Musik Baru

Upaya Tesla Manaf Menantang Dirinya Sendiri Lewat Proyek Elektronik Kuntari

Musisi yang selama ini lekat dengan citra jazz itu berbelok 180 derajat, mengusung musik elektronik eksperimental lewat debut album 'Black Shirt Attracts More Feathers'.
Upaya Tesla Manaf Menantang Dirinya Sendiri Lewat Proyek Elektronik Kuntari
Foto dari arsip pribadi Tesla Manaf.

Black Shirt Attracts More Feathers adalah album perdana musisi solo asal Bandung, Kuntari. Mengusung musik elektronik yang eksperimental, album ini menjadi pembuktian Tesla Manaf—sosok di balik moniker Kuntari—akan keseriusannya meninggalkan musik jazz yang selama ini lekat dengan identitasnya dan masuk ke ranah yang baru.

Sampul album Black Shirt Attracts More Feathers menampilkan Unggas, binatang yang cantik apabila dilihat dari jauh, namun dari dekat sebetulnya menyimpan banyak detail-detail yang mengerikan, jelas Tesla. “Ini merepresentasikan karier musik gue yang berubah 180 derajat,” tambahnya.

Iklan

Lahir di Bandung, Tesla Manaf mulai bermain gitar klasik sejak dini dan memulai karier sebagai musisi jazz, klasikal dan prog di umur 20 tahun. Dalam kurun kurang lebih sepuluh tahun, Tesla telah mencapai banyak hal yang diidamkan musisi pada umumnya: merilis banyak album, di antaranya A Man’s Relationship With His Fragile Area yang dirilis Moon June Records asal New York (yang juga pernah merilis Dewa Budjana dan Tohpati), wara wiri di berbagai panggung dan festival nasional dan internasional, dan bisa hidup dari musik.

Namun nyatanya Tesla tetap tidak puas dan justru meninggalkan dunia yang membesarkan namanya tersebut.

"Semua pencapaian dari bermain gitar, trofi dan pujian yang saya raih membuat saya ragu-ragu mau meninggalkan semuanya," ujar Tesla. "Namun esensi seorang seniman, atau setiap manusia bahkan adalah menantang diri dengan hal-hal baru, kalau kita kehilangan rasa penasaran, kita akan berhenti berpikir jadinya."

Semenjak 2016, Tesla mengaku mulai sering membeli synthesizer setiap ada kesempatan. Memilih menggunakan alat-alat analog dan hardware recording, Tesla menyajikan musik yang penuh improvisasi dan intuitif, sesuatu yang tentunya sudah mendarah daging dengan latar belakangnya di musik klasik dan jazz.

Tapi toh proses peralihan ini tidak mudah. Memasuki dunia yang lumayan asing, Tesla harus belajar dari awal, bahkan kembali menjadi seorang ‘pemula’ dalam dunia synthetic sound processing. Tak hanya itu, dia juga harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan dan skeptisisme yang membayangi keputusannya banting setir, mengingat ranah musik eksperimental di tanah air masih sangat segmented peminatnya.

Iklan
1579072207073-tesla-2

artwork dari proyek Kuntari.

Indra Menus, sosok di balik unit harsh noise To Die dan salah satu penggagas kolektif Jogja Noise Bombing yang menggiati musik eksperimental selama satu dekade terakhir, mengaku melihat banyak dirinya dalam Tesla Manaf dan mengakui keberaniannya berkarya.

"Enggak gampang lho [buat musisi] berganti image," ujar Menus. "Salut banget dia mau eksplore sejauh ini dengan ngorbanin kemapanan yg udah dia raih, buat aku itu attitude punk banget."

Buah hasil keberanian Tesla terwujud dalam Black Shirt Attracts More Feathers, tujuh nomor penuh detakan drum sintetik dan bebunyian synth dengan berbagai warna dan intensitas. Track "Eerily" menampilkan vokal kesurupan Nur Handayani yang ditemani bebunyian breakcore yang patah-patah dan glitchy, sementara "Black Shirt Attracts More Feathers" menunjukkan kepiawaian Tesla memainkan dinamika synth ambient yang hangat dan kalem di latar, mengiringi serangan-serangan bunyi agresif dan ganas.

Tak bisa dipungkiri, Tesla masih “anak bawang” dalam ranah musik elektronik dan eksperimental. Tapi berdasarkan potensi yang ditunjukkan album debutnya, hanya masalah waktu sebelum Tesla menancapkan identitasnya sebagai salah satu pendatang yang paling menarik dan ambisius di kancah musik tanah air.

Black Shirt Attracts More Feathers dirilis Orange Cliff Records pada 15 Januari 2020. Dengarkan albumnya via streaming di sini.