Salah Jurusan

Aku Sarjana Hubungan Internasional yang Tak Lagi Galau MUN dan Ngotot Kerja di Kemlu

Lewat kolom terbaru VICE 'Salah Jurusan', kami meminta alumnus berbagai prodi berbagi kebimbangan saat kuliah dan realitas dunia kerja, bagi mereka yang menekuni bidang studi serupa.
Peluang Kerja bagi sarjana hubungan internasional di Indonesia
Delegasi Indonesia di PBB, dipimpin Menlu Retno Marsudi saat terpilih jadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan. Foto oleh Don Emmert/AFP

Lewat kolom baru “Salah Jurusan”, VICE Indonesia meminta alumnus berbagai perguruan tinggi yang sempat tidak sreg dengan kuliahnya membedah keunikan serta stereotipe jurusan masing-masing. Mereka berbagi kebimbangan selama kuliah, realitas dunia kerja, serta bermacam renungan lain, kepada pembaca yang barangkali sedang merasa salah memilih jurusan.

Kolom ini dimulai dengan opini alumnus jurusan hubungan internasional anggota redaksi kami sendiri, yang pernah terbebani harus sukses diterima bekerja sebagai diplomat di Kementerian Luar Negeri. Alumnus jurusan lain yang tertarik berbagi cerita serupa, kirim DM ke Twitter atau Instagram VICE ya.

Iklan

Dulu aku percaya pekerjaan paling keren di dunia adalah menjadi seorang diplomat.

Pakai baju rapi, keliling dunia, bertemu orang-orang penting, menenteng dokumen berisi kepentingan nasional, sampai ikut rapat membahas soal keamanan negara bersama presiden. Bukan cuma itu, diplomat juga menguasai lebih dari satu bahasa asing sehingga ketika berada di sebuah restoran Prancis. Alih-alih berkata “pesan satu gelas red wine”, dia bisa berucap “un verre de vin rouge s’il vous plaît”.

Kenapa di restoran Prancis? Sebab dalam bayanganku, diplomat sering menghadiri acara yang butuh table manner, dan ini tidak bisa dilakukan di warung kopi atau burjo. Ya Tuhan, mana ada diplomat diskusi di burjo?

Memang sih mungkin terjadi, bila niatnya mempraktikkan gastrodiplomacy yaitu menjadikan kuliner dan budaya sebagai alat diplomasi publik untuk mendekatkan hubungan antara dua negara. Tapi momen macam itu pastinya jarang sekali. Diplomat punya kesan elit, sebab dari istilahnya saja sudah elit, kan?

Itu keyakinan yang aku junjung sejak berusia 16 tahun. Semua bermula saat seorang guru Bahasa Inggris menyuruhku masuk tim debat sekolah. Salah satu kewajiban ikut klub tersebut adalah memahami isu-isu terkini. Suatu hari, aku membaca koran yang berisi berita soal seorang diplomat asal Ghana yang menyebut Perang Irak itu ilegal karena tak sesuai dengan Piagam PBB.

Nama sang diplomat begitu populer. Hampir semua orang pernah mendengarnya karena posisinya sebagai Sekjen PBB. Dia adalah Kofi Annan. Terinspirasi sosok Annan, aku memutuskan mau jadi diplomat.

Iklan

Seperti mendiang Annan, aku yakin harus kuliah Ilmu Hubungan Internasional (HI). Alam semesta mengamini. Dua tahun kemudian, aku terdaftar sebagai mahasiswa jurusan tersebut di Universitas Airlangga.

Setahun pertama aku lalui dengan perasaan campur aduk. Kok kuliahnya teori semua? Kenapa setiap hari harus mengumpulkan paper? Siapa pula Hans Morgenthau? Mengapa Kofi Annan enggak pernah menyinggung perkara keruwetan teori HI saat pidato atau wawancara dengan media?

Udah gitu semua orang di kelasku bisa berdebat tentang Thucydides, kecuali aku? Kenapa Bahasa Prancis harus membedakan mana kata maskulin dan feminin? Apa aku salah jurusan?

Kemungkinan terakhir itu ternyata sangat tinggi. Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada 2017 menyimpulkan 87 persen mahasiswa di Tanah Air merasa salah jurusan. Aku dulu membenci hampir setiap menit yang habis untuk mengerjakan paper. Tetapi, layaknya kebanyakan mahasiswa, rasa takut mengecewakan orangtua lebih besar daripada ambisi menemukan jati diri. Mau jadi apa kalau berhenti kuliah? Pindah jurusan? Pindah ke mana?

Apalagi aku masih percaya aku harus jadi diplomat. Lalu, di pertengahan jalan, rasa percaya diriku semakin goyah. Semua anak HI di seantero negeri ini pasti pernah mendengar Model United Nations (MUN). Sederhananya, itu simulasi persidangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dilakukan langsung di markasnya di New York, Amerika Serikat. 

Iklan

Kebanyakan mahasiswa HI garis keras percaya MUN sangat penting, sebab markas PBB adalah altar suci yang harus kami datangi. Tapi, kebanyakan orang tidak punya cukup uang (ortu) untuk membiayai perjalanan dan akomodasi yang sangat mahal itu. Aku salah satunya. Aku dulu hanya bisa memandang iri beberapa teman yang memamerkan foto-foto mereka berada di ruang sidang Majelis Umum PBB.

Mendekati tahun terakhir, aku berhasil magang di Manila. Tugas yang diberikan saat itu adalah membuat simposium tentang Millennium Development Goals (MDGs) yang dirancang PBB. Manila bukan New York, tapi yang penting ke luar negeri dan mengurusi soal PBB, kan? 

Singkat cerita, setelah lulus dengan nilai biasa-biasa saja, aku ternyata belum kapok kuliah. Aku mengambil S2 HI di Universitas Gadjah Mada. Destinasi akhirku masih sama: Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Saat magang berikutnya aku sengaja memilih instansi para diplomat Indonesia itu.

Anehnya, ternyata aku tidak suka pakai baju serba rapi ala orang kantoran Apalagi AC di Kemlu dingin banget. Mau pakai jaket? Rasanya tidak profesional. Aku juga tidak suka ngomong “mohon izin, bapak” setiap kali mau menyampaikan informasi kepada atasan.

Meski begitu, aku mengacuhkan semua perasaan-perasaan tidak nyaman tersebut  dan tetap mendaftar sebagai diplomat setelah wisuda. Pokoknya kacamata kuda banget. Ternyata yang bercita-cita kerja di Kemlu ada ratusan. Padahal, yang diterima hanya 69 orang. Ketat sekali seperti celana renang. 

Iklan

Semua tahapan seleksi aku lalui. Dari 31 hari sepanjang Desember, panitia seleksi sengaja banget memilih malam tahun baru untuk mengumumkan hasil akhirnya. Kalau biasanya aku tinggal pencet CTRL+F, ketik nama depanku, dan langsung menemukannya—kali ini namaku tidak masuk dalam daftar. Aku gagal.

“Delapan tahun aku menyimpan mimpi jadi diplomat, dan ini ujungnya?” batinku saat itu. Rasa sedih juga dirasakan beberapa teman dari HI yang tak berhasil berkantor di Pejambon.

Tetapi, bagi teman kuliahku yang lain, Kemlu sejak awal tidak pernah jadi tujuan. Sedikit yang bekerja di organisasi kemanusiaan, beberapa berhasil jadi dosen, namun lebih banyak yang akhirnya masuk korporasi, baik nasional maupun multinasional. Salah satunya Ayu yang sekarang berkarir sebagai pegawai bank swasta. Padahal dia dulu ikut MUN sampai ke Negeri Paman Sam.

“Pengin banget [jadi diplomat], tapi merasa enggak punya kemampuan,” kata Ayu. “Aku merasa enggak percaya diri ngomong Bahasa Inggris. Pengetahuan tentang hubungan internasional itu juga aku enggak mendalami banget,” imbuhnya. Dia lantas jujur menilai kalau jadi peserta MUN tak banyak faedahnya bila seseorang betulan mau jadi diplomat. “Hampir semua yang ikut MUN sama aku kemarin enggak ada yang bekerja di Kemlu,” lanjutnya. 

“Kalau berdasarkan curhatan mahasiswaku, ekspektasi masuk HI nanti lulus bisa kerja di Kemlu. Realitanya setelah lulus pada kerja di bank,” tutur Frisca, dosen di Universitas Mulawarman. Mata kuliah soal kapitalisme bencana atau analisis konflik pun tak bisa diterapkan oleh Natasha yang punya gelar S2 HI. “Pikirku bisa kerja minimal di NGO (non-governmental organization), kenyataan ya apply di PBB enggak lolos,” celetuknya. 

Iklan

Salah satu persoalan HI, menurut beberapa temanku, adalah cakupan studi yang terlalu luas dan mahasiswa tidak dibimbing menentukan minat profesional sejak awal kuliah. Tema yang dibahas dominan di tataran wacana, seperti keamanan nasional dan global.

Anak HI mengenalnya sebagai high politics. Jadi, ketika lulus, banyak yang merasa momen perkuliahan tak berkontribusi besar bagi dunia kerja karena minim hard skills yang mudah diterapkan ke banyak lowongan.

“Ngomongnya terlalu ndakik [ketinggian]. Terlalu keju untuk aku yang singkong,” kata Niko, alumni HI yang sekarang bekerja di sebuah perusahaan swasta. Nadia lebih beruntung dibanding alumni HI seangkatanku. Dosen HI di Universitas Diponegoro ini menyadari sejak dini perlunya bimbingan fokus menghadapi dunia kerja. Dia tidak mau mahasiswanya melalui fase seperti dialami banyak rekan seangkatannya dulu.

“Aku selalu bilang ke mahasiswaku: kalau terlalu mendalami high politics, enggak akan bisa survive,” tegasnya. “Melamar kerja enggak akan ditanya soal isu-isu high politics. Hidup anak HI enggak di Kemlu aja. Padahal yang daftar Kemlu enggak cuma anak HI.”

Sekian tahun setelah selesai studi, jalan hidup ternyata membawaku menjadi jurnalis. Bagiku, ada satu skill yang kudapat dari pola pendidikan HI dan berguna saat bekerja sebagai wartawan: menulis. Semua paper semasa kuliah membantuku menulis dan memahami masalah lebih cepat.

Tentu tak semua sepertiku. Bagi Ayu, tidak ada sama sekali manfaat kuliah HI untuk profesinya sekarang sebagai bankir. Realitas ini disadarinya sejak masa kuliah kerja nyata (KKN).

Iklan

“Waktu KKN, anak HI enggak bisa memberikan materi khusus yang diedukasi ke masyarakat. Arahnya akan ke Bahasa Inggris atau Prancis,” kata dia. Dengan kata lain terpaksa mencaplok lahan pengabdian mahasiswa dua jurusan tersebut. 

Padahal bahan paper berlimpah setiap hari, mulai dari Perjanjian Westphalia sampai gelombang globalisasi, tapi enggak ada yang bisa dibagi ke masyarakat? Ironis sekali bukan.

Setidaknya aku tidak merasa galau lagi. Aku pun bersyukur pernah mempelajari HI. Meski buat yang masih kuliah di jurusan yang sama denganku, percaya deh: manfaat terbesar MUN adalah memfasilitasi kalian jalan-jalan dan mempercantik feed Instagram. Jangan berharap lebih.


Rosa Folia telah berkarir sebagai wartawan selama lima tahun, kini menjadi staff writer VICE World News untuk biro Indonesia.