Melawan Oligarki

Aksi Pelajar STM Memprotes DPR Hanya Bisa Diakhiri Dengan Penangkapan Massal

Sejak semalam, 570 pelajar sekolah menengah diringkus aparat. Mereka segera dijemput ortu masing-masing di Polda Metro Jaya. Adapun sekitar 50 mahasiswa dari aksi 24 September masih dinyatakan hilang.
Aksi Anak STM Memprotes DPR Hanya Bisa Diakhiri Dengan Penangkapan Massal
Ilustrasi pelajar SMK terlibat kekerasan di jalanan. Foto oleh Dadang Tri/Reuters.

Sepanjang Rabu (25/9), demonstrasi menolak berbagai rancangan undang-undang kontroversial dilanjutkan oleh kelompok tak disangka-sangka: pelajar Sekolah Menengah Kejuruan jurusan mesin, yang seringkali disebut STM. Para pelajar ini dikenal berkat cap tukang tawuran, lebih berani ambil risiko bentrok dengan aparat, dan justru mendapat dukungan masyarakat untuk meneruskan aksi menolak berbagai produk hukum bikinan Dewan Perwakilan Rakyat.

Iklan

Tagar seputar STM terus menjadi trending di Twitter Indonesia, termasuk pernyataan perang pelajar terhadap Denny Siregar, salah satu buzzer pendukung pemerintah. Para pelajar itu mengaku berniat memaksa DPR membatalkan revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang melanggar privasi warga negara. Namun, karena peserta aksi masih di bawah umur, tak semua pengguna Internet sepakat mendukung mereka.

Tingkat kekerasan massa aksi dari elemen STM juga lebih tinggi dibanding demonstrasi yang digalang mahasiswa sehari sebelumnya. Banyak pelajar di bawah umur itu, tak sedikit dari Bogor dan Bekasi, kedapatan membawa senjata tajam sehingga langsung ditahan polisi. Kericuhan di sekitar DPR terjadi hingga Kamis (26/9) dini hari. Selain itu, pelajar SMA dan SMP juga terlibat dalam aksi kemarin.

Polisi akhirnya meringkus 570 pelajar sekolah menengah, sebagian sudah dijemput orang tuanya. Gelombang ortu menjemput anak-anaknya di Polda Metro Jaya terjadi hingga tengah malam. "Emak tunggu di parkiran, cepet pulang," kata salah satu orang tua pada anaknya yang selesai didata polisi, seperti dilaporkan suara.com.

Meski begitu, penangkapan dan kekerasan pihak polisi mendapat sorotan. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menyatakan menerima laporan 50 mahasiswa masih hilang setelah aksi dua hari lalu. "Ada yang mengatakan temannya ditangkap, ada yang belum kembali, mereka khawatir karena polisi menyisir berbagai wilayah," kata Direktur LBH Jakarta, Arief Zulkifli dalam jumpa pers di kantornya. Jumlah itu masih bisa bertambah. LBH mendesak polisi menjamin semua mahasiswa yang ditahan didampingi kuasa hukum. "Kami minta tidak ada penghalangan."

Iklan
1569467802390-WhatsApp-Image-2019-09-24-at-185007

Kericuhan akibat aksi menolak RUU KUHP di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Foto oleh Elisabeth Glory/VICE

Unjuk rasa mahasiswa sehari sebelumnya juga dibubarkan paksa oleh aparat dengan serangan meriam air serta gas air mata. Satu mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia bernama Faisal Amir luka parah akibat dikeroyok, diduga pelakunya aparat keamanan, sehingga mengalami cedera otak. Kampus mendesak Polri untuk mengungkap penyebab Faisal mengalami kekerasan sampai kondisinya sempat kritis.

Manager Kampanye Amnesty International Indonesia Puri Kencana Putri mengatakan respons aparat terhadap aksi mahasiswa dan pelajar tidak sesuai dengan prosedur. Bahkan dari rekaman kekerasan terhadap demonstran di beberapa lokasi, ditambah adanya upaya intimidasi terhadap jurnalis, tindakan polisi cenderung mengarah ke penggunaan kuasa berlebihan.

Sesuai dengan Peraturan Kapolri No 8 tahun 2009, Puri bilang seharusnya polisi mengimplementasi prinsip standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas. Selain itu Peraturan Kapolri No 16 tahun 2006 tentang pengendalian massa juga menjelaskan tiga tingkatan kondisi massa dan prosedur penanganannya. Pembubaran paksa, alias status merah, kemarin diambil tiba-tiba ketika massa menanti Ketua DPR Bambang Soesatyo menemui mereka di depan parlemen.

"Harus kita pertanyakan, apa ukuran dari Kapolres sebagai komandan di [depan DPR] untuk mengambil status warna merah [dengan kekerasan]? Kapolres seolah gagal melakukan persuasi," ujar Puri.

Akibat rangkaian kekerasan imbas dari aksi mahasiswa dan pelajar, sekitar 88 orang dilarikan ke rumah sakit. Data semalam, yang masih harus rawat inap tinggal 11 orang, 254 lagi dirawat jalan.

Menurut hasil koordinasi Feri Kusuma dari KontraS dengan anggota kepolisian, di luar 570 pelajar sekolah menengah, masih ada 94 orang yang ditahan di Polda Metro Jaya. Sementara 49 orang lain ditahan di Polres Jakarta Barat. Diduga kuat mereka semua mahasiswa dari demo 24 September. "Mayoritas dari orang yang ditahan adalah kelahiran 1998-2000, tapi untuk pastinya masih belum bisa dipastikan” ujar Feri saat dihubungi VICE.

Jatuhnya korban akibat tindakan represif aparat tak hanya terjadi di Jakarta. Aksi berturut-turut ini adalah gerakan mahasiswa terbesar sepanjang sejarah Indonesia sejak 1998. Di Sulawesi Selatan, setidaknya 37 mahasiswa cedera akibat dibubarkan paksa aparat. Mereka mendapatkan luka di bagian kepala dan wajah akibat mendapatkan pukulan. Di Palembang tiga orang mahasiswa harus dilarikan ke rumah sakit. Sedangkan di Bandung sebanyak 92 mahasiswa harus dilarikan ke rumah sakit karena digebuki polisi.