," ujar Muslim, dilansir Kumparan.

Kasus ini langsung direspons warga sekitar pesantren dengan pengusiran. Warga Kompleks Panggol Indah, Lhokseumawe segera menolak pesantren Annahla tetap beroperasi di wilayah mereka. Warga meminta pemilik rumah yang disewa tidak lagi meminjamkan lahan pada yayasan pesantren.

Para warga yang juga sebagian besar adalah orang tua santri berbondong-bondong datang meminta kejelasan pendidikan anaknya. Beberapa dari mereka langsung mengeluarkan anaknya dari pesantren, sembari bergegas mengambil perlengkapan mereka di asrama. Di lokasi juga sudah hadir juga petugas keamanan dan Satpol PP untuk berjaga-jaga agar tidak muncul kericuhan.

Iklan

Tonton juga dokumenter VICE menguak massifnya skandal pelecehan seksual di kampus-kampus Indonesia:


Kasus ini menjadi pukulan bagi Dinas Syariat Islam dan Pendidikan Dayah (DSIPD) Kota Lhokseumawe. Sebagai institusi yang bertanggung jawab atas kegiatan pesantren, mereka memutuskan akan memperketat izin pendirian pesantren karena kasus ini.

Sekretaris DSIPD Teungku Ramli mengakui ada kelengahan institusinya kali ini. Mereka berjanji akan semakin hati-hati dalam mengeluarkan izin pendirian pesantren. Perlu diketahui, DSIPD bertugas mengevaluasi profil pendiri pesantren, lokasi, izin yayasan dari Kemenkumham, sampai akta notaris, sebelum akhirnya memberikan izin pendirian.

"Ke depan kita akan buat juga program pemantapan pada pimpinan dan guru pesantren. Semoga ini cukup sekali peristiwa itu terjadi di Lhokseumawe, ke depan kita harap tidak ada lagi," ujar Ramli kepada Kompas. Ramli dan tim juga berjanji akan melakukan evaluasi rutin untuk menemukan cara mendeteksi dini penyimpangan di pesantren.