FYI.

This story is over 5 years old.

Jelang Pemilu 2019

Ini yang Bisa Kita Lakukan Untuk Mencegah Koruptor Kembali Jadi Anggota Dewan

Seandainya gugatan para caleg bekas napi korupsi dikabulkan, sebagai warga negara kita harus aktif mencegah mereka kembali berkuasa.
Foto berjudul The Corruptor, the People, and Institutions yang dipotret oleh Agus Sarwono. Milik USAID Indonesia via Wikimedia Commons

KPU mengeluarkan persyaratan baru bagi politikus yang tertarik menjadi caleg untuk pemilu tahun depan, yakni komisi melarang para mantan narapina korupsi untuk kembali mencalonkan diri. Larangan itu bisa dipahami. Mana ada orang yang mau memercayai mantan koruptor sebagai wakil rakyat? Tentu saja banyak anggota DPR tidak terima dengan keputusan ini. Mereka menganggap langkah KPU yang melarang bekas napi korupsi maju ke pemilu termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia. Dari sini, kita bisa lihat sendiri kalau korupsi sudah membudaya di Indonesia.

Iklan

Mengapa anggota DPR secara terang-terangan mendukung para koruptor? Apakah mereka takut ketahuan kedoknya? Selama ini rakyat memandang DPR sebagai lembaga negara paling korup di Indonesia. Salah satu anggota DPR yang terseret kasus korupsi adalah Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Dia dituntut 15 tahun penjara atas kasus korupsi e-KTP. Anggota parpol hanya bisa gigit jari karena KPU tidak menggubris penolakan mereka dan Presiden Joko Widodo pun turut mendukung peraturan baru ini.

Tapi partai-partai politik ogah menuruti aturan tersebut. Tidak mengejutkan sama sekali. Bukannya tunduk pada peraturan, mereka berkukuh mencalonkan politikus korup sembari berharap KPU tak akan mengecek rekam jejak mereka. Dari dua belas partai politik yang turut serta dalam pemilu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) adalah satu-satunya partai yang tidak mencalonkan caleg korup. Sejauh ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah menyaring 199 caleg korup—mayoritas berasal dari partai Gerindra.

Anggota Bawaslu Afifudin membeberkan bahwa sebelum penentuan daftar calon, semua partai politik menandatangani Pakta Integritas untuk tidak mencalonkan anggota mereka yang korup. Ternyata, pakta tersebut diingkari juga. Mau tahu bagaimana tanggapan partai politik tentang 199 caleg korup oleh Bawaslu? Mereka dengan enteng berdalih tak tahu menahu calegnya korup dan tak sengaja melewatkan fakta sepenting ini dalam proses seleksi. Ini jelas ironsi sekali sebab sebagian besar partai tersebut dengan terang-terangan mengumumkan akan tetap mencalonkan beberapa caleg korup sebelum proses seleksi digelar.

Iklan

Jika mengharapkan yang ideal, mestinya partai politik lah yang melakukan penyaringan pertama, memastikan calon yang mereka ajukan terbebas dari kasus korupsi. Sayangnya, yang terjadi di Indonesia tak seperti itu. Jumlah calon legislator eks koruptor bisa saja bertambah dari daftar yang sekarang. Ada lebih dari 200.000 caleg yang akan berpartisipasi dalam pemilu mendatang. Proses pemantauan di Bawaslu masih berlangsung seiring jalannya tahapan. Badan Pengawas mulai mencocokkan temuan mereka dengan data Mahkamah Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi sebelum Daftar Caleg Sementara (DCS) nanti dikeluarkan. Bisa saja angka mantan koruptor yang ditemukan bertambah.

Kendati sudah ada proses penyaringan, masih terbuka kemungkinan ada eks koruptor yang lolos. Itulah sebabnya KPU turut meminta partisipasi warga Indonesia untuk memastikan hal ini tak terjadi. Sayang, KPU tak merinci apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka. Untuk itu, kami meminta Titi Anggraini, Direktur Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menjelaskan langkah apa saja yang bisa kita ambil untuk membersihkan surat suara dari caleg-caleg eks koruptor. Titi menjabarkan beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk itu:

Langkah Pertama: Pelihara Rasa Ingin Tahu

“Kuncinya itu adalah rasa kepedulian dan rasa ingin tahu,” kata Titi. “Kita harus aktif dalam mencari informasi tentang caleg-caleg yang dari daerah kita."

DCS akan keluar bulan ini. Di saat yang sama, KPU belum juga merilis rekam jejak tiap kandidat, meski Bawaslu sudah jauh-jauh hari meminta KPK melakukannya. “KPU masih belum merilis riwayat hidup, dan itu juga jadi pertanyaan kita,” ujar Titi, menegaskan bahwa rekam jejak tiap caleg agar sangat berguna bagi para pemilih. Namun, Titi juga menyarankan calon pemilih untuk mencari informasi tentang tiap caleg dari kanal manapun, termasuk bertanya pada orang-orang di sekitar mereka.

Iklan

Langkah Kedua: Pertanyakan Rekam Jejak Caleg

“Saya kira [rekam jejak itu] bukan rekam jejak juga, ya," kata Titi kepada VICE. ”tetapi riwayat hidup karena ditulis oleh caleg sendiri." Alhasil, pencocokan apa yang ditulis caleg dalam CV mereka dengan apa yang orang lain tulis tentang mereka itu penting sekali. Intinya, jangan gampang termakan kata-kata caleg dalam CV mereka.

Langkah Ketiga: Jangan Cuma Lapor di Medsos, Kirimlah Surat Resmi ke KPU

Tidak ada platform online untuk melaporkan hal-hal ini, tapi di masa lalu orang-orang rajin mengirimkan surat, menelepon KPU, atau bahkan mengunjungi langsung kantor KPU. Semua metode ini bisa digunakan untuk membuat laporan. “Sebelum ini, masyarakat melapor menggunakan cara konvensional, seperti menulis surat,” ujar Titi. “Ini yang harus diperbaiki KPU kedepannya.”

Meski balasan dari KPU tak secepat balasan komentar di Facebook, mereka telah mengumumkan bahwa mereka menyikapi laporan-laporan tersebut dengan serius. “Kalau publik melihat ada caleg dari mantan napi korupsi lolos verifikasi, sebaiknya menginformasikan kepada KPU karena warga lebih mengenal setiap calon itu. Jika ada laporan mengenai hal itu, KPU akan mengecek kebenarannya,” ujar ketua KPU Arief Budiman.

Langkah Keempat: Pilih Dengan Bijak

“Yang paling penting menurut saya adalah kesadaran kita sebagai pemilih bahwa kita tidak boleh salah pilih,” ujar Titi.

Banyak aspek dari proses pemilihan yang cacat. Misalnya, KPU dan Bawaslu tidak cukup responsif terhadap publik, dan tidak semua informasi soal kandidat-kandidat dibuka untuk umum. Fokus Bawaslu juga biasanya berat saat mengawal pemilihan, tapi tidak saat menyeleksi kandidat. Pada akhirnya, pemilih harus mengedukasi diri dan berharap yang terbaik.