Opini

Melawan Lupa: Membaca Pesan HAM dalam film 'NKCTHI'

Sikap tokoh ayah dalam film arahan Angga Dwimas Sasongko ini mengingatkan aktivis pada sikap pemerintah yang terus berusaha mengubur kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Melawan Lupa: Membaca Pesan HAM dalam film 'NKCTHI'
Film  Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKTCHi) mencerita kisah tiga bersaudara (dari kiri ke kanan) Awan (diperankan Rachel Amanda), Angkasa (Rio Dewanto), dan Aurora (Sheila Dara Aisha). Arsip Visinema Pictures

Sebuah karya film selalu bisa digunakan untuk membawa pesan universal, salah satunya pesan-pesan kemanusiaan. Film Indonesia teranyar yang membawa pesan kemanusiaan dengan cukup kuat adalah film panjang Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)] karya sutradara Angga Dwimas Sasongko.

Rilis pada bulan Desember 2019, film NKTCHI merupakan film drama dengan bumbu kisah percintaan anak muda yang pelik. Tapi bagi aktivis seperti saya, NKTCHI lebih dari itu. Film yang sudah ditonton lebih dari dua juta penonton ini bisa menjadi gerbang masuk yang baik untuk membahas masalah-masalah mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang terlupakan.

Iklan

Diangkat dari buku populer karya Marchella FP, NKTCHI berkisah tentang satu keluarga yang tampak bahagia tapi sebenarnya menyimpan masa lalu kelam.

Masa lalu yang berusaha ditutupi-tutupi sang Ayah (diperankan oleh Oka Antara lalu Donny Damara) dan Ibu (diperankan Niken Anjani lalu Susan Bachtiar) lama-lama menggerogoti kebahagiaan keluarga. Anak-anak yang menjadi korbannya. Si sulung, Angkasa (Rio Dewanto) menjadi trauma karena harus menyembunyikan rahasia tersebut dari kedua adik perempuannya, Aurora (Sheila Dara Aisha) dan Awan (Rachel Amanda).

Sikap teguh tokoh Ayah dalam menutupi fakta yang terjadi di masa lalu, mengingatkan saya pada sikap pemerintah yang berusaha mengubur kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini.

Sebut saja tragedi 1965-1966, belum terlalu jelas konteks sejarah apa yang sebenarnya terjadi di balik pembunuhan berskala besar terhadap orang-orang komunis setelah enam orang perwira tinggi militer angkatan darat diculik dan dibunuh oleh mereka yang disebut sebagai Gerakan 30 September.

Meski berjanji untuk mengungkapkan tragedi ini saat kampanye pemilihan presiden 2014, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menempuh sikap-sikap yang membingungkan bahkan menyatakan tidak ada pikiran untuk meminta maaf atas masa lalu. Lalu ada tragedi Tanjung Priok 1984 di Jakarta Utara dan tragedi Talangsari 1989 di Lampung.

Pada tahun 1998, ribuan orang menjadi korban kerusuhan, termasuk kaum perempuan etnik Cina yang menjadi korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya. Dalam peristiwa itu empat orang telah hilang tanpa diketahui bagaimana nasibnya kini, menyusul sekitar sembilan belas aktivis yang diculik sebelumnya.

Iklan

Sementara itu, puluhan tahun pelanggaran HAM di ujung timur dan barat Indonesia juga belum terungkap dan terus membawa korban dan masalah baru. Penelitian terbaru Amnesty International Indonesia, organisasi tempat saya bekerja, mencatat 69 kasus pembunuhan tidak sah yang terjadi sejak 2008-2018 di Papua. Sementara di Aceh, proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi tersendat karena belum meraih dukungan penuh dari pemerintah pusat untuk menggelar kesaksian-kesaksian korban pelanggaran HAM masa lalu.

Sikap pemerintah terhadap tragedi kelam masa lalu itu, sayangnya, cenderung terus merahasiakannya dengan dalih demi stabilitas politik dan masa depan yang bebas dari kegaduhan. Ini seperti sikap sang ayah di film NKCTHI yang merahasiakan masa lalu demi stabilitas dan masa depan kebahagiaan keluarga sehingga bebas dari kesedihan.

Dalam kisah NKCTHI, sikap ayah terhadap masa lalu merangkai fiksi tentang sebuah masa depan yang menggelisahkan Angkasa dan sebuah kebahagiaan yang semu bagi sebuah keluarga. Sedangkan dalam kisah korban pelanggaran HAM, sikap pemerintah terhadap terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi fakta tentang hidup yang mereka jalani baik sebagai keluarga maupun sebagai sebuah bangsa.

Entah sengaja atau tidak, Angga yang sebelumnya juga sempat membuat film yang menyinggung tragedi 1965, Surat dari Praha, pada tahun 2016, memilih tahun 1998 sebagai momen masa lalu kelam keluarga Angkasa yang berusaha terus dikubur.

Iklan

Saya merasa karakter Angkasa adalah simbol dari perjuangan reformasi, perjuangan yang bukan bermaksud untuk mengangkat trauma luka lama, namun untuk menghadapi masa lalu dengan tangan terbuka untuk belajar darinya dan menyongsong masa depan yang lebih baik. Salah satu kutipan dari Angkasa yang sangat kuat merepresentasikan hal itu adalah ketika dia menghardik ayahnya dengan kalimat:

“Karena katanya kita enggak perlu punya trauma. Kita enggak perlu ngerasa kehilangan. Yang penting kita bahagia. Gimana caranya bahagia, kalau sedih aja kita enggak tahu rasanya kayak apa?”

Di momen itu, saya membayangkan Angkasa menjelma sebagai anak keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu yang dengan keberanian dan setengah geram berkata kepada pemerintah.

Meski era keterbukaan telah dimulai sejak 21 Mei 1998, sayangnya hingga hari ini tragedi kemanusiaan di masa itu terus menjadi luka lama bangsa yang digelapkan. Para keluarga yang kehilangan anak atau suami seperti tak tahu lagi harus bagaimana. Upaya mendatangi instansi-instansi negara guna mencari tahu apa yang terjadi dengan anggota keluarga tercinta mereka atau menuntut keadilan, termasuk dengan menggelar Aksi Kamisan setiap pekan selama 13 tahun terus berhadapan dengan sikap-sikap yang menutup rapat apa yang terjadi di masa lalu.

“Jangan membuka luka masa lalu, mari menatap masa depan!”, begitu ungkapan yang sering terdengar dari para politisi bangsa ini.

Iklan

Atau seperti yang baru-baru ini dikatakan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin bahwa tragedi penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan II bukanlah sebuah pelanggaran HAM berat.

Apakah adil menganggap jatuhnya nyawa manusia dalam tiga tragedi yang mengakibatkan puluhan orang tewas dan ratusan orang terluka dan hilang itu hanya sebagai peristiwa kriminal biasa, tak perlu diungkapkan dan harus dilupakan?

Hal yang bisa diambil dari NKCTHI adalah bahwa membicarakan mengenai trauma masa lalu (baik trauma dalam keluarga maupun dalam sejarah sebuah bangsa) memang dapat menimbulkan luka masa lalu ke permukaan. Namun, sampai kapan pun jika tidak dibicarakan, masalah lain akan terus timbul.

Jika sebuah negara seperti Indonesia terus menghindar untuk menuntaskan kasus-kasus HAM masa lalu, maka bangsa ini tidak akan pernah bisa belajar dari kesalahannya di masa lalu. Isabelle Arradon dari Amnesty International pernah mengingatkan bahwa rasa tidak adil yang dirasakan para korban kasus pelanggaran HAM masa lalu bisa saja menumbuhkan kebencian yang bisa menabur benih-benih kekerasan di masa depan.

Kekerasan akan terus berulang termasuk terhadap ekspresi-ekspresi yang damai dari gerakan mahasiswa pada peristiwa 24-30 September 2019, yang menurut Komisi Nasional (Komnas) HAM telah menelan korban setidaknya lima orang tewas dan 15 jurnalis mengalami kekerasan.

Kita perlu belajar dari Argentina yang telah berusaha menelusuri sejarah luka masa lalu. Argentina menuntut pelaku kejahatan HAM secara hukum dan mencegah orang-orang yang terlibat pelanggaran HAM masa lalu untuk duduk di kursi-kursi pemerintahan.

Mengungkap kebenaran atas kejahatan HAM masa lalu itu penting karena, mengutip kata mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan, hal tersebut akan “menumbuhkan tingkat kepercayaan masyarakat yang kuat…untuk pembangunan ekonomi dan pemerintahan yang demokratis”.

The Conversation

Usman Hamid adalah dosen di Indonesia Jentera School of Law sekaligus Direktur Amnesty International Indonesia

Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.