Teknologi Pengintaian

Tiga Miliar Pengguna Medsos di Dunia Ternyata Rutin Diawasi Pemerintah

Pejabat negara memanfaatkan temuan mereka buat menekan perbedaan pendapat, menyebarkan berita palsu, sampai mengubah hasil pemilu bahkan di negara demokratis sekalipun.
Tangan memegang ponsel yang sedang membuka aplikasi berbahasa Cina dan menampilkan foto Presiden Xi Jinping

Laporan terbaru mengungkapkan puluhan instansi pemerintah di seluruh dunia menjadikan media sosial sebagai alat menggulingkan pemilihan demokrasi dan memata-matai penggunaan internet rakyatnya.

Laporan Freedom on the Net dari Freedom House—organisasi nirlaba yang didanai pemerintah AS—menunjukkan internet yang seharusnya dijadikan tonggak keterbukaan malah disalahgunakan untuk melemahkan proses demokrasi.

Iklan

“Pemerintah dan gerakan populis memanfaatkan media sosial untuk memanipulasi pemilu dalam skala besar. Ada teknologi khusus buat memantau setiap gerak-gerik masyarakat di internet dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Pimpinan Freedom House Mike Abramowitz saat diwawancarai awak media.

Kebebasan internet semakin turun sejak sembilan tahun lalu, menurut data yang dikumpulkan Freedom House.

Meningkatnya campur tangan pemilu secara online dan ketatnya pengawasan pemerintah adalah dua penyebab utama penurunan ini. Keduanya meningkatkan kekuatan media sosial.

Hampir tiga miliar pengguna internet di dunia dimata-matai pemerintah dan penegak hukum di masing-masing negara. Berdasarkan laporan, teknologi pengintai semakin lama semakin maju dan mudah didapat.

“Pemerintah menggunakan media sosial untuk mengumpulkan dan menganalisis sejumlah besar data pribadi pengguna,” ujar Abramowitz. “Kecerdasan buatan digunakan untuk mengidentifikasi potensi ancaman dan membungkam oposisi. Harga teknologi yang semakin terjangkau membuka celah bagi lembaga penegak hukum untuk menggunakannya secara tidak bertanggung jawab.”

Freedom House mengamati kebebasan internet di 65 negara, yang mencakup 87 persen pengguna internet dunia. Cina menjadi pelaku penyalahgunaan kebebasan internet terburuk selama empat tahun berturut-turut, sementara Islandia adalah pelindung terbaik.

Kebebasan internet di Amerika Serikat terus menurun selama tiga tahun terakhir. Penegak hukum AS memata-matai penduduknya lewat media sosial, sedangkan petugas imigrasi memantau orang-orang yang melintasi perbatasan selatan.

Iklan


Dokumen terbitan awal tahun ini membongkar pemantauan media sosial yang dilakukan Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE) terhadap peserta demo anti-Trump di Kota New York selama musim panas 2018.

“Agen Departemen Keamanan Dalam Negeri menggunakan alat pemantau media sosial untuk mengawasi kegiatan orang Amerika yang dilindungi secara konstitusional. Tak hanya ketika melintasi perbatasan Meksiko, tetapi juga dalam konteks aksi damai yang mempertanyakan kebijakan imigrasi pemerintah dan lainnya,” kata Adrian Shahbaz, salah seorang penulis laporan, kepada awak media.

Laporan juga membocorkan betapa tren disinformasi semakin merajalela dan menyerang demokrasi. Aktivitas tersebut kini tak sekadar digunakan untuk mempertahankan kediktatoran.

“Hal yang paling mengkhawatirkan yaitu pemimpin populis dan kelompok sayap kanan semakin mahir menyebarkan berita palsu yang mereka ciptakan,” tutur Abramowitz.

Shahbaz menyoroti pemilu 2018 Brasil, yang memenangkan pemimpin otoriter Jair Bolsonaro berkat jejaring sosial.

“Sama seperti para konsultan yang mencuri data Facebook untuk mengembangkan profil psikologis jutaan orang Amerika tiga tahun lalu, buzzer politik Brasil memasukkan nomor telepon curian ke grup WhatsApp khusus sesuai lokasi, jenis kelamin dan tingkat pendapatan,” kata Shahbaz. “Grup-grup ini menjadi jenis pendulang suara baru yang tidak bermoral.”

Masalah serupa terjadi di India dan Filipina. Di Myanmar, Facebook dituduh membantu militer melakukan genosida.

Iklan

Namun, Abramowitz menunjukkan masih ada secercah harapan di tengah penurunan kebebasan internet ini.

“Teknologi ini juga memicu perubahan demokrasi positif,” kata Abramowitz, merujuk pada strategi aktivis di Lebanon, Algeria dan Hong Kong yang menggunakan internet untuk menuntut pertanggungjawaban “politikus korup dan inkompeten.”

Laporannya menganjurkan sejumlah solusi mengatasi kampanye berita palsu dan pengawasan media sosial. Salah satunya yaitu “memastikan iklan politiknya transparan dan mematuhi standar konten yang ketat.” Di saat Twitter melarang penayangan segala jenis iklan politik, Facebook memutuskan takkan memeriksa fakta isi iklan politik yang dipasang di platform.

Namun, masalahnya akan semakin buruk jika pemerintah dan perusahaan swasta tidak ikut membantu menyelesaikannya, terutama dengan kemajuan teknologi seperti 5G, biometrik, dan kecerdasan buatan.

“Kebebasan demokrasi perlu dilindungi dengan ketat agar internet tidak berubah menjadi strategi kuda Troya pihak tirani dan penindas,” bunyi laporan. “Masa depan privasi, kebebasan berekspresi, dan pemerintahan demokratis adalah tanggung jawab kita semua.”

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.