FYI.

This story is over 5 years old.

Imlek

Aku Akan Selalu Rindu Imlek dan Masakan Ayam yang Disembelih Sendiri Ibuku

Kiini aku punya cukup uang untuk mengajak sanak keluarga dan teman makan di restoran Cina mentereng, tapi tak ada yang bisa menggantikan sensasi makan ayam sederhana bikinan ibu.
Foto ilustrasi via Wiki Commons

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.

Salah satu bagian favoritku dari Tahun Baru Cina adalah ketika ibu membelikan baju baru. Aku tumbuh besar di wilayah Kowloon, Hong Kong, daerah pemukiman kelas pekerja yang dipenuhi gedung pemerintah. Tiap Imlek, ayah mengajak kami pergi makan di luar. Aku akan makan kebanyakan dan muntah. Ibu tentu saja marah besar. Yang aku ingat dari masa-masa itu cuma makan, makan dan, sekali lagi, makan. Salah satu menu terlalu banyak kusantap adalah talas—yang digoreng sampai garing abis dan dibentuk jadi bulatan-bulakan kecil. Aku tak pernah kapok. Tiap tahun, aku makan talas seperti kesetanan. Tiap tahun pula, aku jatuh sakit karenanya.

Iklan

Hari Tahun Baru Cina selalu dingin. Ibu biasanya bangun pagi-pagi karena beliau kurang pandai memasak. Untuk mengakalinya, ibu rela memasak dengan durasi yang lebih lama. Ibu selalu membuat qie ji—ayam rebus yang dimasak dengan adas manis, jahe, bawang hijau dan garam dan tiap kali ibu menyembelih ayam di luar rumah, aku dan saudariku bakal ngintip dari balkom. Tiap kali ibu memotong-motong daging ayam yang sudah masak, aku selalu ada di dekatnya.


Baca juga esai nostalgia jurnalis VICE Indonesia berada di Tiongkok sewaktu Imlek:

Aku ingin tahu bagaimana ibu melakukannya. Sayangnya, ibu selalu menyodorkan stik drum dan memintaku pergi menjauh. “Kekecilan dan kelewat panas,” guman ibu tentang ayam-ayam yang dia olah. Ini kenangan dari 30 atau 40 tahun lalu. Meski begitu, aku ingat betul betapa lezatnya ayam-ayam buatan ibu. Sekarang, rasa yang sama sulit sekali aku temukan. Ayam olahan masa kini tak terasa seperti ayam masakan ibu. Dulu, aku terlalu kecil untuk bisa sekadar membantu ibu di dapur. Yang aku lakukan cuma makan sebanyak-banyaknya dan dari situlah wawasan kulinerku bertambah.

Imlek selalu identik dengan makan basar. Aku selalu bertanya pada ayah apa kami sekeluarga bakal bersilaturahmi ke sanak saudara karena aku bisa makan di rumah mereka. Dulu aku dijuluki “si gentong kecil” karena aku agak gembil. Tentu, seperti anak-anak pada umumnya, aku suka mengumpulkan angpau dan menabungkan recehan yang aku dapat di celenganku—itu loh, celengan yang harus kamu pecahkan kalau ingin mengambil isinya. Aku sering bersaing berat-beratan celengan dengan saudariku. Uang yang aku celengkan biasanya aku pakai untuk permen, kue-kue kecil dengan meringue di atasnya serta cake kecil untuk saudariku.

Iklan

Aku berimigrasi ke Kanada pada 1980. Umur baru genap 20 tahun waktu itu. Sampai sekarang pun, aku masih setia merayakan omlek. Dulu, waktu anak-anakku masih belia, aku selalu mendongeng bagaimana nenek mereka bikin pangsit gok jai yang keras. Saking kerasnya, pangsit buatan ibu bisa memantul jika dilemparkan ke dinding. Brenda, Istriku, beradal dari Winnipeg. Menurut Brenda, dirinya merayakan Imlek agar bisa berbaur dengan yang lain.

"Tiap Imlek, ayah mengajak kami pergi makan di luar. Aku akan makan kebanyakan dan muntah. Ibu tentu saja marah besar."

Waktu anak-anakku masih kecil, aku sering mengundang teman-temanku, teman-teman brenda dan teman-teman anakku untuk makan di restoran Cina. saking ramainya, aku kadang harus menyewa sebuah ruangan khusus. Begitu anak-anak mulai berlarian saat jamuan berlangsung, aku refleks membagikan angpau dan mainan naga-nagaan kecil.

Putra-putraku tumbuh besar di Toronto namun aku membiasakan mereka makan masakan Cina. makanya, mereka kini tak jijik ketika makan tiram, conpoy, dan lumut hitam. Aku sendiri tak pernah memaksa mereka meratakan Imlek. Hanya saja, mereka tertarik dengan segala macam simbolisme di balik frase yang kami sering ucapkan saat Imlek seperti "lung ma jing sung" atau "bou bou go sing."

Dua malam lalu, aku mengajak teman-temanku menyantap jamuan Tahun Baru Cina di Taste of China. Kami memesan kepiting raja, tiram lumut hitam dan ayam goreng. Aku pun membawa sebotol Champagne. Sambil menghabiskan isinya, aku mengajari mereka apa makna tahun kambing dalam penanggalan Cina.

Setiba di rumah, aku membagikan angpau—perlambang nasib baik dan kemakmuran—pada anak-anakku. Saban tahun, mereka akan mengintip isinya dan ngedumel, “Yah, isinya kok lebih sedikit dari tahun kemarin.”