The VICE Guide to Right Now

Imigrasi Deportasi Warga AS yang Viral di Medsos Karena Sebut Bali 'Ramah LGBTQ'

Kristen Gray awalnya diserang netizen perkara gentrifikasi. Tapi pejabat kantor imigrasi justru fokus pada pernyataan Kristen Gray bahwa Bali ramah queer, sehingga “meresahkan masyarakat”.
imigrasi-deportasi-warga-amerika-kristen-gray-yang-viral-di-medsos-karena-sebut-bali-ramah-lgbtq
Foto ilustrasi turis asing bermeditasi di Ubud, Bali, oleh Jared Rice via Unsplash

Pemerintah Indonesia merespons kemauan netizen dengan hal yang sepenuhnya berbeda. Kemenkumham Kantor wilayah Bali pada Selasa (19/1) malam waktu setempat, mendeportasi warga AS Kristen Gray yang pekan lalu menyulut twitwar lantaran mengajak. Gray menjadi trending topic setelah thread-nya viral, berisi ajakan WNA pindah ke Bali selama pandemi dengan alasan biaya hidup murah. Hukuman deportasi juga dikenakan pada pasangan Gray, Saundra Michelle Alexander.

Iklan

Sikap ini sekilas menggembirakan mengingat netizen menduga Gray sengaja overstay di Indonesia dan enggak mau bayar pajak. Tapi alasan pemerintah menjatuhkan sanksi deportasi berpotensi memicu kecaman internasional: Kemenkumham menilai Gray patut dideportasi karena kesalahan menyebarkan info “meresahkan masyarakat”, karena di salah satu twit-nya dia bilang Bali ramah buat komunitas LGBT.

Kesimpulan pihak imigrasi jelas membingungkan. Pertama, warganet berhari-hari ngomongin gentrifikasi sebagai efek cuitan Gray, dan risiko itu yang bikin mereka ribut. Kedua, kalau Gray memang merasa tetangga lokalnya ramah gay, terus siapa masyarakat yang resah di sini?

"Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Kantor Imigrasi Kelas I TPI [Tempat Pemeriksaan Imigrasi] Denpasar diduga WNA dimaksud [Kristen Gray] telah menyebarkan informasi yang dianggap dapat meresahkan masyarakat, antara lain: 1. LGBTQF (queer friendly) di mana di Provinsi Bali memberikan kenyamanan dan tidak dipermasalahkan; 2. Kemudahan akses masuk ke wilayah Indonesia pada masa pandemi," demikian bunyi pernyataan tertulis Kepala Kanwil Kemenkumham Bali Jamaruli Manihuruk, Selasa (19/1), yang disebar ke khalayak.

Selain perkara penyebutan Bali ramah LGBT, Gray turut dinilai bersalah dengan mengajak WNA masuk ke Bali selama pandemi, serta berbisnis e-book panduan pindah ke Bali yang disertai jasa konsultasi wisata. Tindakan terakhir disetarakan sebagai “penyalahgunaan izin tinggal”. Gray dan pasangannya masuk Indonesia menggunakan visa kunjungan satu kali B221A yang tidak bisa dipakai bekerja.

Iklan

"Tindak lanjut: [1] Warga negara Amerika atas nama Kristen Antoinette Gray dikenakan Tindakan administratif Keimigrasian berupa pendeportasian [pengusiran] sebagaimana tersebut pada Pasal 75 ayat 1 dan ayat 2 huruf f UU 6/11 tentang Keimigrasian," lanjut keterangan tertulis Jamaruli.

Jika emang masalah promo bali ramah LGBT yang jadi alasan terkuat Gray dideportasi, pasal yang dituduhkan kepadanya jadi problematis. Sebab, isinya enggak spesifik menyalahkan orang yang nganggep satu wilayah di Indonesia ramah gay.

UU Keimigrasian Pasal 75 ayat 1 dan 2 hanya menyebut hak pejabat imigrasi buat mendeportasi WNA yang “membahayakan keamanan dan ketertiban umum” atau karena tidak “menaati dan menghormati peraturan perundang-undangan”. Sedikit catatan, pembaca harus ingat bahwa hukum positif Indonesia sampai sekarang tidak mengkriminalkan LGBTIQ antara orang dewasa.

Pemeriksaan kantor imigrasi terhadap Gray berlangsung kemarin selama delapan jam sejak pukul 10.00 WITA. Ia sempat ditahan di ruang detensi Kantor Imigrasi Kelas I Denpasar. Gray sendiri bersikeras tidak bersalah dan menyebut keputusan deportasi ini akibat sikap homofobia pemerintah Indonesia.

Iklan

“Saya tidak bersalah. Saya tidak melebihi izin tinggal visa saya. Saya tidak bekerja yang mendapat bayaran rupiah [sehingga tak perlu bayar pajak]. Saya membuat pernyataan tentang LGBT [di Twitter] dan karena itulah saya dideportasi,” ujar Gray kepada wartawan. Menurut pengacaranya, Erwin Siregar, Gray masih syok dengan tanggapan warganet Indonesia atas utasnya.

Gray membuat cuitannya yang menjadi awal semua masalah ini pada 16 Januari. Ia pindah dari Amerika Serikat pada Januari 2020 bersama pasangannya setelah kesulitan mencari kerja di negara asal. Ia mengaku tinggal di Bali membuatnya lebih sehat jiwa, raga, dan finansial karena lingkungan yang aman, ramah gay, bisa hidup mewah dengan biaya murah menurut standar Amrik, serta tetep punya temen orang kulit Hitam walau jauh dari kampung halaman.

Semua alasan itu jadi bahan mempromosikan penjualan buku digitalnya berisi panduan pindah ke Bali buat WNA yang dibanderol 30 dolar AS per buah. Jadi selain kerja sebagai desainer grafis lepas (yang ia klaim ordernya berasal dari luar Indonesia), Gray juga berbisnis buku dan jasa konsultasi wisata dengan tarif US$50. 

Mestinya kesalahan memakai visa kunjungan untuk bekerja merupakan pemicu deportasi. Tapi karena pemerintah justru menyorot status Gray sebagai LGBT sebagai alasan, maka saga yang bermula dari twitwar ini berpeluang jadi lebih panjang dan runyam dari perkiraan awal.