FYI.

This story is over 5 years old.

Vice Blog

King Ly Chee Menjaga Api Scene Hardcore Hong Kong Menyala

Sejak hadir di kancah hardcore Hong Kong enam belas tahun lalu, King Ly Chee menjadi salah satu band paling dominan dan berpengaruh di Asia.

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey.

Terinspirasi oleh politik Cina dan Sick of It All, band hardcore berpengaruh di Asia, King Ly Chee, terus berkarya.

Sejak hadir di scene hardcore Hong Kong enam belas tahun yang lalu, King Ly Chee menjadi salah satu band yang paling dominan dan berpengaruh di Asia. Namun, mereka hampir saja bubar tahun lalu.

Saya bertemu vokalis King Ly Chee, Riz di sebuah kedai mi di luar stasiun MRT dekat rumahnya di Po Lam, distrik New Territories di Hong Kong. Di distrik ini, beberapa kedai makanan mempunyai papan berbahasa Inggris. Riz, warga Hong Kong berdarah Pakistan memesan makanan bagi kami berdua dengan menggunakan bahasa Kanton. Ketika jam makan siang bergulir, banyak nasi ayam dan teh susu disajikan. Di tengah riuhnya suara di dalam kedai, selama sejam lamanya kami ngobrol tentang musik hardcore, politik, seksisme, Neo-nazi dan banyaknya band-band bagus di Asia.

Iklan

Saya pertama kali melihat aksi panggung King Ly Chee di sebuah venue setempat bernama Hidden Agenda. Waktu itu, Riz mengawali lagu kedua di set mereka dengan sahutan "Tetep positif ya njing!" Energi mereka sangat intens dan efektif malam itu. Berhubung saya kenal Riz sebagai seorang guru SD, saya tidak tahu seperti apa dia di panggung. Setelah malam itu, saya sadar pribadi dia di atas dan di belakang panggung persis sama (minus bahasanya yang vulgar).

Anggota bandnya yang lain juga lumayan "normal." Salah satu gitarisnya, Joe Wu, adalah seorang tattoo artist yang kerap bolak-balik Hong Kong dan Guanhzhou yang berjarak tiga jam perjalanan. Dia adalah anggota King Ly Chee yang lebih kalem dan puitis. Drummer Ivan Wing berasal dari Makau dan bekerja sebagai guru les drum. Dia adalah satu-satunya anggota King Ly Chee yang mencari nafkah murni dari musik. Awalnya, dia kerap mengunggah video drum cover di kanal YouTube sebelum akhirnya bergabung dengan band ini.

King Ly Chee sudah pernah tur di Cina, Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia dan Amerika Serikat. Mereka pernah berbagi panggung dengan NoFX, Sick Of It All, dan banyak sekali band-band Asia yang keren. Ketika Joe saya tanya tentang pengalaman yang paling berkesan, dia langsung menyebutkan pengalamannya manggung di sebuah kota kecil tidak jauh dari perbatasan Korea Utara-Cina.

Tur di Cina itu susah. Jarak antar venue bisa beribu-ribu kilometer—atau bahkan lebih jauh lagi. Semua anggota band bekerja full-time sehingga tidak ada waktu untuk kabur lama-lama. King Ly Chee harus menempuh jarak lebih dari 10 ribu kilometer untuk bermain di 10 venue dalam 10 hari. Bagi band-band baru, mereka harus bepergian menggunakan kereta atau pesawat ketika bermain di kota tetangga. Sebab itu, peralatan pun dijaga simpel: gitaris membawa satu gitar dan beberapa pedal sementara drummer membawa sebuah snare, stik dan simbal. Venue bertanggung jawab menyediakan peralatan lainnya: ampli, kabinet, mic, dan drum kit. Menurut Joe, inilah sebabnya dia tidak terlalu ngoyo soal sound.

Iklan

Ketika 'manggung' di sebuah venue kecil di Shenyang, mereka harus main dengan ampli-ampli combo yang kecil—gak jauh beda sama ampli kamar. "Masa bodo," kata Joe. "Begitu mulai main semua langsung pecah!" Kata "intim" mungkin tidak cukup untuk menggambarkan beberapa venue tempat mereka manggung di mana tidak ada jarak antara band dan penontonnya. Tidak adanya jarak ini kerap menghasilkan gig yang liar.

Menurut Riz, pengalaman manggung terbaik mereka terjadi di Midi Festival di Suzhou. Dia bercerita ke saya dengan penuh antusias, "Kita lagi sound check, ngetes amplinya dan penontonnya udah mulai moshing dan teriak-teriak! Venuenya penuh banget… Gue ngeliat ke anggota yang lain dan bilang 'wah kayaknya mereka tahu kita nih!'"

Perjalanan Riz dan King Ly Chee lumayan panjang. Dua puluh dua tahun yang lalu, Riz nonton aksi panggung Sick of It All di Pearl Street di Northampton, MA. Malam itulah yang menginspirasi Riz untuk membawa hardcore punk kembali ke Hong Kong. Dia sadar apa yang dia mesti lakukan di tanah airnya.

Hong Kong adalah sebuah kota yang beradab: orang mengantre bis dengan tertib, tidak ngamuk-ngamuk, tidak mengumpat, dan semua orang sepertinya memakai tabir surya. Ada gairah dalam kota ini, tapi semua orang tetap tertib dan kalem. Riz menerka bahwa ini adalah alasan hardcore tidak besar di Hong Kong. Di Hong Kong, kultur jaim dianggap penting. "Elo gak boleh keliatan marah atau mengkonfrontir seseorang di tempat umum," katanya. "Yang kayak gituan mesti elo simpen ke diri sendiri." Sayangnya, Riz bukan tipe yang seperti ini. Bagi banyak teman-temannya, dia adalah sohib yang paling jujur satu Hong Kong.

Iklan

Untungnya, Cina tidak seperti ini. "Mereka pengen rusuh", kaya Riz ketika mengingat pengalamannya. "Pas kita manggung…asik banget rasanya! Dua ribu orang yang hadir semuanya support kita. Seakan-akan mereka kayak ngomong, "Kita tahu band kamu udah aktif enam belas tahun dan itu perjuangan yang berat. Kita tahu kamu berdarah Pakistan tapi kamu bernyanyi dalam bahasa Kanton dan Mandarin untuk kami. Kami sangat menghargai itu."

Acara gig tersebut bisa ditonton di internet. Kamu bisa melihat para penggemar mereka mengibarkan banner raksasa dan aksi circle pit lengkap dengan kembang api. "Festival musiknya lumayan tipikal acara Cina daratan," jelas Riz, "tapi rasanya itu kayak buat kita. Kayak orang dateng buat nonton kita. Habis acara itu, gue ngomong 'udah-udah bubar aja abis ini.'"

"Rasanya gue udah hidup. Seneng gue." kata Riz kembali di kedai mi di Hong Kong. "Kami baru saja selesai tur. Kami tur bareng Sick Of It All dan main di acara seru tadi; mo ngapain lagi? Udah abis semua rasanya" Setelah tur tersebut, King Ly Chee tidak aktif selama berbulan-bulan.

Namun tidak lama kemudian, Sick Of It All mengundang mereka datang ke AS dan manggung bareng di beberapa acara rangkaian tur ulang tahun SOIA yang ke 30. "Kalo bukan karena ajakan itu, band kita pasti udah bubar…," beber Riz.

Tur King Ly Chee di East Coast AS musim panas lalu semakin menaikkan kepopuleran band mereka. Ivan bercerita, "Bisa tur di AS adalah mimpi semenjak saya mulai ngeband, dan jujur rasanya sekarang saya lagi ngimpi." Pengalaman gignya yang paling berkesan adalah manggung bareng Sick Of It All di Webster Hall. King Ly Chee terkejut bagaimana berdedikasinya penggemar hardcore di Amerika. Menurut Ivan, para pengunjung di gig US "makan dan minum musik…beda dengan di Hong Kong atau Makau. Sejarah musik Hong Kong belum ada apa-apanya dibanding AS, tapi semoga suatu hari kita sampai di sana juga!"

Iklan

Beberapa perubahan iklim ekonomi dan politik Hong Kong akhir-akhir ini juga mempengaruhi King Ly Chee. Umbrella Movement makin kerap berakhir dengan kerusuhan. Hubungan politis antara Cina dan Hong Kong juga berubah secara drastis—dan tidak menguntungkan rakyat banyak. Ada semacam rasa frustrasi dan ketakutan. "Sekarang menulis lirik jadi gampang, karena banyak yang kami ingin sampaikan," jelas Riz. "Hardcore enaknya gitu, kalo pengen ngomong sesuatu, tinggal maenin chord sama ambil mic."

Mengingat relevannya hardcore di Hong Kong sekarang, kami bertanya apakah King Ly Chee masih ingin membubarkan band mereka. Mereka jadi berpikir dua kali. "Pengalaman kami di AS bikin kami semangat lagi. Pas main di East Coast gue kayak menyatu dengan penontonnya," beber Riz. "Sekarang, rencana kami adalah untuk terus kerja dan main di Hong Kong dan kembali ke AS pas musim panas buat tur."

Mungkin Riz masih merasakan euforia dari manggung di Suzhou, atau mungkin King Ly Chee sedang dalam proses makin menjadi besar. Mereka semua mengatakan bahwa di banyak wilayah Asia sedang terjadi pergejolakan dan orang-orang muda semua sadar akan hal ini. Mungkin ini akan menyebabkan adanya perubahan musik di Asia di beberapa tahun ke depan. Namun yang pasti, King Ly Chee akan terus berkarya. Mereka berencana untuk merilis EP baru dan kembali tur di AS untuk menyebarkan pesan hardcore Hong Kong mereka ke audiens baru.

Semua foto karya Mike Sakas.

Follow Sakas di Twitter-nya, dan follow Unite Asia untuk kisah-kisah seputar kancah punk, metal dan hardcore di Asia.