Olimpiade Musim Dingin

Aktivis HAM Global Desak Komite Olimpiade Bantu Tutup Kamp Penyiksaan Uighur di Cina

Kelompok "No Rights. No Games" manfaatkan Olimpiade Musim Dingin 2022 untuk mendesak pemerintah Tiongkok mengakhiri penindasan terhadap etnis Muslim Uighur.
Simbol Olimpiade dengan kawat berduri
Simbol Olimpiade dengan kawat berduri oleh VICE News

Irade Kashgary terakhir kali mendengar kabar nenek pada 2015. Sang nenek menceritakan entah mengapa dia menjadi tahanan rumah di Xinjiang, wilayah otonom Uighur yang dikuasai Cina. Sejak itu, Irade juga kehilangan kontak dengan bibi, paman dan sepupu yang menetap di sana.

Keluarga Kashgary merupakan keturunan Muslim Uighur di Xinjiang, meskipun Irade dan keluarga dekatnya sudah lama tinggal di AS. Sejak 2014, sebagian populasi Muslim Uighur dimasukkan secara paksa ke kamp pengasingan. Pemerintah Cina memantau dan memata-matai ketat keseharian mereka. Seperti nenek Irade, banyak warga Uighur— termasuk keluarga dengan anak—dijadikan tahanan rumah.

Iklan

Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sejumlah organisasi HAM internasional mengutuk perlakuan Cina terhadap minoritas Uighur, tetapi negara ini tampaknya belum ada niatan menghentikan kekejaman mereka. Dibantu sejumlah aktivis, Irade membentuk No Rights. No Games. Mereka mendesak Cina menutup kamp Uighur sebelum Beijing menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 2022.

“Olimpiade mempersatukan kita dengan cara yang seharusnya tidak dipolitisasi,” kata koordinator utama kampanye Peter Irwin. “Jadi tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dijunjung Olimpiade jika pertandingannya diadakan di negara dengan kamp konsentrasi.”

Sejauh ini, No Rights. No Games. tak ada maksud memboikot ajang olahraga internasional tersebut. Mereka hanya ingin pemerintah Cina memenuhi dua tuntutannya. Pertama, kamp pengasingan harus segera ditutup. Kedua, hak asasi suku Uighur di luar kamp wajib diakui. Jika semuanya terpenuhi, Beijing dipersilakan menggelar Olimpiade Musim Dingin seperti yang sudah direncanakan. Namun, grup ini tak segan mengajukan pemindahan lokasi—ke negara mana saja yang tidak menahan minoritas agama dan etnis—kepada Komite Olimpiade Internasional (IOC) jika tuntutan mereka diabaikan.

“Kami ingin Olimpiade tetap berlangsung dengan baik,” kata Irwin. “Tapi bagaimana perlombaannya bisa sukses jika diadakan di negara yang memiliki kamp konsentrasi dan mendiskriminasi populasi tertentu?”

“Kami harap IOC meminta pertanggungjawaban Cina,” imbuh Irade.

Iklan

Bukti menunjukkan pemerintah Cina melakukan penahanan massal dan mempersekusi Muslim Uighur, tetapi mereka sempat menyangkal keberadaan kamp tersebut. Mereka kemudian mengakuinya sebagai “kamp pendidikan khusus”. Pejabat negara bersikeras bangsa Uighur mendapatkan “hak dan kebebasan setara”.

Versi terbaru Piagam Olimpiade menekankan kepedulian yang kuat terhadap hak asasi manusia. “Olympism bertujuan mempromosikan kedamaian, persatuan dan keharmonisan melalui olahraga,” bunyi salah satu prinsip dasar Olympism.

IOC juga mewajibkan tuan rumah menandatangani kesepakatan memenuhi “standar dan prinsip HAM internasional”. (Hukum internasional melarang penahanan sewenang-wenang tanpa pengadilan.)

“Sudah jadi tanggung jawab kami memastikan prinsip-prinsip Piagam Olimpiade dipenuhi,” IOC menyatakan kepada VICE. “Namun, IOC tak punya mandat dan wewenang mengubah undang-undang atau sistem politik negara berdaulat.”

Pada konferensi pers awal Desember, Presiden IOC Thomas Bach ditanya apakah Olimpiade akan tetap dilangsungkan melihat perlakuan Cina terhadap Muslim Uighur. “Komite penyelenggara sedang mendiskusikannya. Kami serius menjalani tanggung jawab ini,” ujar Bach. “Tapi kami memiliki keterbatasan yang perlu dihormati. Tanggung jawab kami sebatas yang berhubungan dengan pertandingan Olimpiade.”

Sementara itu, situasi di Xinjiang semakin memburuk. New York Times melaporkan satu juta umat Muslim Uighur diperkirakan masih mendekam di kamp pengasingan. Nasib bangsa Uighur di luar kamp pun tidak lebih baik. Masjid-masjid ditutup, dan anggota masyarakat semakin berkurang. Tak sedikit pula yang menjadi tahanan rumah di bawah pengawasan ketat atau pekerja paksa.

Awal Desember kemarin, pemerintah Cina kembali menegaskan kamp yang didirikan adalah pusat pendidikan dan membantah melakukan kekejaman setelah disetujuinya RUU AS yang mendesak “dihentikannya penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan pelecehan terhadap komunitas [Uighur] baik di dalam maupun luar Cina”. Pada Senin, gubernur Xinjiang Shohrat Zakir mengklaim seluruh warga Uighur di dalam kamp masuk secara sukarela. Pakar dan organisasi HAM seperti Human Rights Watch dengan keras membantah perkataannya.

“Keluarga saya buktinya kehidupan di Xinjiang sedang tidak baik-baik saja,” tutur Irade. “Kalau situasi di sana normal, saya seharusnya masih bisa menghubungi nenek, bibi, paman dan sepupu. Kami seharusnya bisa ngobrol secara terbuka di zaman serba canggih ini.”

“Saya seharusnya bisa mengunjungi mereka tanpa takut ditangkap,” lanjutnya.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.