Intoleransi

Yel 'Islam Yes, Kafir No' Terlanjur Diajarkan di Banyak Sekolah Sejak Puluhan Tahun lalu

Yel-yel yang disertai dengan tepuk tangan ini baru saja mengagetkan wali murid sebuah SD di Yogya, karena pembina Pramuka mengajarkannya kepada anak-anak. KPAI menyayangkannya.
KPAI Sayangkan Yel 'Islam Yes, Kafir No' Pramuka Yogyakarta Diajarkan di Sekolah Sejak Puluhan Tahun lalu
Ilustrasi pelajar Indonesia mengenakan seragam pramuka. Foto oleh Aman Rochman/AFP

K, seorang wali murid di SD Negeri Timuran, Kota Yogyakarta, kaget saat mengetahui salah satu bahan ajar kegiatan pramuka yang didapat anaknya penuh tendensi diskriminasi. Pada acara Pramuka yang diadakan Kwartir Cabang Kota Yogyakarta, Jumat lalu (10/1) di SD Negeri Timuran, seorang pembina Pramuka mengajarkan yel-yel intoleransi berbunyi: “Islam, Islam, yes! Kafir, kafir, no!” kepada anak-anak peserta Pramuka.

Iklan

K yang sebal anaknya kena doktrin intoleran, langsung melabrak si pembina saat itu juga. Kejadian ini lantas ia curahkan di status WhatsApp pribadinya dan jadi perbincangan banyak orang.

"Awalnya semua bernyanyi normal aja. Lalu, tiba-tiba ada salah satu pembina putri masuk dan ngajak anak-anak tepuk Islam. Saya kaget karena di akhir tepuk kok ada yel-yel ‘Islam, Islam, yes! Kafir, kafir, no!’. Spontan saya protes dengan salah satu pembina senior, saya menyampaikan keberatan dengan adanya tepuk itu, karena menurut saya itu mencemari kebinekaan Pramuka," K menceritakan kronologi kejadian kepada Tirto.

Habis dilabrak, pembina senior meminta maaf dan mengaku sudah menyelesaikan masalah dengan pihak sekolah. Kata K sendiri, pihak sekolah enggak tahu kalau ada praktik yel-yel ini. Hal ini dikonfirmasi Kepala Sekolah SD Negeri Timuran Esti Kartini, ia mengaku baru tahu kejadian pas udah didatangi wartawan.

"Saya justru baru tahu ketika wartawan ke sini. SD Negeri Timuran hanya ketempatan yang acara kwarcab. Dari sekolah masih akan konfirmasi," ujar Esti kepada Kumparan.

Wakil Wali Kota Yogyakarta yang juga Ketua Kwarcab Pramuka Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi menjelaskan kegiatan pramuka tersebut masih dalam rangka Kursus Mahir Lanjutan (KML) yang tidak hanya diadakan di Jogja, tapi juga beberapa daerah lain. Ketika ditanya soal insiden ini, Heroe mengaku yel-yel itu dibuat spontan oleh pembina Pramuka dari Gunungkidul dan bukan materi dari panitia.

Iklan

"Sebenarnya di microteaching tidak ada diajarkan tepuk pramuka yang seperti itu, enggak ada. Nah, tiba-tiba peserta ini menyampaikan tepuk seperti itu," kata Heroe. Ia mengaku pembina sudah ditegur saat itu juga dan penyelenggara acara sudah meminta maaf kepada peserta pramuka karena telah membuat peserta tidak nyaman.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merespons berita dengan gaya yang KPAI banget: Menyesali semua yang telah terjadi tanpa ada solusi berarti.

"Nilai-nilai Pramuka itu sangat baik untuk pembentukan karakter anak. Maka, internalisasi kepramukaan tidak boleh bertentangan dengan Dasa Dharma Pramuka," tutur Ketua KPAI Susanto kepada Detik. "Dalam Dasa Dharma Pramuka, sangat menjunjung tinggi takwa kepada Tuhan yang Maha Esa, apa pun agamanya. Intinya mesti hati-hati, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dari peserta didik yang beragama berbeda."

Yel-yel anti-kafir ini ternyata tidak hanya terjadi dalam lingkungan pramuka. Di Bantul, praktik intoleransi sejak dini telah terjadi sejak lampau di beberapa tempat mengaji. Untuk memastikan ini, VICE menghubungi Okta, pria 26 tahun sekaligus warga Bantul yang kini kerap membantu mengajar beberapa taman pendidikan Al-Quran di Bantul.

"Pas masa-masa aku mau lulus SD, yel-yel TPA-ku udah ketambahan kalimat ‘Kafir, kafir, no’ setelah ‘Islam, Islam, yes’. Aku enggak tahu siapa yang nambahin itu. Sering kok (santri) diajak tepuk begitu pas acara temu santri sekabupaten, misalnya. Anak TPA se-Bantul aku yakin tahulah tepuk ini. Udah turun-temurun kok," aku Okta.

Okta menambahkan, para orang tua peserta TPA dan santri tahu akan yel-yel ini karena mereka kerap hadir pada kegiatan temu santri. Sampai saat ini, Okta juga belum mendengar ada orang tua yang protes akan yel-yel ini selayaknya yang terjadi pada orang tua peserta Pramuka di SD Negeri Timuran.

Setara Institute, LSM yang fokus pada isu demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia, pernah merilis laporan tentang kota-kota paling intoleran di Indonesia selama 5 tahun terakhir. Dalam laporan, Yogyakarta memang masuk dalam 10 besar dan nangkring di posisi 6.

"DIY menempati posisi enam dengan jumlah kasus 37. Dari fakta-fakta itu menjelaskan bahwa kasus intoleransi di Yogyakarta itu memang nyata," simpul Direktur Riset Setara Institute Halili kepada Tirto.