Kekerasan Seksual

Pemahaman Polisi Indonesia soal Definisi Kekerasan Seksual Ditengarai Masih Rendah

Pada kasus pelecehan anak di Gresik dan Tangsel, polisi justru bikin definisi pelecehan sendiri, tidak mengacu ke UU TPKS. Misalnya, menganggap 'colak-colek' bukan kekerasan seksual.
Pemahaman Polisi Indonesia soal Definisi Kekerasan Seksual Belum Mengacu ke U
Ilustrasi penyintas kekerasan seksual. Foto via Getty Images

Institusi Polri punya PR darurat untuk segera menyosialisasikan UU TPKS kepada anggotanya agar semua penegak hukum memiliki pemahaman yang sama dan tepat mengenai kekerasan seksual. Pasalnya, dalam seminggu terakhir saja, sudah dua pejabat polisi membuat pernyataan yang menyepelekan kekerasan seksual pada anak. Sebelumnya dilakukan kapolsek Gresik, kini seorang kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Tangerang Selatan ikut-ikutan melakukannya.

Iklan

Duduk persoalannya bermula pada Minggu (26/6) kemarin. Sejumlah pengunjung mal Bintaro Xchange beramai-ramai menangkap seorang pria yang ketahuan memegang-megang beberapa anak di mal tersebut. Pelaku lalu digelandang ke kantor Polres Tangerang Selatan. Namun, polisi memvonis pelaku punya gangguan jiwa. Kasus ini tidak diproses hukum setelah keluarga pelaku minta maaf kepada keluarga korban.

Terlepas dari keluarga korban yang akhirnya memutuskan tak melaporkan kasus ini, Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Polres Tangsel Iptu Siswanto juga menyepelekan perbuatan pelaku karena cuma “dipegang-pegang dari luar”. 

“Iya, kalaupun itu ada pelecehan seksual itu kan dipegang-pegang dari luar, bukan diobok-obok enggak lah. Cuman karena di muka umum saja,” kata Siswanto, dilansir Detik. “Kalaupun ada pidananya itu kan pelakunya kan gila. Namanya gila kan dituntut secara hukum enggak bisa.”

Sebagai informasi, bahkan kekerasan seksual nonfisik dan kekerasan seksual berbasis digital juga termasuk definisi kekerasan seksual menurut UU TPKS. Pasal 7 ayat 2 UU tersebut juga mengatur kekerasan seksual pada anak bukan delik aduan alias polisi bisa langsung bertindak tanpa menunggu laporan.  

Pernyataan ini terasa nihil empati, langsung mengingatkan kita pada pernyataan Kapolsek Sidayu Khairul Alam minggu lalu saat mengomentari pelecehan seksual anak di wilayahnya. Sama kayak kasus di Tangsel, kasus di Gresik juga sempat berakhir “damai” gara-gara keluarga korban tidak bikin laporan. Prosedur tersebut jelas tak sesuai dengan UU TPKS. Tapi ya gimana, kapolseknya sendiri mengacu pada pendapatnya pribadi bahwa kasus tersebut bukan pelecehan seksual.

Iklan

“Menurut saya, kalau pelecehan seksual dibuka bajunya dan lainnya, ini kan cuma disayang-sayang. Menurut saya tidak [pelecehan seksual]. Dia [korban] juga tidak menangis,” ujar Kapolsek Khairul, dilansir Liputan6. “Makanya saya bingung yang nyebar video ini siapa. Sedangkan, orang tuanya enggak mempermasalahkan. Saya sudah ketemu orang tuanya dan mereka enggak mempermasalahkan.”

Pernyataan itu memicu protes publik. Untungnya Polres Gresik tetap bergerak. Pelakunya, bernama Buchori (39), berhasil ditangkap. Ia ternyata telah melecehkan dua korban, berusia 5 dan 12 tahun. Bentuk pelecehannya berupa mencium, memegang pundak, pinggang, dan kemaluan korban. Pelaku beralasan birahinya naik melihat anak kecil yang cantik.  

Kasus Gresik menunjukkan potensi lolosnya penjahat seksual ketika pemahaman polisi pada kekerasan seksual tak komprehensif. Menanggapi ini, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia sepakat polisi harus belajar lebih progresif.

“Meski ya harus kita akui kemarin update terakhir pelatihan [anggota kepolisian terkait UU TPKS] belum berjalan. Tapi seharusnya, kan yang contoh simpel aja, di KUHP, UU Perlindungan Anak, kan udah lama berlaku dan pelatihan udah berjalan,” ujar Genoveva saat dihubungi. “Contoh kasus yang di Gresik [itu] sudah clear komitmennya karena terjadi pada anak. Jadi, secara relatif, sebenarnya lebih mudah dipahami konstruksi kasusnya, tidak sesulit yang dewasa.”

Iklan

Genoveva menjelaskan, perbaikan harus cepat dilakukan. Kemampuan dan kepekaan para personil harus yang paling utama direformasi. Bukan cuma untuk penyidik Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) saja, namun semua lapisannya. “Kekhawatiran wajar muncul. UU TPKS sudah berlaku, namun kemampuan kepolisian masih belum bisa catch-up,” tambah Genoveva.

Aktivis perempuan Tunggal Pawestri menyatakan hal serupa. Dari observasinya melihat cara aparat merespons kasus kekerasan seksual, Tunggal menyebut publik bisa menilai dengan mudah bahwa polisi terlihat gagap dan baru bertindak jika kasus sudah ramai di media sosial.

Tunggal juga menyorot unit PPA yang biasa mengurusi kasus kekerasan seksual justru timpang gender. Meski Polri punya lebih dari 500 unit PPA di seluruh Indonesia, polisi wanita yang punya perspektif perempuan dan ditempatkan di unit ini hanya sedikit persentasenya, papar Tunggal.

“Hal yang harus segera dilakukan, membuat edaran di internal kepolisian tentang Standar Pelayanan Minimal yang harus dilakukan polisi jika menerima kasus kekerasan seksual. Kedua, mereka harus lebih responsif dan cepat menangani kasus dan segera beradaptasi pasca disahkannya UU TPKS.

“Ketiga, polisi mestinya lebih kooperatif dan membangun jaringan dengan para penyedia layanan bagi korban kekerasan seksual, sehingga polisi dapat bekerja sama dengan baik dan maksimal untuk membantu memberikan perlindungan bagi korban,” ujar Direktur Eksekutif Hivos Indonesia tersebut kepada VICE.