Minum Sake Bareng Gerombolan Yakuza Jepang
Semua foto oleh Mahmood Fazal

FYI.

This story is over 5 years old.

YAKUZA

Minum Sake Bareng Gerombolan Yakuza Jepang

Kami ngobrol bersama petinggi organisasi bawah tanah paling populer di Jepang, tentang usaha polisi memberangus mereka hingga kisah di balik jari-jari yang putus.

Cerita ini bermula gara-gara kunjungan ke studio tato legendaris seniman tebori, Horiyoshi III, salah satu seniman tato terbaik dan favorit anak-anak anggota Yakuza. Ketika ditanya mengapa banyak sekali anggota Yakuza mendatangi studionya, Horiyoshi menjawab penuh percaya diri. "Mereka minum di bar kelas atas, nongkrong bareng perempuan kelas atas, dan tentunya juga mau tato kelas atas dong." Setelah mendengar pernyataan itu, tidak aneh rasanya melihat sepasang anggota yakuza muda masuk ke toko. Mereka bertanya apakah saya pernah dengar kartu oicho-kabu, alias kartu buat berjudi di Negeri Matahari Terbit. Sambil berbasa-basi, saya mengaku sudah lama berhenti bermain 'piano'—istilah slang kriminal Jepang untuk mesin slot pachinko. Mereka tertawa. Saya tidak tahu apakah mereka menertawakan saya, atau terhibur karena saya punya referensi soal budaya pop Jepang. Mereka bergegas mengajari saya bermain oicho-kabu, meletakkan gepokan kartu di samping bungkus rokok HOPE, korek, dan permainan catur Jepang.

Iklan

Sambil bermain, kami mengobrol tentang seluk beluk Yakuza. Organisasi ini populer tapi kerap disalahpahami publik. Organisasi ini dikenal di Jepang dengan julukan Gokudō. Mereka sering dilabeli sebagai sindikasi kejahatan terorganisasi transnasional. Ya kayak mafia versi Jepang lah. Saya sering mendengar cerita tentang anggota Yakuza yang berangasan—berbalut jas, rambut dicat pirang—menghajar orang di klub-klub malam, atau memaksa orang asing membayar tagihan minum mereka yang kelewat ngawur mahalnya. Peraturan internal kelompok Yakuza juga terkenal legendaris, ditegakkan secara kaku demi melindungi kehormatan dan kemuliaan mereka. Semua ini mengingatkan saya akan pengalaman menjadi bagian dari geng motor terlarang di Australia, negara di mana saya tinggal. Di sana kehormatan, respect, adalah yang pertama dan terutama.

Berbatang-batang rokok telah tandas diisap. Gaplek yang mereka mainkan tak lagi seru sebab saya gagal memahami aturan mainnya. Mending saya cerita tentang geng saya di Australia sana. Rupanya mereka tertarik. Saya mulai berceloteh dengan menceritakan bagaimana anggota organisasi kriminal yang telah divonis di Australia tidak dibolehkan membuka studio tato: satu hal yang sangat melekat sebagai bagian dari kultur sejak geng motor merebak di tahun 1970-an.

Sebagai balasan, para Yakuza menceritakan ke saya bagaimana mereka diburu oleh pemerintah Jepang, membuat mereka tidak bisa melakukan bisnis konstruksi dan perdagangan yang telah menjadi bagian dari kultur mereka selama beberapa abad. Saya bertanya apabila mereka bersedia diwawancarai mengenai topik ini dan peran Yakuza dalam dunia modern Jepang. Mereka langsung berbisik-bisik dan kembali bertingkah formal. Sejurus kemudian mereka mengatakan nanti ada seseorang yang akan mengontak saya.

Iklan

Anggota Yakuza muda di studio tato Horiyoshi

Keesokan hari, selagi saya berjalan keluar dari subway Tokyo, sebuah van berwarna hitam pekat tiba-tiba berhenti di depan saya. Pintu mobil terbuka, terjulur keluar sebuah tangan mengenakan jam Rolex, sebelum sosok seorang lelaki mengenakan kemeja putih terlihat. Dia mengatakan namanya adalah Tuan S, dan dia harus "mendengar cerita saya" sebelum bosnya setuju untuk ditemui. Dia menatap saya serius sambil mengelus jenggotnya. "Ngopi?" tanyanya. Saya membungkuk dan menyetujui ajakannya, meski sebenarnya ada perasaan was-was. Saya sadar kafein justru akan membuat saya semakin parno. Yakuza itu bukan cuman sekedar tukang motong jari orang, film Beat takeshi, atau pelaku kekerasan. Sejarah mereka terentang hingga seratus tahun lalu di era Meiji, ketika pelaku kriminal dibagi menjadi dua, tekiya, penjual barang curian; atau bakuto, mereka yang terlibat perjudian. Yakuza modern memandang diri mereka sebagai keturunan spiritual dari Ronin, samurai tak bertuan dari Abad 17. Jejak keturunan ini bisa dilihat dari berbagai upacara inisiasi Yakuza yang melibatkan ritual minum sake tekiya dan bakuto. Di era modern, Yakuza dianggap sebagai topik yang tabu. Banyak yang menganggap mereka sebagai noda dalam warisan kultur Jepang yang menjunjung laku sopan dan santun. Masyarakat tidak mau membicarakan mereka. Setiap kali saya menanyakan warga Jepang perihal Yakuza, mereka selalu terlihat kesal atau berusaha mengganti topik pembicaraan. Salah seorang bartender bahkan sampai mengatakan, "Ada aspek Jepang lain yang lebih layak dibicarakan [daripada Yakuza]."

Iklan

Menurut majalah Economist, angka kejahatan di Jepang telah turun drastis 13 tahun terakhir. Angka pembunuhan Jepang, 0.3 kematian per 100.000 orang merupakan salah satu yang terendah di dunia. Di era Jepang modern yang semakin aman, banyak klaim yang mengatakan bahwa Yakuza sudah ketinggalan zaman, sudah kalah dengan hukum baru pemerintah, atau memudar karena kekurangan anggota baru.

Mewawancarai Tuan S di kantor Yakuza.

Di dalam van, Tuan S akhirnya membuka mulut, mengatakan pada penerjemah di sebelahnya bahwa saya terlihat "sangat manis." Mobilnya terus berjalan, saya tidak tahu akan dibawa ke mana, sebelum akhirnya kami tiba di sebuah gedung kantoran yang ternyata dijadikan markas oleh Yakuza. Gedung ini terdiri dari dua lantai, dan dijaga empat lelaki penuh tato sekujur tubuh di depan pintu yang menonton kami keluar dari van. Mereka langsung menghampiri dan membungkuk hormat.

Hal pertama yang saya perhatikan adalah umur para lelaki penjaga pintu. Mereka semua berumur 20-an akhir atau lebih tua. Saya melihat salah seorang lelaki menutup resleting jaket tracksuit Champion-nya. Dua jarinya terpotong. Dia sadar saya mengamatinya. Bukannya marah, dia malah melempar sebuah lelucon dalam bahasa Jepang sambil mengangkat tangannya. Sang penerjemah membantu saya memahami candaanya. Kata si penerjemah, itu bukan putus, tapi dia suruh jarinya terbang ke langit. "Yubitsume!" teriak lelaki lain yang ada di sana. Yubitsume adalah ritual memotong jari sebagai bentuk penebusan dosa, bentuk permintaan maaf secara fisik.

Iklan

Yakuza adalah satu-satunya organisasi kriminal yang menggunakan mutilasi diri sebagai lambang keberanian dan hukuman di saat yang sama. Apabila seorang anggota melakukan sesuatu yang menimbulkan masalah atau rasa malu bagi organisasi, anggota tersebut diharapkan langsung memotong jari mereka sendiri sebagai bentuk permintaan maaf. Jarinya dipotong menggunakan pisau belati atau pedang kecil, tradisi yang mencerminkan ketergantungan seorang samurai pada pedang mereka. Jika kesalahan yang diperbuat berjibun dan jari yang hilang terlampau banyak, sang prajurit dipaksa tidak mengandalkan genggamannya yang melemah dan mulai mempercayai kelompoknya sendiri.

Sadar akan reputasinya yang brutal, saya bertanya ke Tuan S tentang motivasinya bergabung Yakuza. "Biasanya ada dua cara bergabung dengan Yakuza," katanya, via si penerjemah. "Satu adalah orang yang memiliki masa kecil buruk, liar semenjak dulu dan ingin bergabung dengan komunitas Yakuza biar tenar di jalanan. Ada juga anggota lain yang lebih tua dan bergabung demi keuntungan finansial. Seseorang yang mencari pekerjaan. Sama seperti saya." Dia lantas keluar dari van dan membukakan pintu mobil belakang dengan sopan untuk kami.

Salah satu anggota Yakuza memamerkan tato ikan koi yang kesohor itu.

Dua lelaki membukakan pintu menuju kantor. Jelas bahwa mereka sudah siap dengan kedatangan kami. Mr S menjelaskan bahwa kami boleh mengambil foto sebanyak mungkin, selama kami tidak menunjukkan wajah-wajah dalam bingkai foto atau muka anggota Yakuza.

Iklan

Di lobi, saya bertanya kepadanya kenapa imej patuh anggota Yakuza sangat penting untuk dipertahankan. "Yakuza mengatur semua anggotanya. Kalau anak-anak muda tidak takut dengan apapun, mereka akan berlaku seenaknya dan tidak akan ada yang bisa menghentikan mereka," ujarnya. "Mereka akan berkelahi di jalanan, cari ribut di mana-mana. Ketika anggota Yakuza muncul dan menarik mereka keluar dari klub, menghajar mereka, barulah keributan itu bisa berhenti."

Kami melewati sebuah ruang pertemuan di mana beberapa lelaki duduk di meja mengobrol sambil minum teh. Saya mengenali beberapa wajah familiar dari malam sebelumnya di studio tato Horiyoshi. Mereka berdiri dan tersenyum. Dua dari mereka meminta alamat email saya, dan melihat foto tato yang saya ambil dari malam sebelumnya.

Tato-tato ini punya fungsi seperti jari yang dipotong: penanda kesetiaan anggota pada organisasi Yakuza.

Tahun ini, pemerintah Jepang baru saja mengesahkan undang-undang konspirasi. Salah satu pasal di dalamnya menyatakan seluruh kelompok Yakuza bisa didakwa kalau satu anggotanya melakukan tindak kriminal. Undang-undang ini dinilai kontroversial lantaran menempatkan "kejahatan" remeh semacam mengkopi musik dan mencuri jamur di hutan lindung sejajar dengan kejahatan serius semacam ancaman teror.

Tuan S juga punya pemirkiran serupa. Beleid baru ini cuma bikin runyam. "Coba bayangkan di dalamnya dibilang 'Hak asasi manusia setiap orang setara di depan hukum.' tapi buktinya undang-undang itu tak adil bagi kami. Kami main golf saja tak bisa," ujarnya menggerutu. "Orang yang bikin aturan ini mau menang sendiri. Kalau politisi yang bikin perkara, selalu ada jalan keluarnya. Mereka mungkin jauh lebih berbahaya dari Yakuza."

Iklan

Saya langsung menimpali kalau hak asasi manusia saya sebagai anggota geng motor terlarang juga dikebiri oleh undang-undang VLAD di Australia. Malah anggota geng motor terlarang di beberapa negara bagian dilarang terlihat bergerombol lebih dari dua orang di ruang publik. Kami dilarang konvoi, padahal itu gunanya masuk geng motor, apalagi main golf. Nyaris enggak mungkin.

Anggota Yakuza menunggu kedatangan Horiyoshi

Saya sepenuhnya bisa berempati dengan apa yang kini dirasakan anggota Yakuza. Rasanya, pemerintah tengah bernafsu memusnahkan mereka dari muka Bumi. Menurut Tuan S, alasan di balik kegetolan pemerintah Jepang memberangus Yakuza tak sekadar ini gaya-gayaan "ingin kelihatan garang" di depan organisasi kriminal.

"Mungkin ada tekanan dari korporasi besar asal Amerika Serikat selain pengaruh dari dalam pemerintahan Jepang sendiri," tutur Tuan S. "Ada konflik di dalam beberapa organisasi Yakuza yang berafiliasi dengan pemerintah. Kelompok-kelompok itu punya udang di balik batu, misalnya mereka ingin menguasai industri pachinko dan konstruksi, yang selama ini dijalankan oleh Yakuza. Pemerintah sedang berusaha merampas bisnis kami. Pachinko di sini masih merupakan industri yang beromzet jutaan dolar. Jadi, ini memang bisnis yang besar."

"Undang-undang ini muncul karena banyak korporasi yang dekat dengan pemerintah dan keduanya kerja bareng. Jadi politisi dan polisi juga punya sisi gelap. Saya enggak bilang mereka harus dimusnahkan, tapi pertanyaannya kan: kenapa hanya Yakuza yang dikontrol, diawasi dan ditekan dengan undang-undang? Intinya, kenapa kami dipasung seperti ini?"

Iklan

Ruang di atas kantor untuk pelaksanaan ritual Yakuza.

Saya kira itu mungkin ada hubungannya dengan sejarah Yakuza yang penuh kekerasan. Tuan S mangamininya. "Tentu saja, kami melakukan tindakan kriminal. Tapi, ini kan hal yang tak bisa dihindarkan dalam masyarakat kami. Misalnya, kami teken kontrak dengan bar dan klab malam. Isinya kami harus membantu mereka jika mereka kena masalah. Bayangkan deh, misalnya kamu punya bar, lalu ada perkelahian di tempatmu. Kamu lapor polisi, mereka datang, mencatat nama pelakunya, menanyai pelaku dan saksi. Kasihan, malam itu barmu terlanjur kacau balau. Pestanya selesai dan bisnismu berantakan."

"Beda kejadiannya kalau kalian menghubungi Yakuza, kami cuma akan fokus pada siapa yang memulai perkelahian. Pengunjung lain bisa tetap party-party. Kami bisa tarik keluar pelakukanya dan ancam agar tak lagi datang kalau cuma bikin keributan belaka. Kami bisa menangani kasus seperti ini dengan lebih efisien dan cepat, secepat kami memadamkan api."

Tuan S meyakinkan saya niatan Yakuza hanyalah melindungi orang. "Kami berusaha untuk memenuhi tanggung jawab kami pada warga lokal, terlepas mereka anggota kelompok kami atau bukan. Kalau ada pemuda yang ketahuan kecanduan narkoba, tugas kami adalah membantunya keluar dari ketergantungannya. Intinya kami jaga generasi muda Jepang dengan menunjukkan yang benar dan yang salah. Semuanya lho ya, mau anggota Yakuza atau bukan."

Anggota Yakuza muda memamerkan tato Horiyoshi.

Guna mendukung pernyataannya, Tuan S menceritakan apa yang dilalukan Yakuza saat tsunami melanda Jepang pada 2011. Yakuza memang diberitakan lebih cepat memberikan bantuan dibandingkan pemerintahan Jepang sendiri, prestasi yang sampai saat ini sangat mereka banggakan.

Iklan

"Setelah gempa bumi terjadi, kelompok kami langsung mengerahkan 10 van berisi bahan makanan menuju Fukushima. Ada kepanikan di jalan Tol. SPBU dipenuhi orang. Tapi, kami menaruh stiker besar di Van. Tulisannya 'Sumbangan Bencana Alam," kisah Tuan S. "Waktu itu setiap mobil dijatah cuma boleh mengisi 20 liter. Tapi kami bilang pada petugas di sana, 'Kami enggak percaya omong kosong kalian! Ini kan darurat, orang butuh pertolongan kami.' Jadi, kami langsung menyerobot antrian. Dan karena kami kelihatan berangasan dan menyeramkan, petugas SPBU mengkerut. Kami memang memanfaatkan identitas kami sebagai Yakuza."

Tuan S memamerkan tatonya.

Saya lalu bertanya ke mana larinya calon anggota muda Yakuza. "Enggak banyak lagi anak muda yang mau gabung dengan Yakuza," kata Tuan S. "Jujur saja, ada banyak tantangan jika kamu bergabung dengan Yakuza. Anak muda sekarang tahu bahwa kami punya peraturan organisasi yang ketat dan pemerintah juga ketat mengawasi kami. Pemerintah tak mengizinkan kami buka rekening bank, kami tak bisa beli apartemen, kami tak bisa beli mobil atau bahkan sekadar main golf. Kami tak bisa menyekolahkan anak karena tak punya apapun yang dimiliki atas nama kami. Anak bengal masa kini lebih suka masuk grup penipu atau geng jalanan daripada masuk Yakuza."

Ini terdengar familiar. Masih saya ingat kata-kata presiden geng motorku ketika saya didaulat jadi anggota geng motornya. Jika kamu cari pendapatan dari sini, mending jangan ngarep. Yang ada kamu bakal bokek, begitu kira-kira katanya. Dia juga bilang kalau kami punya pacar, setelah masuk geng, kami pasti ditinggal. Satu-satunya liburan yang kami nikmati adalah ketika kamu dijebloskan ke penjara. Pokoknya, hidup itu keras dan menyedihkan kalau masuk geng motor terlarang.

Begitu kami selesai ngobrol, Tuan S mengajakku ke restoran soba langganannya. Sang pemilik langsung datang membawa sake yang langsung kami tenggak. Kami terus dihidangkan makanan-makanan Jepang yang lezat. Saya sadar sedang menghabiskan malam dengan figur besar dalam dunia bawah tanah Jepang. Tapi, makan malam dengan Tuan S tak terasa seperti sedang dipamerkan setinggi apa statusnya dan sebesar apa pengaruhnya di Jepang. Makam malam itu terasa seperti ajakan tulus masuk dalam dunia dan kultur Yakuza.

Saya diam-diam mencoba membayar tagihan malam itu lantaran tak enak hati sudah ditraktir bergelas-gelas kopi, bertumpuk-tumpuk makanan dan beberapa gepok rokok. Pemilik restoran menghentikan saya dan bergegas memanggil Tuan S. Pria itu mengangkat tangannya, menunjukkan jari-jarinya yang buntung, dan pelan berkata, "Aku harus memotong satu jari lagi kalau sampai membiarkan tamu Yakuza mentraktirku."

Mau cerita dekaden lainnya dari penulis ugal-ugalan ini? follow Mahmood di Instagram