The VICE Guide to Right Now

Butuh Kasih Sayang, Banyak Perempuan di Cina Sewa Pacar Bayaran

Kesediaan mereka bayar mahal menyiratkan masalah yang jauh lebih besar.
Pacar bayaran dan ilustrasi perempuan memegang ponsel
(Kiri) Zhuansun Xu, 22, berprofesi sebagai “pacar virtual”. Dia menelepon ‘kekasih’ sambil main game di kamar. Foto milik Noel Celis/AFP. (Kanan) Ilustrasi perempuan memegang ponsel. Foto milik Charles via Unsplash.

Abraham Maslow memperkenalkan teori hierarki kebutuhan yang mengurutkan tingkat kebutuhan dari paling penting hingga cukup penting bagi perkembangan manusia. Piramida itu dimulai dari kebutuhan paling mendasar berupa sandang, pangan dan papan. Semakin ke atas, kebutuhannya semakin kompleks. Aktualisasi diri atau keinginan mengembangkan potensi semaksimal mungkin berada di tingkat terakhir.

Pada tingkat ketiga, ada kebutuhan “akan rasa memiliki dan kasih sayang” untuk bertahan hidup. Itu berarti kebutuhannya tergolong penting.

Iklan

Namun, tren baru di Cina seakan ingin merombak hierarki ini. Kebanyakan perempuan lajang melihat kebutuhan akan kasih sayang sebagai kebutuhan utama.

Para perempuan ini menantang peran gender tradisional dan konservatif. Mereka menyewa cowok bayaran untuk diajak ngobrol, bangunin tidur, dan memujinya lewat chat. Praktik ini mulai ngetren setelah jasa pacar virtual diiklankan pada situs e-commerce seperti Taobao dan aplikasi WeChat. Layanan yang ditawarkan sesederhana chatting dan teleponan setiap hari.

“Saya siap bayar orang yang mau ngobrol dan menemaniku,” kata perempuan bernama Robin* kepada AFP. Robin telah mengeluarkan 1.000 yuan (Rp1,9 juta) lebih buat chatting dan ngobrol sama pacar virtualnya.

1575958588866-NOEL-CELIS-AFP

NOEL CELIS / AFP

Peningkatan permintaan akan kekasih online mungkin berkaitan dengan sikap perempuan di Cina yang memprioritaskan karier mereka. Mau itu karena alasan pribadi atau tuntutan pekerjaan, mereka tampak semakin kesulitan menjalin hubungan.

Kontrak kerja yang mewajibkan pegawai perempuan untuk tidak hamil hingga dua tahun sangat lazim di Cina. Mereka harus siap kehilangan pekerjaan tanpa kompensasi jika persyaratan tersebut dilanggar. Larangan ini jelas merupakan bentuk diskriminasi terhadap hak-hak perempuan, tetapi sudah telanjur merasuki dunia kerja di sana karena adanya upaya mengadopsi kembali peran gender tradisional.

Tak lama setelah kebijakan satu anak dihapus pada 2016, pembuat kebijakan mendorong perempuan untuk memprioritaskan urusan rumah tangga. Tujuannya agar dapat meningkatkan jumlah kelahiran.

Iklan

Pada 2012, pemerintah mulai memberlakukan undang-undang ketenagakerjaan yang memberikan cuti melahirkan hingga 14 minggu. Sementara itu, para ayah baru hanya dikasih cuti dua minggu. Lamanya jumlah cuti yang diterima perempuan malah menjadi bumerang bagi mereka. Perusahaan akhirnya lebih senang merekrut laki-laki karena mereka tidak perlu kelamaan cuti.

Kemunduran ini menghasilkan kesenjangan nyata. Tekanan sosial dan menunda kepuasan pribadi hanyalah dua dari serangkaian rintangan yang ingin dilawan para perempuan. Setelah menduduki peringkat lebih tinggi pada indeks kesenjangan gender global, negara tersebut sekarang mengambil langkah lebih mundur.

Pada 2018, Forum Ekonomi Dunia merilis Laporan Kesenjangan Gender Global yang menempatkan Cina pada posisi 103 dari 149 negara dalam hal kesetaraan gender secara keseluruhan. Hal tersebut sangat kontras dari laporan terbitan 2008. Pada saat itu, Cina berada di peringkat ke-57 dari 139 negara.

Para orang tua di Cina juga lebih menginginkan anak laki-laki ketimbang perempuan akibat adanya peran sebagai kepala keluarga. Mereka percaya lelaki lebih mampu menyokong kehidupan anak-istri dan orang tua.

Tren pacar virtual hanyalah indikasi lain akan masalah lebih besar yang mesti segera diatasi. Bisa jadi suatu saat nanti akan muncul tren lain jika pemerintah Cina yang mengaku mendukung kesetaraan, terus melakukan praktik timpang gender.

*Bukan nama asli

Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.