Perubahan Iklim

Arsitek Indonesia Berniat Bekukan Lagi Arktik Pakai Kapal Selam Demi Cegah Bencana Iklim

Ide Faris Rajak menang kompetisi desain di Thailand, tapi dirasa mahal dan sulit diwujudkan. Setidaknya upaya Faris adalah kabar gembira dari bangsa yang selama ini dikenal abai soal isu pemanasan global.
Arsitek Indonesia Berniat Bekukan Lagi Es Arktik Pakai Kapal Selam, Cegah Bencana Iklim Faris Rajak Pemanasan Global
Foto ilustrasi kapal selam di bawah lapisan es via Domain Publik; lapisan es di Arktik mencair via Wikimedia Commons/lisensi CC 2.0

Faris Rajak Kotahatuhaha, Denny Lesmana Budi, dan Fiera Alifa mencetuskan ide tak lazim saat mengikuti Association of Siamese Architects (ASA) International Design Competition di Thailand, Mei 2019. Demi melawan pemanasan global yang bikin es di Laut Arktik dekat Kutub Utara mencair, tiga arsitek asal Indonesia tersebut mengusulkan narasi menarik: Kalau emang es di planet Bumi mencair, kenapa nggak kita bekuin lagi aja pakai kapal selam?

Iklan

Pada kompetisi yang menuntut peserta menciptakan konsep arsitektur ramah lingkungan, Faris dan tim mendaulat kapal selam sebagai alat pencipta es dengan judul proyek “Re-freeze the Arctic, Re-iceberg-isastion Hexagonal Tubular Ice Arctic”. Garis besar konsepnya bisa dilihat pada video berikut.

Secara singkat cara kerjanya begini:

Kapal selam yang digunakan akan memiliki tangki berbentuk segi enam. Air laut kemudian masuk ke dalam tangki untuk melewati proses reverse osmosis. Proses ini bertujuan memisahkan kandungan garam di dalam air laut agar proses pembekuan berlangsung lebih cepat karena titik beku naik menjadi -16 derajat Celsius. Dalam waktu sebulan, terciptalah potongan es besar berukuran 2.073 meter kubik berbentuk segi enam yang siap dilepas ke laut. Kapal selam kemudian mengulangi proses ini berulang-ulang sampai dirasa cukup.

"Dapat ide dari riset kenaikan permukaan laut global, yang salah satu penyebabnya adalah perubahan iklim dan menyebabkan banyak es mencair. Kita juga sempat riset soal level rising (kenaikan air laut global), itu pakai data dari NASA," ungkap Faris kepada Liputan6. Ini semacam reboisasitapi di laut gitu berarti ya….

Menurut Faris, bentuk segi enam dipilih karena bentuk ini tidak memiliki celah kalau digabungkan, persis konsep sarang lebah. Bentuk dasar molekul air juga segi enam sehingga secara filosofis masuk. Selain itu, bentuk segi enam juga bisa mendorong potongan es di dalamnya untuk membentuk massa beku lebih besar.

Iklan

Lantas, bagaimana tanggapan para ilmuwan? Andrew Shepher, profesor dari University of Leeds, Inggris mengatakan solusi rekayasa Faris dkk.menarik meski sulit dijalankan. Gimana nggak sulit, Shepher menyebut butuh 10 juta kapal selam agar es batu yang dihasilkan mampu menggantikan es yang mencair di Kutub Utara empat dekade terakhir.

"Itu banyak sekali [10 juta kapal selam]. Sebagai pembanding, jumlah itu tidak jauh dari total jumlah model-T mobil Ford yang pernah dibuat sepanjang sejarah," ujar Shepher kepada CNN.

Walau ada ilmuwan yang antusias, tidak semuanya senada. Kritik lumayan pedas datang dari Carly Cassella lewat tulisannya di Science Alert. Carly merasa inovasi ini tidak akan menghentikan perubahan iklim atau pun mengurangi emisi.

Pertama, semua es yang berada di tengah laut (seperti yang dibuat proyek Faris) tidak berkontribusi menghentikan kenaikan air laut seperti yang diklaim. Soalnya, es-es ini emang udah mengapung di laut sedari awal. Carly beranggapan proyek membuat es ini baru akan berdampak apabila es didorong ke darat mengingat kenaikan level air laut disebabkan oleh mencairnya gunung es di darat, bukan es di tengah laut.

Kedua, Carly meragukan bagaimana cara kapal selam ini dijalankan. Kalau sumber energinya tidak hijau dan bisa diperbarui, proyek ini jelas cuma bakal nambah emisi global. Menurut Carly, solusi terbaik mengurangi kenaikan air laut dan menyelamatkan ekosistem makhluk hidup di Arctic sampai saat ini ya masih dengan mengurangi emisi.

Ide membuat es untuk menyelamatkan Arktik sebenarnya bukan pertama kali dicetuskan oleh Faris dan timnya. Pada Desember 2016, hasil kajian Steven Desch, profesor dari Arizona State University, bersama timnya yang dimuat dalam jurnal Earth’s Future mencetuskan ide unik serupa.

Mereka menawarkan pembangunan 10 juta pompa bertenaga angin untuk mengalirkan air laut ke permukaan es di kutub sehingga air dapat membeku dengan cepat. Masalah proyek ini kurang lebih sama dengan kapal selam tadi, skalanya harus besar dan diperkirakan menghabiskan US$500 miliar atau setara Rp7.000 triliun.

Ide-ide penyelamatan lingkungan, wilayah kutub khususnya, tentu harus diapresiasi walau kadang masih tidak aplikatif. Bagaimanapun, perubahan iklim itu nyata dan harus segera diatasi. Kabar ini semakin menyegarkan, lantaran datang dari desainer asal Indonesia—negara yang selama ini penduduknya berdasarkan survei tak terlalu percaya pada dampak pemanasan global serta perubahan iklim.