Bali

Pesta Minim Prokes Terus Digelar Influencer dan Turis Asing di Bali Selama Pandemi

Kristen Gray dan Sergey Kosenko bersama ratusan WNA lain dideportasi dari Bali. Tapi satu problem masih tersisa: siasat menghadapi para digital nomad dan turis yang abai protokol kesehatan.
Bali; COVID-19; social distance
Foto dari beberapa narasumber yang 

Ratusan orang berkerumun di salah satu klub malam kawasan Canggu, Kabupaten Badung, Bali, yang tenar karena memiliki arena skate yang bisa diubah untuk bermacam jenis hiburan. Dalam foto yang diperoleh VICE, nampak beberapa skater beraksi, dengan iringan lampu pesta, serta puluhan orang menikmati musik yang berdentum di latar.

Pada foto yang lain, nampak seorang DJ memimpin rave party eksklusif di atap sebuah vila, yang diubah jadi dancefloor malam itu. Vila tersebut juga berada di Badung. Masalahnya satu, pesta-pesta ini digelar saat momen pandemi Covid-19 melanda Indonesia, dan tidak satupun tamu nampak mengenakan masker.

Iklan

“Sejujurnya, orang-orang yang aktif di kancah party Bali memang kurang peduli sama pandemi,” kata salah satu turis asing yang sering mendatangi acara macam itu, saat dihubungi VICE World News. “Kami tentu tidak sembarangan bikin pesta besar-besaran, tapi ya intinya kenalanku yang demen pesta sikapnya masih laid back walau situasi kayak sekarang.”

Perilaku sebagian turis asing yang mengabaikan protokol penanggulangan Covid-19, terutama di daerah wisata macam Badung dan Gianyar, sampai meresahkan aparat hukum. “Kadang-kadang [petugas satpol PP di lapangan] sakit hati, sudah dihukum push-up, kerja sosial, mereka [turis asing] ketawa-ketawa senang aja. Gimana perasaan kita enggak tersinggung,” kata Kepala Satpol PP Badung I Gusti Agung Kerta Suryanegara saat dikonfirmasi VICE.

“Seakan-akan sebagian turis asing ini tidak percaya ada Covid-19.” - Suryanegara, Kasatpol PP Badung

Sikap abai turis asing, sebagian berstatus influencer media sosial dan digital nomad, menorehkan luka pada penduduk Bali, yang lambat laun meledak jadi isu serius. Letupan itu akhirnya paling nampak dalam saga deportasi Kristen Gray, seorang influencer 28 tahun yang menjadi sorotan di medsos karena mengajak warga negara asing pindah ke Bali selama pandemi.

Iklan

Cuitan Gray di Twitter sebelum dihapus berujung pada debat netizen antarnegara, membahas efek gentrifikasi di Bali, dugaan penyalahgunaan visa, dan apa sebetulnya relasi ideal antara wisatawan asing dengan komunitas lokal yang mereka datangi.

Meski publik menyorot Gray, tapi sebetulnya bukan cuma dia sosok turis sekaligus influencer yang dideportasi dari Pulau Dewata. Sebelum Gray, sudah ada kasus House of Om, di Ubud, Gianyar, pada Juni 2020. Pengguna internet, terutama warga Bali, gempar melihat video kerumunan bule menggelar acara yoga tanpa jaga jarak. Akibatnya, pendiri House of Om sekaligus penanggung jawab acara, Barakeh Wissam, dinyatakan bersalah oleh petugas imigrasi dan dideportasi ke negara asalnya, Suriah.

Lantas, menjelang akhir Desember 2020, giliran influencer asal Rusia Sergey Kosenko dipaksa enyah dari Indonesia, gara-gara mengunggah postingan di Instagram yang memamerkan dia ikut dalam pesta di Bali tanpa social distancing, boro-boro masker. Sergey adalah penyelenggara pesta yang melanggar protokol Covid-19 tersebut. Sang influencer itu sebelumnya sudah bikin geram publik ketika bikin aksi membuang motor ke laut demi konten selama tinggal di Pulau Dewata.

Total ada 157 warga negara asing yang dideportasi dari Bali sepanjang 2020. Angka itu memang menurun dibanding setahun sebelumnya, yang mencapai 269 orang. Tapi perlu diingat, Bali 12 bulan terakhir seret turis akibat pandemi yang meluluhlantakkan pariwisata. Sebagian turis asing yang masih bertahan statusnya adalah digital nomad ataupun backpacker kesulitan pulang ke negara asalnya.

Iklan
Kristen Gray prepares to leave Bali at the airport in Denpasar. (PHOTO: AFP / MINISTRY OF LAW AND HUMAN RIGHTS)

Kristen Gray dan pasangannya saat dideportasi, melewati pemeriksaan bandara Ngurah Rai Denpasar. Foto dari arsip kemenkumham/AFP

Russian national Sergey Kosenko is escorted by Indonesian immigration officials to Bali's Ngurah Rai Airport (PHOTO: AFP / SONNY TUMBELAKA)

Sergey Kosenko dikawal petugas imigrasi Bali saat menjalani deportasi. Foto oleh SONNY TUMBELAKA/AFP

Kasus-kasus high profile yang ramai disorot netizen itu nyatanya tidak banyak mengubah perilaku turis asing di Pulau Dewata. Beberapa narasumber yang dihubungi VICE World News mengaku pesta rave eksklusif, atau dugem kecil-kecilan, masih sering digelar beberapa bulan terakhir. Mereka pun menunjukkan beberapa foto yang menunjukkan pesta itu berjalan tanpa tanpa protokol kesehatan memadai.

Salah satu warga asing perempuan yang berprofesi sebagai influencer medsos, kepada VICE, membenarkan bila pesta kerap digelar. Dia bersedia diwawancarai secara anonim, mengingat sorotan publik sedang negatif. Dia mengaku datang ke salah satu acara dugem macam itu pada Oktober 2020. Dia bilang aturan pakai masker atau jaga jarak sulit diterapkan dalam pesta yang dia datangi.

“Sulit rasanya mengingatkan orang untuk pakai master saat party, mengingat hampir semua orang merokok dan minum,” ujarnya. “Tapi seingat saya petugas masih memeriksa suhu tubuh kok sebelum pengunjung pesta masuk ruangan, kemudian semua orang juga cuci tangan sebelum ikutan party.”

Seiring terus meningkatnya penularan Covid-19 di Indonesia, yang per Selasa 26 Januari 2021 sudah mencapai 1 juta kasus, Bali termasuk wilayah yang amat parah terdampak.

Hingga artikel ini dilanir lebih dari 24 ribu orang tertular virus corona di Pulau dewata. Beberapa cluster berasal dari acara-acara party yang ceroboh diikuti wisatawan. Pakar kesehatan menyarankan pemerintah Bali menjalankan lockdown untuk sementara, sehingga penularan bisa berkurang. Penutupan sementara Bali dari orang luar itu akhirnya diterapkan sesudah awal tahun hingga 8 Februari 2021, mengikuti kebijakan PPKM pemerintah pusat.

Iklan

Adapun seorang ekspatriat asal Australia yang bertahun-tahun tinggal di Bali, kepada VICE merasa sorotan publik gara-gara kasus Kristen Gray kurang adil bagi mayoritas warga asing. Dia merasa komunitas warga asing yang memilih tinggal di Bali sebetulnya banyak yang membaur dengan warga lokal, bahkan membuat berbagai kontribusi sosial.

“Kami sama-sama mencintai pulau ini seperti para penduduk lokal,” ujarnya, yang juga meminta dikutip anonim karena situasi buat warga asing menurutnya sedang sensitif. “Memang ada satu dua orang yang berulah, tapi sebagian besar orang asing lain yang kukenal cuma ingin bertahan melalui masa-masa pandemi yang berat ini di Bali.”

A motorist commutes past a villa in Bali's Munduk village, which has seen a downturn in tourists due to ongoing COVID-19 travel restrictions (PHOTO: AFP / SONNY TUMBELAKA)

Desa wisata Munduk di Bali, kini amat sepi akibat pandemi Covid-19. Foto oleh SONNY TUMBELAKA/AFP

Kasus Kristen Gray atau Sergey Kosenku, adalah puncak gunung es problem yang selama ini menghantui Pulau Dewata. Bali memang diuntungkan citra sebagai surga turisme yang relatif murah untuk standar internasional. Namun dalam situasi berat akibat pandemi, promosi biaya murah oleh influencer itu melukai perasaan banyak warga lokal. Apalagi ketika mereka melihat turis-turis asing justru tidak menghargai upaya pencegahan Covid-19 dan terlibat pesta-pesta yang eksklusif.

“Influencer asing sebetulnya sangat membantu pemulihan pariwisata Bali kelak ketika pandemi berakhir, tapi mereka butuh menunjukkan empati saat mengunggah konten di medsos, apalagi bila isinya bertentangan dengan keyakinan penduduk setempat,” kata Luh Micke Anggraini, dosen sekaligus peneliti isu pariwisata dari Universitas Bali Dwipa.

Penulis Eve Tedja yang bermukim di Bali, juga menyorot betapa turis asing seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Pemerintah Bali maupun pusat, menurutnya, kesulitan merespons perubahan preferensi wisatawan macam itu, apalagi memasuki era semakin maraknya digital nomad.

Kristen Gray hanya satu yang ketahuan netizen menjual e-book untuk mengundang orang asing lain berangkat ke Bali, menikmati utopia murah meriah. Ratusan influencer lain yang kini mukim di Bali sebetulnya melakukan hal serupa menurut Tedja, dan bahkan mungkin masih melakukannya.

“Bali sebetulnya sangat toleran, kami menerima semua jenis wisatawan, apapun latar belakangnya,” kata Tedja. “Namun di setiap tempat ada aturan, dan beberapa kejadian belakangan menunjukkan kita belum siap menghadapi lonjakan turisme digital nomad semacam itu.”